Shalawat secara bahasa berarti doa. Di dalam al-Quran, Allah bershalawat kepada Nabi Muhammad bermakna Allah memberi rahmat kepada beliau. Apabila shalawat berasal dari makhluk seperti malaikat dan manusia, maka hal itu bermakna doa. Membaca shalawat merupakan suatu penghormatan kita terhadap Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Karena hal itu sesuai perintah Nabi sendiri bahwa:
مَن صَلَّى عَلَيَّ واحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عليه عَشْرًا
Barangsiapa bershalawat padaku satu kali, maka Allah memberi rahmat padanya 10 kali. Hadis riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya.
Keutamaan bershalawat kepada Nabi Muhammad shallahu ‘alahi wa sallam begitu banyak. Tetapi harus diingat, ada satu hal penting, bahwa di dalam shalawat ada doktrin tauhid yang begitu kuat, yaitu tidak mengkultuskan nabi Muhammad secara berlebihan. Karena hal inilah yang membedakan umat Rasulullah dengan umat yang lain.
Bershalawat biasa dilakukan melalui ucapan lisan, meski demikian ada pula yang menuliskan dalam tulisan. Biasanya, para penulis membuka pengantar kitab atau buku dengan ucapan bismillah dan shalawat. Semata-mata mereka berniat agar mendapat berkah dari lafad shalawat tersebut. Kalau bershalawat melalui lisan ada landasan dalil shahih, lalu jika shalawat ditulis di buku/kertas apakah mempunyai dalil atau manfaat?
Dalil Menulis Shalawat di Kitab
Tidak harus menjadi penulis, siapa saja tentu akan merasa nyaman jika menulis namanya sendiri di dalam kitab/buku yang telah ia beli. Apalagi menulis ‘shalawat kepada Nabi Muhammad’ di dalam kitab, tentu tidak sedikit orang yang melakukannya. Lalu apakah ada dalilnya? Dalam kitab Dur al-mandhud fi sholati wa al-salami ‘ala shohibi al-maqom al-mahmud, Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengulas:
وروى كثيرون: «من صلّى عليّ في كتاب.. لم تزل الملائكة يستغفرون له ما دام اسمي في ذلك الكتاب» وسنده ضعيف، وقال ابن الجوزي: (إنه موضوع) ، وقال ابن كثير: (إنه لا يصح) ، وفي لفظ: «تستغفر له»
وفي آخر: «من كتب في كتابه صلى الله عليه وسلم.. لم تزل الملائكة تستغفر له ما دام في كتابه»
وفي رواية عند جماعة أيضا عن أبي بكر كرم الله وجهه: «من كتب عني علما، فكتب معه صلاة عليّ.. لم يزل في أجر ما قرىء ذلك الكتاب»
Banyak orang meriwayatkan: Barangsiapa bershalawat kepada di dalam kitab, malaikat akan selalu meminta ampun baginya selama namaku di dalam kitab tersebut. Sanadnya lemah, Ibnu Jauzi berkata: hadisnya maudhu’. Dan Ibnu Katsir berkata: hadis tidak shahih. Dalam satu lafad memakai redaksi تستغفر له
Dalam riwayat lain : barangsiapa menulis di dalam kitabnya : shallahu ‘alahi wasallam , malaikat akan selalu meminta ampun baginya selamat tulisan itu di dalam kitabnya.
Dalam riwayat orang banyak juga, dari Abi Bakr karramallahu wajhah: barangsiapa menulis dariku suatu ilmu, kemudian menulis shalawat kepadaku, maka pahala selalu ada pada apa yang dibaca dari kitab tersebut.
Dari keterangan ini, ada sekian riwayat tentang keutamaan menulis shalawat di buku/kitab. Tapi harus diingat bahwa hadis ini tidak shahih. Bahkan Ibnu Jauzy menganggap maudhu’. Mengenai hukum meriwayatkan hadis maudhu’ ini dijelaskan oleh Dr. Mahmud Thahan dalam taysir musthalah hadis menyebutkan, tidak boleh diriwayatkan bagi orang yang sudah mengetahui keadaan (status)-nya, kecuali disertai penjelasan mengenai status (maudhu’)-nya. Dan itu pun harus memenuhi dua syarat yaitu tidak terkait dengan perkara akidah, seperti sifat-sifat Allah, dan tidak dalam posisi menjelaskan hukum-hukum syarat yang terkait masalah halal dan haram.
Terkait hukum mengamalkan menulis shalawat di kitab yang dianggap dari riwayat lemah, Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar menerangkan:
قال النووي رحمه الله تعالى في «أذكاره» : (قال العلماء من المحدّثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل، والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعا، وأما الأحكام كالحلال والحرام، والبيع والنكاح والطلاق، وغير ذلك.. فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن، إلا أن يكون في احتياط في شيء من ذلك، كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة.. فإن المستحب أن يتنزه عنه، ولكن لا يجب
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama, baik dari kalangan ulama, ahli fikih, dan lainnya, mengatakan bahwa boleh dan dianjurkan untuk menggunakan hadits-hadits yang lemah dalam masalah-masalah akhlak, anjuran, dan ancaman: “Diperbolehkan dan dianjurkan untuk menggunakan hadits-hadits yang lemah dalam masalah-masalah keutamaan, anjuran, dan ancaman, selama tidak dianggap maudhu’.
Adapun dalam masalah-masalah hukum seperti halal, haram, jual beli, pernikahan, perceraian, dan lain-lain. Diperbolehkan dan dianjurkan untuk menghindarinya, kecuali jika ada kehati-hatian dalam beberapa hal ini, seperti jika ada hadis lemah yang tidak menyukai penjualan atau pernikahan tertentu. Dianjurkan untuk menghindarinya, tetapi tidak wajib.
Dengan demikian, meski dalam kalangan ulama hadis menganggap menulis shalawat di kitab tidak mempunyai landasan dalil yang kuat, tetapi dalam keputusan hukum kita bisa mengambil dalil dalam kaidah fikih bahwa al-ashlu fil asyyâ’ al-ibâhah hattâ yadulla –d dalîl alâ khilâfih (hukum asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang melarangnya). Maka menulis shalawat di dalam kitab yang notabene tidak bertentangan dengan syariat, asalkan ditempatkan selayaknya, maka boleh dilakukan. Semoga bermanfaat.
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Mendapat Syafaat sebab Banyak Membaca Shalawat
Baca juga: Hukum Wanita Mengeraskan Suara saat Membaca Talbiyah