tebuireng.co – Orang beriman tidak tega menutup masjid sebagai wujud urun rembuk dalam wacana bagaimana seharusnya sikap seseorang dalam menghadapi penutup tempat ibadah selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Tulisan ini sekedar mencoba melihat celah yang bisa kita ikhtiari menjadi lebih maslahah di balik kebijakan “Merem” yang menggebyah uyah, tak mengerti masjid, tak mengerti kafe.
PPKM darurat memang meresahkan, tapi tidak berarti buruk. Sungguh agama memerintahkan kita taat kepada pemerintah.
Namun, sebagai ilmuwan, ketaatan itu mestinya lebih dikiprahkan dalam bentuk kritis yang haq, meski pahit. Bukan taat penjilat yang membeo dan membebek. Itulah gunanya Ilm al-ulama dalam pilar agama.
Orang beriman itu harus serba Tuhan. Menghadapi apapun wajib memposisikan Tuhan paling depan, sehingga kuriklum langit mesti dipakai seiring kurikulum bumi. Vaksinasi, prokes dan munajah.
Khusus “Masjid hijau”, yaitu areanya bersih dan steril, jamaahnya sehat, mencuci tangan bahkan sudah mandi terlebih dahulu seperti anjuran agama, pakai masker, membawa tas plastik sebagai wadah sandal sendiri untuk menghindari desakan saat bubaran, ada tes suhu badan dan seterusnya.
Pokoknya semua protokol kesehatan sudah dipenuhi, maka sangat yakin bahwa penyebaran virus klaster masjid tidak ada.
Sama dengan keyakinan prokes terhadap pengguna jasa bandara atau stasiun terhadap penumpang yang menggunakan jasa pesawat dan kereta api setelah seluruh persyaratan kesehatan dipenuhi.
Malah di pesawat tidak ada penjarakan. Jika jamaah harus pakai GeNose, boleh dan bisa diatur. Masuk bandara saja mau bayar swab antigen, padahal belum tentu tujuan ibadah.
Pada kontek ini, mohon ilmuwan tidak memaksa-maksakan akal dengan mempositif-positifkan adanya virus yang kemungkinan berpotensi menyebar di masjid. Itu dugaan sangat lemah (wahm) yang menurut teori istidlal tidak bisa dijadikan hujjah untuk penutupan masjid.
Jika alasannya daf’u al-dlarar dan lain-lain? Oke, tapi dlararnya tidak ada seperti keyakinan kita di bandara setelah validasi atau udara di dalam pesawat yang sudah disteril. Maka jelaslah, bahwa dasar menutup masjid hijau sungguh sangat lemah merurut nalar fikih, apalagi logika saintifik.
Jika solusinya adalah salat di rumah bersama keluarga dengan alasan aman, seharusnya yang aman dan yang aman saja yang ke masjid. Aman bergabung dengan aman di rumah Allah yang Maha Aman, maka aman. Sebab tidak mungkin Tuhan menyebar penyakit di rumah-Nya sendiri (Al-Hadis, makna).
Demi Allah, orang beriman sungguh tidak tega menutup masjid hanya berdasar asumsi. Pemiliknya pasti tersinggung. Tempat lain, kontor, bandara dan lain-lain yang sudah disteril diyakini aman, kenapa masjid tidak? Sungguh tidak jujur dan bukan pikiran orang beriman.
Kutukan Al-Baqarah ayat 114 terhadap penutup masjid sebagai manusia paling zalim di dunia cukup jelas dan sangat mengerikan. Ayat tersebut yaitu:
وَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنۡ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰهِ اَنۡ يُّذۡكَرَ فِيۡهَا اسۡمُهٗ وَسَعٰـى فِىۡ خَرَابِهَا ؕ اُولٰٓٮِٕكَ مَا كَانَ لَهُمۡ اَنۡ يَّدۡخُلُوۡهَآ اِلَّا خَآٮِٕفِيۡنَ ؕ لَهُمۡ فِى الدُّنۡيَا خِزۡىٌ وَّلَهُمۡ فِى الۡاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ
Wa man azlamu mimmam-mana’a masaajidal laahi ai-yuzkara fiihas muhuu wa sa’aa fii kharaabihaaa; ulaaa’ika maa kaana lahum ai yadkhuluuhaaa illaa khaaa”fiin; lahum fiddunyaa khizyunw wa lahum fil aakhirati ‘azaabun ‘aziim
Artinya: Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya?Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat.
Tafsir ayat ini yaitu di antara tindakan orang yang paling zalim ialah:
1. Menghalang-halangi orang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya. Termasuk di dalamnya menghalang-halangi segala perbuatan yang berhubungan dengan urusan agama, seperti mempelajari dan mengamalkan agama, iktikaf ), salat, zikir dan sebagainya.
2. Merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah). Termasuk di dalamnya perbuatan, usaha, atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, merobohkan, serta menghalang-halangi pendirian masjid dan sebagainya.
Kedua macam perbuatan itu merupakan perbuatan zalim, karena mengakibatkan hilangnya syiar agama Allah. Para mufasir sependapat bahwa ayat di atas mengisyaratkan “tindakan yang umum” dan “tindakan yang khusus”.
“Tindakan yang umum” ialah segala macam tindakan yang berhubungan dengan menghalang-halangi manusia beribadah di dalam masjid dan tindakan merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah).
“Tindakan yang khusus” ialah bahwa ayat di atas diturunkan untuk menjelaskan atau mengisyaratkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa dalam sejarah yang sifatnya sama dengan sifat-sifat tindakan atau perbuatan yang disebut di dalam ayat. Para mufasir berbeda pendapat tentang peristiwa yang dimaksud oleh ayat ini.
Pendapat pertama: Ayat di atas mengisyaratkan tindakan orang-orang musyrik Mekah yang menghalang-halangi keinginan Rasulullah saw beserta para sahabatnya yang hendak mengerjakan ibadah umrah pada bulan Zulhijah tahun ke 6 Hijri (bulan Maret 628 M).
Sikap kaum Musyrik itu akhirnya melahirkan Perjanjian Hudaibiah. Timbulnya keinginan itu kembali karena dalam Perjanjian Hudaibiah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dibolehkan memasuki kota Mekah pada tahun setelah perjanjian itu ditanda-tangani.
Tindakan mereka inilah yang dimaksud Allah dengan menghalang-halangi manusia menyebut nama Allah di dalam Masjidil haram dan usaha merobohkan masjid. Dan, memang hanya jiwa beriman saja yang serius memakmurkan masjid seperti dijelaskan di At-Taubah ayat 18:
اِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنۡ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَاَ قَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمۡ يَخۡشَ اِلَّا اللّٰهَ فَعَسٰٓى اُولٰۤٮِٕكَ اَنۡ يَّكُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُهۡتَدِيۡنَ
Innamaa ya’muru masaa jidal laahi man aamana billaahi wal Yawmil Aakhiri wa aqoomas Salaata wa aataz Zakaata wa lam yakkhsa illal laaha fa’asaaa ulaaa’ika ai yakuunuu minal muhtadiin
Artinya: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini menerangkan bahwa yang patut memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya serta percaya akan datangnya hari akhirat, tempat pembalasan segala amal perbuatan, melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.
Orang-orang inilah yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk untuk memakmurkan masjid-masjid-Nya. Banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan memakmurkan masjid, antara lain sabda Rasulullah SAW:
Barang siapa membangun masjid bagi Allah untuk mengharapkan keridaan-Nya, niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah dalam surga. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi dari ‘Utsman bin Affan)
Sabda Rasulullah SAW yang lainnya:
Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri (beribadah) di masjid, maka bersaksilah bahwa ia orang yang beriman. (Riwayat Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abi Said al-Khudri).
Dan sabdanya yang lain diceritakan sesungguhnya ada seorang perempuan yang biasa menyapu masjid lalu meninggal dunia, Rasulullah SAW menanyakannya, dan ketika dikatakan kepadanya bahwa perempuan itu sudah meninggal, Rasulullah berkata:
“Mengapa kamu tidak memberitahukan kepada saya, agar saya salatkan ia. Tunjukkanlah kepadaku di mana kuburnya.” Maka Rasulullah mendatangi kuburan itu, lalu ia salat di atasnya. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sekali lagi, bicara masjid adalah bicara keimanan. Jangan sampai kita dicatat Tuhan sebagai penutup rumah-Nya. “Na’udz bi Allah min dzalik”.
Betapa kekhawatiran Rasulullah SAW terhadap musuh kafir di medan perang, hingga Tuhan menurunkan syari’ah salat khauf yang dilakukan secara berjamaah dengan tehnik khusus.
Bukankah pedang musuh lebih pasti dan mematikan ketimbang sekedar virus yang diduga? Dengan tetap waspada, Rasulullah SAW salat berjamaah bersama banyak sahabat.
Rasanya akan lebih bijak jika kegiatan salat berjamaah di masjid seperti berjamaah maktubah, jumat, Idul Adha dilaksanakan secara shift dan diatur dalam jadwal yang bagus. Disiplin fiqih tak ada masalah. Itu jauh lebih sopan di hadapan Tuhan dari pada mengosongkan masjid.
Atau salat Idul Adha di lapangan terbuka seperti yang dilakukan Rasulullah SAW dulu dengan tetap mematuhi prokes. Itu jika masjid tidak memungkinkan disehatkan.
Terbanyak salat Id era Rasulillah SAW di lapangan, Al-shakhra’. Kira-kira inilah hikmah At-Tasyri’ untuk era sekarang dan kita dituntut menunaikan perintah agama sebisa-bisanya (Al-Taghabun:16).
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسۡتَطَعۡتُمۡ وَاسۡمَعُوۡا وَاَطِيۡعُوۡا وَاَنۡفِقُوۡا خَيۡرًا لِّاَنۡفُسِكُمۡؕ وَمَنۡ يُّوۡقَ شُحَّ نَفۡسِهٖ فَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
Fattaqul laaha mastat’tum wasma’uu wa atii’uu waanfiquu khairal li anfusikum, wa many-yuuqa shuha nafsihii fa-ulaaa’ika humul muflihuun
Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Jangan sekali-kali meremehkan perintah sunah, apalagi yang rutin diamalkan Nabi Muhammad. Jangan pernah berkata: “Salat Id itu hukumnya kan sekedar sunah.” Ucapan itu tidak pantas keluar dari mulut ilmuwan agama. Beristighfarlah.
Penulis menyerah terhadap fatwa penutupan masjid, jika ada dalil yang sharih, bahwa Rasulullah SAW benar-benar pernah tidak salat di masjid karena wabah. Jika sekedar pemahaman terhadap siratan sebuah teks, tidak teks yang lain, kaidah fiqhiyah, maka jadinya multi syarah dan debatebel.
Bisa juga kalau ada fatwa kesehatan yang memastikan terkena virus bagi siapa saja yang salat berjamaah di masjid walau sudah memenuhi prokes.
Bedanya wong kafir dan wong beriman dalam menghadapi pandemi adalah dalam sikap, wong kafir hanya pakai prokes saja, sedangkan wong beriman pakai prokes dan pakai masjid.
Al-Qur’an membahasakan mati itu dengan Ajal (jatuh tempo). Artinya, sakit separah apapun, jika belum waktunya mati, tidak akan mati. Sesehat apapun, jika waktunya mati, ya mati.
Mukmin mesti berharap kematian yang indah (Husnul Al-khatimah). Sekiranya diizinkan, hamba yang kotor ini lebih memilih menghadap-MU dalam keadaan bersujud di dalam masjid, ketimbang geletak di ranjang rumah sakit. Hadana Allah, amin.