12 Sya’ban 1427, malam 6 September 2006. Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (Maha) Tebuireng dilaunching secara resmi. Dibuka oleh KH. M. Yusuf Hasyim dan KH. Salahuddin Wahid. Malam itu saya melihat kelegaan Kiai Yusuf Hasyim. Senyumnya tersungging, dengan mata yang berbinar penuh optimisme. Dalam sambutannya, seingat saya beliau tidak pernah menyinggung tentang diri pribadinya. Lebih banyak menyampaikan harapan dan masa depan Pesantren Tebuireng. Yang saya tangkap malam itu, kelegaan beliau “mungkin” berasal dari 2 hal;
(1) Suksesi kepengasuhan Tebuireng yang berjalan sesuai harapan beliau. Menurutnya, Kiai Sholah adalah sosok yang paling pantas menjadi penerus beliau. Yang dapat mengembalikan progresifitas Pesantren Tebuireng.
(2) Pendirian Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng, yang sebenarnya telah beliau gagas kira-kira 2-3 tahun sebelumnya, akhirnya terwujud pada malam itu.
Di Harlah Maha yang ke-17 ini, mari kita sama-sama mendengar kembali, harapan-harapan yang dijunjung oleh para muassis pada 17 tahun yang lalu. Menghayatinya, dan memahaminya, hingga bisa menjadi paradigma baru kita semua dalam memaknai keberadaan kita di Maha.
Malam 6 September 2006 yang lalu. Secara lugas Kiai Yusuf Hasyim menyampaikan akan tujuan berdirinya Maha, yaitu untuk sebagai buq’ah mubarakah yang mampu melahirkan ulama-ulama yang mutafaqqih fi al-dien. Yang matang dalam penguasaan kitab turats dan ilmu keagamaan. Seorang ulama dengan prototipe Hadratussyaikh, yang tidak hanya alim allamah, yang berada di atas mimbar kemuliaan, namun juga berkenan untuk turun ke bawah, berpegang pada tongkat keulamaan untuk membimbing umat.
Gagasan ini disampaikan Kiai Yusuf Hasyim secara simbolik melalui istilah beliau, “ya, setidaknya nanti lulusan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dapat mengisi posisi syuriah di NU cabang maupun wilayah, yang mampu membimbing umat”.
Tidak semua gagasan Kiai Yusuf Hasyim bisa saya tangkap secara lengkap malam itu. Karena memang saya hadir hanya sebagai “juru Laden” para Masyayikh. Namun yang sangat jelas saya tangkap adalah suasana kebahagiaan dan rasa optimisme dari semua hadirin, para kiai dan dosen, tamu undangan, dan 30 Mahasantri angkatan pertama. Utamanya Kiai Yusuf Hasyim dan Kiai Sholah.
Raut optimisme itu semakin jelas saya lihat ketika saya maju ke meja beliau berdua, saat menyuguhkan snack dan botol air mineral. Keduanya terus berbincang dengan narasi-narasi futuristik untuk Ma’had Aly. Namun saya tak ingat persisnya apa yang sedang beliau berdua perbincangkan.
Agaknya apa yang digarisnya oleh Kiai Yusuf Hasyim di dalam diri Maha, tetap dipegang oleh Kiai Sholah. Cita-cita yang disampaikan sang muassis itu tetap dijunjung tinggi. Bahwa selain alim secara teoritis, mahasantri juga diharapkan bisa melakukan tugas keulamaannya secara fungsionalis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Setidaknya hal ini bisa kita lihat dari pidato Kiai Sholah pada Peresmian Maha, bersama 12 Ma’had Aly lainnya pada 30 Mei 2016 di Pesantren Tebuireng. Dalam acara tersebut, 13 Ma’had Aly telah mendapatkan rekognisi dan izin operasional dari Kementerian Agama RI.
Peresmian Maha “kedua” tersebut, sekali lagi Kiai Sholah meletakkan garis koordinat sebagai landasan Maha. Sebagaimana 10 tahun sebelumnya, kiai Yusuf Hasyim juga menggariskan dengan garis yang sama. Kiai Sholah mengatakan: “Pengertian tafaqquh fi al-dien tidak hanya pandai dalam membaca kitab klasik saja, namun juga cerdas membaca perkembangan zaman, kebutuhan umat, dan membentuk karakter mahasantri”.
Dawuh-dawuh beliau berdua kepada mahasantri, sebenarnya memiliki kesamaan dengan apa yang didawuhkan Hadratussyaikh dalam beberapakali risalahnya. Beliau menyebutkan bahwa (العلماء أمناء الله على عباده), ulama adalah pembawa amanah Allah atas hamba-hamba-Nya. Dari sini, garis-garis itu bisa kita pertegas lagi. Bahwa Maha yang dicita-citakan para muassis, didesain memiliki dua dimensi, keulamaan (intelektual) dan pengabdian masyarakat (aktifis). Dalam istilah Gus Ishom Hadzik disebut al-Alim dan al-Muharrik.
Jika Hadratussyaikh menyebutkan kata kunci ulama (intelektual) dan umanaullah (sosial). Kiai Yusuf Hasyim menyebut Syuriyah (intelektual) dan membimbing umat (sosial). Sedang Gus Sholah memakai kitab klasik (intelektual) dan kebutuhan umat (sosial). Dan belakangan, Kiai Abdul Hakim Mahfudz juga mengenalkan dua dimensi ini dengan istilah ilmu (intelektual) dan Harakah (sosial). Tak ayal setelah peresmian kedua Maha, Kiai Sholah mengamanahkan kepada Kiai Nur Hannan selaku mudir Maha saat itu agar menambahkan mata kuliah sosiologi agama di Maha. Dengan adanya Marhalah Tsaniyah (program magister) dengan orientasi penguatan kajian ilmiah multi disipliner hadis di Maha di usianya ke-17 tahun ini, agaknya cita-cita para muassis terlihat lebih dekat.
Semoga mahasantri Maha tidak takut untuk selalu bermimpi seperti para muassis. Pantang menyerahnya untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita para muassis. Selamat harlah Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng ke-17.
Kulluna ‘Ala Darbil Hasyimiy…
*Muhammad Anang Firdaus, Wakil Mudir Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng
Baca juga: Prof Djamaluddin, Salah Satu Perintis Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Baca juga: Dirjen Pendis Minta Maha Santri Ma’had Aly Terbuka dengan Kemajuan Zaman