“The well-being and flourishing of human and nonhuman life on Earth have value in themselves…. These values are independent of the usefulness of the nonhuman world for human purposes.” (Filsuf Norwegia dan penggagas konsep Deep Ecology, Arne Næss.)
Dalam terjemahan bebas kutipan di atas, ini berarti bahwa “kesejahteraan dan berkembangnya kehidupan manusia maupun non-manusia di bumi memiliki nilai dalam dirinya… Nilai-nilai ini independen dari kegunaan dunia non-manusia untuk tujuan manusia.”
Næss menegaskan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hidup, berkembang, dan mencapai kesejahteraan masing-masing. Pandangan ini menuntut manusia untuk berpikir lebih luas dalam menjaga lingkungan dan menghormati seluruh ekosistem, sehingga perbuatan manusia terhadap lingkungan didasari oleh penghargaan terhadap semua makhluk, bukan hanya demi kepentingan manusia.
Penjelasan dari kutipan ini adalah bahwa Næss melihat alam dan seluruh makhluk hidup memiliki nilai yang inheren (atau intrinsik), terlepas dari apakah mereka bermanfaat atau tidak bagi manusia. Dengan kata lain, kehidupan—baik itu kehidupan manusia atau spesies lain—dilihat sebagai sesuatu yang berharga dan layak untuk dilindungi. Bukan hanya karena kontribusinya bagi kesejahteraan manusia, tetapi karena kehidupan itu sendiri pantas dihargai dan dijaga.
Deep ecology (ekologi dalam) merupakan antitesis dari shallow ecology (ekologi dangkal) dimana alam memiliki nilai tersendiri. Bukan di bawah manusia, tetapi sejajar. Oleh karena itu, Gerakan deep ecology mengenalkan terhadap kita gagasan tentang ekosentrisme diantara antroposentrisme—yang selama ini kita ketahui.
Gagasan ini cukup menarik, menimbang di era modern kini beberapa kejadian-kejadian alam—perubahan iklim, perubahan suhu global, hingga potensi bencana alam. Salah satunya seperti paparan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa suhu rata-rata global yang dirilis World Meteorological Organization dalam State of the Climate 2022 bahwa tahun 2022 menempati peringkat ke-6 tahun terpanas dunia. 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dalam catatan WMO.
Jika diurutkan berdasarkan tahun-tahun dimana suhu global terpanas adalah: 2016, 2020, 2019, 2017, 2015, 2022, 2021, 2018. Sedangkan, tahun 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2°C terhadap periode revolusi industri. Kondisi terpanas itu dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.
Kontribusi sederhana yang dapat kita lakukan untuk menekan potensi ini adalah dengan memanajemen sampah, beberapa diantaranya dengan mengimplementasikan reduce, reuse, recycle (3R), menanam pohon, hingga berhemat energi.
Dari beberapa upaya sederhana di atas yang dirasa paling sederhana dan menjadi keseharian kita sebenarnya memanajemen sampah, khususnya 3R—bisa dimualai dalam ranah personal. Sampah adalah hal yang urgen karena berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Oleh karena itu, meskipun terlihat sepele, pemahaman terhadap memanajemen sampah merupakan langkah kongkrit yang berkontribusi besar dalam menahan laju perubahan iklim.
Selain itu, ekoliterasi terhitung penting sebagai penyokong pemahaman dalam melestarikan alam. Dengan ekoliterasi ini diharapkan dapat menanamkan hal apa saja yang bisa diupayakan untuk menjaga keseimbangan alam. Selain itu, penguatan pada hulu—pendidikan yang berbasis karakter dalam pelestarian alam, hingga hilir—aksi dan hal-hal yang menangani secara langsung seputar keberlanjutan lingkungan—perlu untuk saling bahu-membahu.
Dengan adanya materi di ranah sekolah, yakni Gaya Hidup Berkelanjutan: Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) maupun Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Rahmatan Lil ‘alamin (P5RA) sebagai upaya di ranah hulu sangat mendukung dalam hal menanamkan pendidikan berbasis lingkungan.
Gagasan Næss dalam deep ecology-nya sangat menarik sebagai pemantik kita untuk lebih menjaga keberlanjutan lingkungan. Gagasannya membuka pandangan kita mengenai alam memiliki nilai yang inheren, sejajar dengan manusia. Sehingga hal ini dapat mengingatkan kita untuk tidak menggerus sumber daya alam secara berlebihan, merusak alam, hingga menelantarkannya.
Keberlanjutan lingkungan juga merupakan tujuan (goal) dari Sustainable Development Goal’s (SDG’s) yang digagas oleh PBB guna mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi semua orang di planet ini dengan saling mendukung untuk mengatasi berbagai tantangan global yang kita, seperti air bersih dan sanitasi layak, energi bersih dan terjangkau, kota dan permukiman yang berkelanjutan, penanganan perubahan iklim, ekosistem lautan, ekosistem daratan.
Selain itu, pendekatan melalui pengetahuan berbasis pendidikan juga turut membantu dalam mengamplifikasikan kepedulian terhadap lingkungan. Kita sebagai manusia, khususnya umat Islam, di sisi melakoni saleh ritual dan saleh sosial, juga dapat menerapkan saleh ekologi. Sehingga peran kita sebagai “khalifah di bumi” dapat terlaksana.
Penulis: Ikhsan Nur Ramadhan, tim Bank Sampah Tebuireng (BST)
Editor: Thowiroh
Baca juga: Peran Tokoh Agama dan Syiar Kesalehan Lingkungannya