Kebanyakan mahasiswa semester pertengahan mulai “merencanakan nikah” sebagai hot topic tiap perbincangan, terutama yang sudah menjalin hubungan mesra. Menjelang wisuda, hubungan mulai mengambang lagi dengan banyak pertimbangan. Antara lain kebutuhan karir (kemandirian ekonomi), jarak rumah antarindividu karena masing-masing perantau, dan nikah juga membutuhkan restu dari masing-masing orang tua.
Tidak ada yang salah dengan rencana pernikahan dalam obrolan para mahasiswa. Baginda Rasulullah Saw juga pernah merencakan puasa pada 9 Muharram (tasū’ah), tapi tidak terlaksana sebab beliau terlebih dahulu wafat. Rencana (hammiyah) berbeda dengan panjang angan-angan belaka (ṭūl al-amal). Merencanakan kebaikan dengan tahapan-tahapan langkah stategis, taktis, teknis yang tepat menjadi sunah nabawiyah sebagai bentuk upaya (ikhtiār) manusia.
Sebagian mahasiswa menghibur diri jalinan antarpasangan dengan obat bius, dijalani saja. Karena memang tidak ada satu orang pun yang tahu masa depan. Seseorang yang sudah lamaran bisa saja putus, yang sudah menikah bisa talak, menjadi janda muda atau duda muda. Orang yang sudah tua baru menikah bisa saja lebih panjang usianya dan lebih awet hubungannya hingga melahirkan keturunan yang menapaki jenjang pendidikan. Mengalir di muara sungai kehidupan model begitu bisa saja selamat, bisa juga celaka karena di depan menghadapi curam yang tajam (air terjun). Bagi yang membuat rencana, meskipun mengalir dalam arus sungai dan akan menyusuri curam tajam, mereka sudah ambil ancang-ancang. Tentang takdir, hanya Allah Yang Maha Bijaksana yang berwenang.
Garis bawahnya adalah hukum suatu piranti mengikut pada hukum orientasi dasar, tujuannya, “lil wasāil ḥukmul maqāṣid”. Bagi individu yang memposisikan pernikahan sebagai prioritas utama, maka hukum piranti yang menunjang terlaksananya tujuan berhukum sama. Bagi individu yang menjadikan pernikahan dalam list kedua (ḥājiyāt, sekunder), maka pirantinya berhukum ḥajiyāt. Semoga Anda tidak menominasikan diri dalam list posisi ketiga atau berniat menjomblo meski hukumnya boleh. Tidak sedikit ulama yang memprioritaskan keilmuan dalam list pertama dan menomorsekiankan pernikahan.
Sudah menjadi keniscayaan sebelum menjalankan ibadah shalat terlebih dahulu mengerti ilmu tentang shalat; sebelum menunaikan ibadah haji, diberikan pembekalan haji (manasik haji) oleh masing-masing KBIH; begitu juga dengan aktivitas ibadah lainnya, termasuk menikah. Ilmu-ilmu penunjang itu adalah piranti stimulus agar ibadah yang dijalani selanjutnya mendapatkan nilai kesempurnaan, meskipun proses belajarnya juga dihitung ibadah “belajar”.
Piranti-piranti pernikahan tiada lain adalah pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga, baik cara membina istri, anak, mendampingi suami, mengelola keuangan keluarga, terutama pengetahuan keagamaan terkait rumah tangga; cara membentuk keluarga sakinah, pengembangan SDM rumah tangga melalui generasi yang akan dilahirkan, pendidikan remaja usia nikah, pendidikan konseling rumah tangga, dan lain sebagainya. Perintahnya jelas, “qū anfusakum wa ahlīkum nāra”, jagalah keluarga kalian dari api neraka. Tentang teknis, Badan Penasihat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) dan KUA sebagai kehadiran negara menjadi fasilitas publik. Tugas mereka tidak hanya menikahkan dan mengurus administrasi saja, melainkan juga hadir dan siap mendamingi bila memang dibutuhkan oleh keluarga atau calon keluarga seseorang.
Tanpa proses mengantongi piranti pernikahan sebagai bekal, maka aktivitas yang ada tidak ubahnya kembali ke fitrah awal sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As-Syafi’i, bahwa pernikahan adalah hasrat seksual bagi masing-masing individu, sedangkan agama hadir untuk mem-back up belaka. Padahal, tujuan dari pernikahan lebih dari hasrat seksual belaka.
Memang, materi pengetahuan tentang bahtera rumah tangga tidak harus diajarkan seperti paketan manasik haji. Pesantren sudah mengajarkan secara sporadis melalui khazanah-khazanah keislaman yang ada tentang akad pernikahan, hukum pernikahan, cara memilih istri salehah, dan seterusnya. Hanya saja, sebagai upaya lebih maslahah, pendampingan dari BP4 atau KUA terkait pengetahuan pranikah tetap penting diselenggarakan. Sudah berjalan di beberapa daerah meski kesadaran calon mempelai kurang pro-aktif sebagaimana banyak kajian yang diadakan, dengan berbagai alasan.
Baca Juga: Manfaat Menikah menurut Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari