Malam lailatul qadar merupakan malam yang istimewa di 10 hari terakhir bulan Ramadan. Para ulama menganjurkan umat muslim untuk memperbanyak dan meningkatkan kualitas ibadahnya pada waktu tersebut. Untuk menghidupkan malam 10 hari terakhir bulan Ramadan, beberapa kalangan juga mendirikan shalat lailatul qadar. Namun, bagaimana penjelasannya?
Menurut Imam Besar Al-Azhar Fadhilatu Syaikh Dr Ahmad Muhammad Ahmad Ath-Thayyib’ bahwa lailatul qadar berarti pengampunan, penerimaan amal, dan pembebasan dari api neraka. Ibadah di dalamnya lebih baik daripada ibadah seribu bulan. Karena keutamaan dan keagungannya, Allah telah menyembunyikannya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Agar seorang muslim berusaha mencarinya dan bekerja untuk mendapatkan kebaikannya.
Menurutnya, lailatul qadar bukanlah sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang, akan tetapi yang dimaksud adalah memperbanyak ibadah dan memperbanyak amal saleh seperti shalat, istighfar, membaca Al-Qur’an dan memohon ampun kepada Allah, karena Allah menerima pada malam tersebut apa yang tidak diterima pada malam-malam yang lain.
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadan (qiyamu ramadan) bisa diisi dengan ibadah yang dianjurkan para ulama berupa shalat sunnah, wirid, i’tikaf, dan membaca Al-Qur’an. Di sejumlah daerah, untuk menghidupkan malam 10 hari terakhir bulan Ramadan, ada pelaksanaan shalat isya, shalat tarawih dan witir, dilanjutkan shalat lailatul qadar. Apakah praktik ini sudah benar atau perlu diluruskan?
Tata Cara Shalat Lailatul Qadar
Landasan dalil yang digunakan dalam ibadah di malam lailatul qadar ialah hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: “Barang siapa melaksanakan shalat sunnah pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim memberikan makna dalam lafad qoma atau dalam sanad riwayat hadis lain dengan lafad yaqum, diberikan arti “mengetahui”.
من يقم ليلة القدر فيوافقها – أراه قال – إيمانا واحتسابا، غفر له (مَنْ يَقُمْ لَيْلَة الْقَدْر فَيُوَافِقهَا) مَعْنَاهُ : يَعْلَم أَنَّهَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
Jadi dalam riwayat tersebut beramakna, barangsiapa mengetahui malam lailatul qadar dan menyesuaikan diri padanya dengan ibadah, maka ia akan diampuni dosa-dosa yang lalu.
Jelas, di sini tidak ada syariatnya, tetapi adanya shalat sunnah mutlak di malam lailatul qadar. Hal ini sama dengan kasus bahwa ada praktik shalat sunnah nisfu sya’ban atau shalat rebo wekasan yang dilarang oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Sehingga, pilihan pendapat yang lebih hati-hati ialah melaksanakan shalat sunnah mutlak, tanpa diberi embel-embel niat shalat sunnah lailatul qadar.
Di internet maupun di media sosial banyak yang mengulas tentang niat shalat lailatul qadar. Menurut penulis itu masih kurang pas. Mayoritas menuliskan niat shalat seperti di bawah ini:
أُصَلِّى سُنَّةً لَيْلَةُ الْقَدَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya shalat sunnah lailatul qadari dua rakaat karena Allah ta’ala.”
Harusnya diganti dengan:
أُصَلِّى سُنَّةً الْمُطْلَقِ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدَرِ رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى
Artinya: “Saya niat shalat sunnah mutlak pada lailatul qadar dua rakaat karena Allah ta’ala.”
Untuk jumlah minimal shalat sunnah mutlak ialah dua rakaat, sedangkan untuk batasan maksimal tidak ada atau sebanyak mungkin. Maka boleh saja, meskipun kita tidak tahu persis kapan lailatul qadar, tetapi dengan praktik ibadah yang banyak di 10 akhir bulan Ramadan akan mendekatkan kita untuk mendapatkannya. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Menyambut Lailatul Qadar sejak Awal Ramadan