tebuireng.co – Metode kritik hadis melihat hadis Nabawi, ada dua, yaitu kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis berdasarkan para perawinya.
Sedangkan kritik matan adalah penelitian secara cermat asal-usul suatu hadis berdasarkan teks (redaksi hadis) yang dibawa oleh para periwayat hadis tersebut. Dari kedua penelitian ini akan menentukan apakah suatu hadis bisa diterima (maqbul) atau tidak (mardud).
Tujuan utama dalam meneliti hadis untuk mengetahui apakah hadis itu benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam atau tidak.
Apakah hadis itu shahih, dha’if atau maudhu‘ (palsu). Hal ini karena hadis merupakan sumber syari’at Islam di samping Al-Qur’an.
Maka dari itu, otentisitas dan validitas hadis merupakan hal pokok dalam Islam. Pengecekkan suatu kabar yang dinisbatkan pada diri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah dilakukan oleh para sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum pada masa itu.
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah lama nabi wafat. Maka perlu metode kritik hadis untuk mengetahui status hadis.
Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi Muhammad dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi Muhammad. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak. Terlebih dahulu perlu dilakukan penelitian.
Kegiatan penelitian hadis tidak hanya ditujukan kepada apa yang menjadi materi berita dalam hadis itu saja, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada umat.
Sebagai contoh metode kritik hadis, ketika Umar bin Al-Khaththab mempertanyakan kembali kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang berita yang diterimanya dari tetangganya bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menceraikan istri-istrinya.
Ternyata Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak melakukan hal itu, melainkan hanya tidak mengumpulinya saja.
Pemalsuan hadis terjadi ketika limit waktu antara masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan penulisan hadis secara lengkap dan resmi baru terjadi pada awal abad kedua.
Hal ini, memberikan peluang munculnya para pemalsu hadis, dengan berbagai latar belakang dan kepentingan mereka. Sehingga bermunculanlah hadis-hadis palsu (maudhu‘), yang dapat mengancam kemurnian akidah, ibadah, dan lain sebagainya.
Kritik hadis dikalangan ahli hadis dikenal dengan sebutan naqd al-hadis. Kata an-naq dari sisi bahasa adalah berarti mengkritik, menyatakan dan memisahkan antara yang baik dari yang buruk.
Sedangkan makna kritik dalam konteks ilmu hadis adalah cenderung kepada maksud kegiatan penelitian hadis, dan bukan berarti sebuah kecaman terhadap hadis.
Sementara pengertian kritik hadis (naqd al-hadis) secara terminologi adalah sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Mustafa Azami berikut:
“Naqd al-hadis adalah upaya membedakan antara hadis-hadis sahih dari hadis-hadis da’if dan menetukan kedudukan para periwayat hadis tentang kredibilitas maupun kecacatannya.”