Dalam gempuran kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, umat manusia dihadapkan pada tantangan dan peluang besar. AI menawarkan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya dalam aspek kesenian. Meski demikian, kemunculan teknologi AI juga menimbulkan kekhawatiran, terutama dalam hal kreativitas, kejujuran, dan nilai-nilai spiritual.
Habiburraman El-Shirazy, seniman terkenal sekaligus penulis novel legendaris ayat-ayat cinta ini menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyikapi teknologi ini dengan bijak sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan hadis.
Menurutnya, teknologi, termasuk AI, tidak dapat dihindari karena telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari . Ia menjelaskan bagaimana peradaban Islam pernah mengalami kerugian besar ketika menolak perkembangan teknologi, yakni ketika dunia Islam masih bergantung pada tulisan tangan sementara dunia Barat (Eropa) sudah menggunakan mesin cetak. Akibatnya, penyebaran ilmu di dunia Islam menjadi lebih lambat dibandingkan di Eropa.
Hal yang sama terjadi saat ini. Habiburraman El-Shirazy menegaskan bahwa kemajuan AI memungkinkan seseorang bisa menghasilkan karya dengan lebih cepat dibandingkan mereka yang tidak memanfaatkan teknologi. Sebab, kemampuan AI sangat membantu manusia dalam mengakses dan merangkum informasi dengan lebih efisien.
Namun, di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada AI dapat melemahkan daya pikir manusia. Jika generasi saat ini terlalu bergantung pada AI, akan ada risiko otak yang bisa menjadi tumpul karena kurangnya latihan berpikir secara mandiri.
Dalam acara Talkjil Kafah session 2 yang bertajuk AI dan Tantangan Kreativitas Seni dalam Islam, Habiburraman El-Shirazy memberikan contoh dengan mengilustrasikan bagaimana perbedaan antara seseorang yang belajar bahasa Arab secara manual dan mereka yang langsung menggunakan teknologi.
Seorang yang belajar bahasa Arab secara manual dengan menggunakan kamus cetak tradisional akan lebih memahami ilmu shorof lebih dalam dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan aplikasi digital. Proses berpikir yang melibatkan upaya manual inilah yang juga membentuk daya kritis dan pemahaman mendalam.
Menurutnya, salah satu kelemahan AI juga tidak adanya aspek spiritual dan perasaan. AI hanya mampu menyajikan data, tetapi tidak bisa memberikan kedalaman makna yang berasal dari pengalaman batin, refleksi, atau intuisi.
Inilah yang akhirnya membedakan karya manusia dengan hasil AI. Seorang seniman yang berkarya dengan penuh perasaan akan menghasilkan karya yang memiliki ruh dan bisa menyentuh hati orang lain, sedangkan karya yang lahir dari AI hanya mampu menghasilkan data yang kering.
Ia menambahkan bahwa meski demikian, di era modern ini manusia juga tidak bisa menolak dan melepas sepenuhnya keberadaan AI. Teknologi tersebut tetap harus dimanfaatkan dengan bijak dengan tetap memperhatikan dan memasukkan nilai-nilai spiritual sehingga karya yang dihasilkan tetap memiliki makna yang mendalam.
Dalam acara tersebut, Habiburraman El-Shirazy juga menegaskan bahwa sebagai Muslim, kita juga telah memiliki rambu-rambu dalam memanfaatkan teknologi, terutama dalam hal hak milik orang lain. Al-Qur’an mengingatkan: “Dan janganlah kamu memakan harta sebagian kamu dengan cara yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188).
Ayat ini mengajarkan kita untuk menggunakan AI secara etis. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan sarana plagiarisme atau manipulasi. Kreativitas manusia tetap harus dijaga dengan menambahkan sentuhan pribadi dalam setiap karya yang dihasilkan dengan bantuan AI.
Ia menekankan pentingnya AI sebagai alat yang dapat mempercepat dan memperkaya karya manusia, tetapi tidak boleh menggantikan peran vital kreativitas manusia dalam sebuah karya.
“Kita harus tetap menjaga keseimbangan antara penggunaan AI dan pengembangan pemikiran kritis serta spiritualitas. Dengan demikian, kita bisa memanfaatkan teknologi secara bijak tanpa kehilangan identitas sebagai manusia yang kreatif dan beradab,” pungkasnya.