tebuireng.co – Lanjutan dari tulisan Menyoal Sesajen: Muslim Budaya versus Muslim Hijrah yang sebelumnya, perihal kasus pembuangan sesajen yang tadinya sengaja ditaruh di sekitar gunung Semeru belum lama ini. Perkaranya bukan hanya soal setuju atau tidak setuju dengan sesajen saja, atau bahkan sampai pada tahap pelaporan kepada pihak kepolisian. Arus dakwah hijrah yang anti sesajen, anti perilaku-perilaku syirik lainnya, ini sudah semakin mempengaruhi umat di akar rumput. Ditambah lagi dakwah hijrah disampaikan dengan sederhana dengan logika-logika dasar saja. Ini satu dari sekian banyak kesalahan dakwah Muslim budaya yang sebetulnya sejak lama monoton. Sementara zaman terus dinamis dan berubah.
Muslim budaya terjebak zona nyaman. Muslim budaya sebetulnya mengikuti jejak pendahulunya, terutama para Walisongo, yang dulu juga berhasil memadukan unsur agama dengan unsur budaya dengan ciamik. Kalau dulu, para Walisongo melakukan adaptasi budaya memang efektif karena itu kebijaksanaan dakwah para Walisongo itu menjadi sebuah inovasi dakwah. Namun ketika zaman terus bergerak cepat, produk-produk dakwah Walisongo tak diadaptasi dengan zaman, maka timbulnya adalah kejumudan. Misal kalau dahulu nonton wayang tradisional yang tiketnya membaca syahadat itu dakwah Islam efektif yang menyenangkan, zaman ini tak berlaku begitu.
Nah dahsyatnya, Muslim hijrah memanfaatkan kecanggihan teknologi ini dengan dakwah. Mereka sejak lama diremehkan, dianggap bodoh, ilmunya tidak bersanad, tidak memahami gramatikal Bahasa Arab, dst, tapi ternyata hal itulah yang justru dijadikan motivasi dan momen untuk bangkit. Lihatlah kebangkitannya sekarang. Muslim hijrah bersatu padu dengan segala macam jenis dan kreasi dakwahnya. Ada yang bergerak di jalur politik oposisi, ada yang murni di jalur dakwah dan masih banyak lagi.
Baca Juga: Menguak Makna Hadis Hijrah di Era Milenial
Muslim budaya harus berbenah. Muslim budaya sendiri basisnya sekarang berada di kalangan akademisi (Perguruan Tinggi) dan Pesantren-pesantren salaf/tradisional. Sebagian kecil di Ormas Islam dan LSM. Selebihnya medan dakwah secara umum sedang terus dikuasai Muslim hijrah. Bagaimana dengan cepatnya para da’i hijrah mengambil alih otoritas dakwah Islam dari da’i budaya. Walhasil, kasus sesajen ini hanya bagian kecil dari agenda rivalitas antara Muslim budaya dan Muslim hijrah. Kalau Muslim budaya dengan segera bisa berbenah, bahkan berkolaborasi dengan Muslim hijrah, tentu komponen budaya dan agama akan semakin mengesankan. Namun kalau tidak, itu artinya kekosongan dakwah ini akan terus diterobos oleh Muslim hijrah.
Wallaahu a’lam
*Oleh: Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah (11 Januari 2022, 20.51 WIB)
Baca Juga: Menyoal Sesajen, Muslim Budaya versus Muslim Hijrah (Bagian 1)