tebuireng.co – Nabi Muhammad Ummi jadi diskusi para ulama sejak dahulu Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah-nya menyatakan bahwa kata “Ummi” terambil dari kata Umm/ibu dalam arti seseorang yang tidak pandai membaca dan menulis.
Al-Qasimi menafsirkan kata ummiyyin pada surat Ali Imran ayat 20 sebagai “kelompok yang tidak memiliki kitab suci” (la kitaba lahum). Ibnu Zaid mendefinisikannya kata “Ummi” sebagai “orang yang tidak membaca Al-Kitab”.
Ada riwayat lain berasal dari Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa maksud kata ummi dalam al-Qur’an yang berbentuk jamak adalah “sekelompok orang yang tidak membenarkan utusan Allah dan kitab yang dibawanya”.
Mayoritas orang Islam memberi makna ummi sebagai orang yang buta huruf. Sehingga tidak bisa membaca dan menulis. Beberapa orang rancu dalam arti ini, karena berkeyakinan Nabi Muhammad bisa membaca.
Akal pikiran mereka sangat berat untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar buta huruf, dalam arti tidak bisa membaca dan menulis sama sekali. Keraguan ini bertambah pula setelah membaca sejarah perjalanan hidup nabi yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah merevisi rancangan perjanjian Hudaibiyah yang draftnya ditulis oleh Ali bin Abi Thalib.
Berdasarkan catatan sejarah, Nabi SAW menghapus sendiri kata-kata “Rasulullah” dan menggantinya dengan “Ibnu Abdillah” setelah Ali bin Abi Thalib menolak untuk melakukannya. Ali bin Abi Thalib hanya bersedia menunjukkan tempat kata-kata “Rasulullah” di dalam perjanjian saja.
Nabi Muhammad melakukan hal tersebut setelah orang Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr merasa keberatan dimasukkannya kata-kata “Rasulullah” ke dalam teks perjanjian tersebut dan menuntut supaya diganti. Dengan lapang dada, Nabi Muhammad mengganti kata Rasulullah dengan “Ibnu Abdillah.” Bukan tanpa alasan, saat itu orang-orang tersebut tidak mempercayai kerasulan Nabi Muhammad SAW. Dari sini kata “Ummi” bermakna tiodak bisa baca tulis sulit diterima.
Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad pernah mengeja kata كَافِر (kafir) itu dengan ك ف ر (k f r). Artinya ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membaca karena mengeja itu bagian dari membaca. Nabi melakukan hal tersebut karena saat itu menjelaskan jika di antara mata Dajjal ada tulisan كَافِر (kafir). Di dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 48 disebutkan bahwa nabi tidak pernah membaca dan menulis sebelum turun Al-Quran.
وَمَا كُنْتَ تَتْلُو مِنْ قَبْلِهِ مِنْ كِتَابٍ ولا تَخُطُّهُ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لاَرْتَابَ الْمُبْطِلُونَ
“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu Kitab pun sebelum adanya Al-Qur’an dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscara ragu orang-orang yang mengingkarinya.”
Ayat “Ummi” muncul sebanyak 6 kali di Al-Quran menurut tafsir Al-Misbah, yaitu 2 kali dalam bentuk tunggal (mufrad), dan 4 kali dalam bentuk jamak. Ayat-ayat “Ummi” yang berbentuk mufrad terdapat dalam surat Makkiyah, yaitu surat al-‘Araf ayat 157 dan 158.
Sementara ayat-ayat “Ummi” yang berbentuk jamak terdapat dalam surat Madaniyah, yaitu surat Al-Baqarah ayat 78, surat Ali Imran ayat 20 dan 75, serta surat Al-Jumu’ah ayat 2.
Namun, bila merujuk pada sifat wajib Rasul maka sangat sedikit sekali kemungkinan bahwa Nabi Muhammad tidak bisa membaca. Karena ia memiliki sifat fatanah (cerdas dan tidak pelupa). Cirinya orang cerdas yang dipahami oleh manusia adalah bisa membaca dan menulis. Kata fatanah ini kemudian dalam kehidupan umatnya menjadi kata “Fatoni, Fatin, Afthon.”
Ada ulama yang mengartikan kata “Ummi” dalam bentuk lain, semisal dalam buku Khurafatu Ummiyati Muhammad’(Mitos Keummian Muhammad) yang diterjemahkan oleh Abu Nayla dengan judul “Nabi Muhammad: Buta Huruf atau Genius” (Jakarta: Nun Publisher, Cet. I, April 2007). Penulisnya adalah Syeikh Al-Maqdisi.
Menurut catatan di buku ini, para ulama terdahulu telah melakukan kekeliruan dalam menafsirkan kata “Ummi” dalam Al-Qur’an. Al-Maqdisi tidak bisa menerima jika Nabi adalah seorang yang buta huruf dan aksara. “Bagaimana mungkin seorang yang “Ummi” dapat memimpin dan mengajarkan ajaran Tuhan dengan baik jika ia tidak berpengetahuan dan berilmu,” tulisnya.
Al-Maqdisi berargumentasi berdasarkan hadis yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit, “Jika kalian menulis kalimat Bismillahirrahmanir rahim, maka perjelaslah huruf sin di situ.” Hadis ini menurutnya menunjukkan bahwa Nabi pandai membaca dan menulis.
Menurut Al-Maqdisi kata “Ummi” akan lebih tepat jika diartikan sebagai orang-orang di Arab selain Yahudi dan Nasrani. Karena kedua golongan ini menyebut orang-orang di luar diri mereka sebagai “Ummi.” Dengan menafsirkan kata “Ummi” ini dengan golongan non-Yahudi dan non-Nasrani, maka kepribadian Nabi sebagai uswatun hasanah tidak akan terkoyak.
Orang-orang Syiah memiliki pendapat berbeda, yang meski tetap berpendapat bahwa Nabi memang tidak bisa membaca dan menulis, tapi mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki kemampuan khusus dalam memperoleh kebenaran. Kemampuan itu mereka sebut sebagai intuisi, yaitu kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa memerlukan pengenalan langsung pada apa yang dikenalnya itu.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ah Al-Fatawa, 25: 172, mengingatkan bahwa keummian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berarti tidak berilmu atau tidak bisa menghafal, bahkan Nabi adalah imamnya para Nabi dalam hal itu. Disebut “Ummi” hanyalah karena Nabi tidak bisa menulis dan tidak bisa membaca sesuatu yang tertulis.
Sementara KH Ahmad Baha’uddin Nur Salim (Gus Baha) menjelaskan, bukan sebuah kehinaan jika Nabi Muhammad tidak bisa baca. Sebuah keuntungan apabila Nabi tidak bisa membaca, hal ini bearti Nabi Muhammad tidak dipengaruhi oleh kitab-kitab lain selain wahyu dari Allah. Bahasa lain, pola pikir Nabi Muhammad hanya mewakili Allah.
Kesimpulannya?
menurutku nabi Muhammad ummi karena bukan dari orang Nasrani dan Yahudi dan tidak membaca kitab Injil dan Taurat dan diperkuat lagi dengan surah Al-Ankabut ayat 48, Wallahu alam bissowaf 🙏