Multikulturalisme sebuah bukti kekuasaan Tuhan yang bisa tampak oleh mata. Dalam keberagaman itu, Allah memberikan benang merah berupa ajaran Islam.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan orang per orang atau perbedaan budaya.
Islam yang dibawa Nabi Muhammad hadir membawa perubahan pemikiran jika semua manusia sama di depan Allah. Nabi Muhammad juga diutus untuk semua manusia, bukan suku tertentu.
Indonesia menjadi istimewa dengan kemajemukan yang dikemas dalam nasionalisme. Meskipun memiliki jumlah muslim terbesar di dunia, agama selain Islam punya kesempatan hidup yang sama di Indonesia.
Ini menandakan masyarakat Indonesia mampu melepas ego kesukuan dan memilih menjadi bangsa yang satu, melucuti ego keragaman bahasa, lalu menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, meninggalkan ego kedaerahan dengan tanah air Indonesia sebagai satu-kesatuan.
Multikulturalisme masyarakat Indonesia tercermin dengan kaki burung garuda yang membawa tulisan “Bhinneka Tunggal Ika.”
Sangat disayangkan bila nilai-nilainya harus kandas, akibat intoleran dan fanatisme merasa superioritas, terlebih jika berujung saling melontarkan kata-kata tidak pantas.
Bila melihat keberagaman di Indonesia, sosok Gus Dur yang merupakan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) layak dijadikan refrensi utama. Ia sangat menjujung tinggi toleransi, hingga menyandang julukan ‘Bapak Pluralisme’.
Melihat fakta ini, tentu sudah seharusnya bagi generasi NU masa kini melanjutkan apa yang diperjuangkan para tokoh sebelumnya, salah satunya berupa tasamuh (toleran). Dakwah Islam NU akan terasa manfaatnya bila memperhatikan perbedaan.
Meneruskan perjuangan Gus Dur bisa dimulai dengan kontemplasi terhadap ajaran-ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, lalu memanifestasikannya di kemudian hari.
Gus Dur bersikap moderat karena terinspirasi dari ajaran Islam yang ia pelajari dari Al-Qur’an dan hadis serta pemikiran tokoh Islam lainnya.
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin telah mengajarkan penganutnya untuk besikap toleran dan tidak merasa superior. Semua terlihat sama di hadapan Allah tanpa memandang gender, suku, warna kulit, ras, atau etnis.
Baca Juga: Jas Merah Bung Karno
Multikulturalisme berarti menghormati manusia sebagai ciptaan terbaik Tuhan. Tidak ada barometer yang dapat mengukur kualitas diri manusia selain takwa. Sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 13.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.”
Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim, ayat tersebut turun berkenaan dengan sahabat Bilal yang hendak mengumandangkan adzan setelah pembebasan Mekah, kemudian sebagian orang berkata:
“Bagaimana mungkin budak hitam ini yang justru mengumandangkan adzan di atas Ka’bah!” sebagian yang lain berkata dengan mengejek, “Apakah Allah akan murka kalau bukan dia yang mengumandangkan adzan,” kemudian Allah menurunkan ayat tersebut.
Dari sini, sangat jelas bahwa Islam sangat mendukung kesetaraan, tidak ada suatu suku bangsa yang lebih unggul dari yang lainnya, hingga dapat menjelek-jelekkan mereka. Pemikiran ini juga diperjuangkan Gus Dur.
M Quraish Shihab dalam salah satu karyanya berjudul, “Islam dan Kebangsaan” menjelaskan bahwa kata لِتَعَارَفُوا yang berasal dari lafadz ‘arafa yang berarti mengenal, dengan wazan tersebut ia berpindah arti menjadi saling mengenal.
Saling mengenal dalam konteks ini sebagai tujuan perantara, sedangkan tujuan akhirnya adalah saling membantu. Gus Dur mengajarkan semua punya kesempatan hidup yang sama.
Hal ini menuntut pengakuan eksistensi sekaligus penghormatan timbal balik, penghormatan yang dimaksud bukan secara otomatis menerima pendapat, agama, atau keyakinan pihak lain, tetapi berarti menerima eksistensi mereka untuk hidup berdampingan dalam suasana aman dan damai.
Manusia diciptakan dalam perbedaan merupakan sebuah anugerah Allah untuk sebuah tujuan kasih sayang dengan saling mengenal, bukan sebagai sumbu kebencian. Manusia tidak dapat diseragamkan menjadi satu warna, karena disitulah letak keindahan.
Sehingga, sangat diperlukan adanya multikulturalisme yang dapat menggiring manusia untuk berjalan seiring dengan semangat egaliter berlandaskan ajaran agama Islam Ahlussunnah wal Jamaah dan Bhinneka Tunggal Ika.
Oleh: Himmayatul Husna