Syahdan, suatu ketika Gus Dur dan sahabatnya, A.S Hikam, menghadiri sebuah pengajian di Jawa Barat. Acara bertepatan di bulan Asyura (Syuro, Jawa) yang diisi mauidhoh oleh Kiai dari Demak.
Dalam pidatonya, kiai menyampaikan beberapa keutamaan puasa di Bulan Syuro, yakni “Barangsiapa berpuasa satu hari maka ia seperti berpuasa satu tahun.”
Seusai acara, Gus Dur dengan keseriusan berbicara pada Muhammad A.S Hikam. “Kam, besok puasa lho Kam”. “Ah, yang benar Gus” “Iya Kam, lumayan. Dawuh Kiai tadi, puasa sehari seperti puasa setahun”. A.S Hikam kurang percaya. Mengingat keadaan Gus Dur ketika waktu itu kurang sehat di tengah banyaknya kegiatan.
Keesokan harinya, mereka berdua pergi ke Tuban menghadiri acara haul. Di tengah perjalanan, sekitar waktu Dhuhur, Gus Dur meminta AS Hikam menghentikan kendaraan. “Kam, berhenti cari tempat makan”. “Lho, ‘kan puasa Gus.. Ini masih tengah hari”. “Iya Kam, saya ambil setengah tahun saja. Lumayan,” jawab Gus Dur datar. Hahaha. AS Hikam melongo atas ulah Gus Dur yang seperti tanpa dosa itu.
Kisah humor di atas merupakan satu dari ribuan khazanah humor yang mudah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai warga Nahdliyin, seharusnya kita harus bersyukur mendapati lingkungan yang rileks dan penuh keakraban dengan joke harian yang segar nan renyah.
Sebut saja tokoh-tokoh seperti Gus Dur, KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Gus Mus, dan lain sebagainya yang mampu menyuguhkan Islam yang ramah dan sangat enjoy dalam menyampaikan pesan-pesan agama.
Ulama’ Humoris
Bahkan ada beberapa kitab karangan para Ulama yang berisikan kumpulan anekdot dan kisah humor. Di antaranya adalah kitab Al Bukhala’ karya Al Jahiz, Uqalaul Majanin karya Abul Qosim An Naisaburi, Akhbarul Hamqo’ wal Mughaffalin karya Ibnu Al Jauzi hingga kitab Kasykul karya KH. Bisri Mustofa dari Indonesia.
Islam merupakan agama yang penuh kasih sayang dan luwes dalam konteks interaksi sosial. Rasulullah Saw memberikan contoh tatkala beliau di hadapkan pada dua pilihan perkara, maka pasti beliau akan memiliki yang paling mudah dan ringan (aysaruhuma). Ini bukti konkrit bahwa dalam menghadapi sebuah urusan tidak melulu dihadapi terlalu serius. Bukankah Rasulullah Saw sudah memberikan kode agar menjalani kehidupan se-enjoy mungkin?
Salah satu indikator seorang hamba menikmati kehidupan di dunia ini adalah dengan wajah yang sumringah, menampakkan kebahagiaan dan tentunya memiliki sense of humor.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali memberikan statement dengan mengutip Hadis Rasullullah Saw sebagai berikut: “Sungguh, termasuk umat terbaikku adalah kaum yang tertawa keras (yadlhakuna jahran), karena percaya terhadap luasnya rahmat Allah (min sa’ati rahmatihi).
Berdasarkan Hadis tersebut, mayoritas ulama-ulama dahulu selalu bercanda, kelakar, santai, rileks, guyon, dan tertawa. Ini semua mereka lakukan sebagai ekspresi atas kebahagiaan dan ridha terhadap pemberian Allah.
Namun demikian, redaksi lanjutan dari Hadis tersebut adalah wa yabkuna sirran (menangis secara sembunyi), yakni para ulama tersebut sering menangis pada malam hari ketika sedang bermunajat pada Allah.
Dan di antara syarat menemukan halawatal iman, seorang muslim haruslah merasa nyaman dengan kehidupannya yang ia ekspresikan dengan nuansa rileks. Akan tetapi, seringkali, dalam konteks kehidupan nyata, normativitas Islam sebagai agama yang membawa kebahagiaan, direduksi oleh tampilan religiusitas kita yang tampil dengan kesedihan dan kegundahan.
Rasulullah Saw dan Humor
Lalu muncul sebuah pertanyaan, apakah Rasulullah juga menyukai humor?
Pada masa Nabi Saw, tertawa adalah sesuatu yang inheren, humor adalah bagian kontruksi sosial kehidupan sehari-hari dalam Islam. Rasulullah sendiri digambarkan sebagai sosok yang Bassaam (banyak tersenyum) serta memiliki aura wajah yang basyasyatul wajhi (tampak ceria wajahnya), meskipun kita tahu beliau adalah pemimpin umat yang memiliki segudang kesibukan dalam berdakwah.
Suatu ketika, ada seorang laki-laki meminta pada Nabi Muhammad agar membawanya di atas kendaraan. Kemudian, Rasulullah berkata, ‘’Aku akan membawamu di atas anak unta. ’’Orang tadi bingung karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Kemudian, Rasulullah berkata, “Bukankah yang melahirkan anak unta itu seekor unta juga?’’ (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Di sini kita bisa memahami bahwa kebahagiaan adalah pancaran dari sikap optimis. Sebaliknya, cemberut adalah refleksi dari sikap pesimis.
Lebih dari itu, dari kalangan sahabat, ada salah seorang yang selalu mengundang canda tawa, Namanya adalah Nu’aiman bin Amru bin Rafa’ah yang merupakan penduduk Madinah dari kalangan kaum Anshar.
Nu’aiman adalah pembawa kegembiraan. Mungkin atas tingkah lakunya yang jenaka, Rasulullah Saw pernah bersabda: “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.” Hal ini menjadi bukti bahwa Rasulullah adalah pribadi yang sangat ceria, suka tertawa, bercanda, dan tidak melulu bersikap formal atau resmi. Namun sayangnya, riwayat-riwayat tentang sisi manusiawi ini jarang diedarkan.
Adab dalam Bersenda Gurau
Di satu sisi, kita juga harus memperhatikan adab-adab dalam bersenda gurau agar tidak menjadikan sesuatu yang mubah menjadi sesuatu yang berpotensi menimbulkan dosa. Karena bagaimanapun interaksi sosial tetap mengenal batasan-batasan etika agar tidak menyinggung perasaan lain. Diantara adab bersenda gurau:
Pertama, tidak berlebihan. Sebab, canda yang berlebihan akan menjatuhkan kehormatan dalam pandangan manusia. Kehormatan harga diri dalam Islam haruslah kita jaga. Tertawa yang berlebihan hingga terbahak-bahak bisa membuat hati keras. Maka, bersikap proposional sesuai dengan situasi dan kondisi adalah pilihan paling bijak.
Aisyah meriwayatkan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah tertawa terbahak-bahak sehingga kelihatan batas kerongkongannya. Namun, tertawanya beliau adalah dengan tersenyum.” (HR. Bukhari, kitab al-Adab)
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sungguh aku telah melihat Rasullah tertawa hingga gigi gerahamnya terlihat.”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Nabi Saw lebih banyak tersenyum atau tidak tertawa terbahak-bahak. Beliau lebih suka tersenyum saat menegur seseorang atau ketika menasehati umatnya. Beliau juga menyatakan bahwa senyum itu adalah sedekah.
Kedua, bukan cacian dan cemoohan. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (QS Al-Hujurat [49]:11).
Ketiga, tidak menjadikan canda sebagai kebiasaan. Jadikanlah kelakar hanya sekadar jeda, rehat dari kepenatan hidup alias selingan hiburan dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, isi Canda bukan dusta dan tidak dibuat-buat. Sabda Nabi Saw, “Celakalah orang yang berbicara lalu mengarang cerita dusta agar orang lain tertawa, celakalah!” (HR Abu Dawud).
Manfaat Humor
Secara umum, dampak positif dari suasana hati yang bahagia akan memberikan output berupa kesehatan psikis dan non-psikis. Baik jiwa dan raga. Adapun manfaat lain adalah sebagai berikut:
Pertama, Kesehatan Fisik
Hasil penelitian Dr. Lee Berk dan Dr. Stanley Tan tentang pengaruh tertawa terhadap sistem kekebalan tubuh, membuktikan sejumlah manfaat tertawa bagi kesehatan seperti meningkatkan jumlah dan kemampuan sel-sel imun yang bertugas memerangi sel virus yang menyerang tubuh; meningkatkan jumlah antibody, meningkatkan kemampuan tubuh untuk menggunakan oksigen, serta humor berguna untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kualitas hidup
Kedua, Kesejahteraan Psikologis
Humor menimbulkan emosi positif yang menyebabkan seseorang cenderung merasa ceria dan penuh energi, mengurangi depresi, mengurangi rasa cemas, tidak mudah tersinggung, dan tidak tegang. Akhirnya emosi negatif akan menjauh. Otomatis berkat kehadiran emosi positif ini, muncul pula perasaan sejahtera.
Ketiga, Hubungan Sosial
Humor memiliki banyak manfaat dalam hubungan sosial. Berkat hadirnya emosi positif pada semua yang menikmati humor, maka orang yang banyak berhumor dalam pergaulan termasuk teman menyenangkan dan menjadikan mereka lebih banyak terlibat dalam pergaulan. Orang yang menunjukkan lebih terlibat dalam hubungan sosial dengan orang lain diketahui lebih bahagia, lebih sehat dan hidup lebih lama ketimbang yang hidup terisolasi.
Humoris itu Asyik
Secara sederhana, di tengah-tengah rutinitas yang terkadang menjenuhkan, sudah saatnya kita men-setting sebuah mindset agar selalu bahagia dan lebih optimis dalam menjalani beragam aktivitas.
Di saat banyak orang yang kehilangan sense of humor karena terlalu baper (terbawa perasaan) dalam menyikapi suatu topik yang khilafiyah, di sinilah tugas kita untuk terus mempromosikan Islam yang gayeng, ramah dan membahagiakan. Demikian agar potensi konflik horizontal sesama anak bangsa yang muncul bisa teratasi dengan kepala dingin dan nuansa yang penuh kekeluargaan. Dan di atas itu semua, menjadi muslim yang humoris itu memang mengasyikkan. Hidup sekali, hiduplah yang bahagia!
Oleh : Akhmad Kanzul Fikri, M.Pd
*Pengasuh Ponpes Al Aqobah, Kwaron, Diwek, Jombang.
Untuk Menghubungi, silakan Klik Email
Halo kak, ijin bertanya untuk kutipan paragraf dibawah ini, apa ya? saya pakai untuk rujukan karya ilmiah saya, terimakasih
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali memberikan statement dengan mengutip Hadis Rasullullah Saw sebagai berikut: “Sungguh, termasuk umat terbaikku adalah kaum yang tertawa keras (yadlhakuna jahran), karena percaya terhadap luasnya rahmat Allah (min sa’ati rahmatihi).
MONGGO MAS, TEKS LENGKAP DALAM IHYA SEBEGAI BERIKUT:
وفي الخبر إن من خيار أمتي قوماً يضحكون جهراً من سعة رحمة الله ويبكون سراً من خوف عذابه أبدانهم في الأرض وقلوبهم في السماء أرواحهم في الدنيا وعقولهم في الآخرة يتمشون بالسكينة ويتقربون بالوسيلة (1) وقال الحسن الحلم وزير العلم والرفق أبوه والتواضع سرباله
[أبو حامد الغزالي ,إحياء علوم الدين ,1/75]
ok