Isra’ Mi’raj merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang diperingati oleh umat Muslim di seluruh dunia. Peristiwa ini merujuk pada perjalanan malam Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Isra’) dan dilanjutkan dengan perjalanan menuju langit hingga Sidratul Muntaha (Mi’raj).
Dalam tradisi Islam, peristiwa ini menjadi momen signifikan karena salah satu hasilnya adalah kewajiban salat lima waktu sehingga dengan begitu ummat islam selalu memperingatinya, Adapun bentuk cara dalam peringatannya berbeda-beda sesuai tradisi masing-masing daerah mulai dari pembacaan Al-Qur’an, cerita-cerita keajaiban dan hikmah di balik peristiwa Isra’ Mi’raj, hingga acara sosial kemasyarakatan yang lain.
Meski demikian, peringatan yang mulia ini banyak di temukan seruan-seruan dari golongan wahabi yang membid’ahkannya, salah satu pendapat yang mereka anut dalam membid’ahkan perayaan Isra’ Mi’raj ini adalah perkataan Ibn Utsaimin seorang ulama panuta wahabi yang dalam kitabnya menyatakan bahwa perayaan Isra’ Mi’raj tidak memiliki dasar yang sah baik secara sejarah maupun tuntutan syari’at maka dengan begitu hal tersebut termasuk suatu bid’ah yang tercela, berikut ulasan dari pernyataan Ibn Utsaimin
وكأن السائل يريد أن يشير إلى ما يفعله بعض الناس ليلة السابع والعشرين من رجب من الاحتفال بهذه الليلة، يظنون أنها ليلة الإسراء والمعراج، والواقع أن ذلك لم يثبت من الناحية التاريخية، فلم يثبت أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أسري به في تلك الليلة، بل إن الذي يظهر أن المعراج كان في ربيع الأول، ثم على فرض أنه ثبت أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عرج به في ليلة السابع والعشرين من رجب، فإن ذلك لا يقتضي أن يكون لتلك الليلة احتفال واختصاص بشيء من الطاعة، وعلى هذا فالاحتفال بليلة سبع وعشرين من رجب لا أصل له من الناحية التاريخية ولا الشرعية، فإذا لم يكن كذلك كان من العبث ومن البدعة أن يحتفل بتلك الليلة. (مجموع فتاوى ورسائل العثيمين 20/ 69)
Seakan penanya menghendaki peringatan yang dilakukan oleh sebagian orang pada 27 Rajab. Mereka menyangka bahwa malam tersebut adalah malam Isra Mikraj. Padahal faktanya hal tersbut tidak sesuai dengan sejarah. Juga tidak ada hadis yang menyatakan Nabi Isra pada malam tersebut. Justru yang jelas adalah Mikraj terjadi pada bulan Rabiul Awal. Sendainya pun ada informasi bahwa Nabi Mikraj pada malam 27 Rajab, hal ini tidak menunjukkan adanya anjuran untuk memperingatinya dan mengkhususkannya dengan amalan ketaatan. Dengan demikian, memperingati malam 27 Rajab tidak ada dasarnya secara sejarah dan juga syariat. Jika demikian, maka semuanya itu sia-sia dan termasuk bidah.( Ibn Utsaimin, Majmu’ Fatawa Wa Rasail, Juz 20, Hal 69).
Pernyataan Ibn Utsaimin di atas mnyimpulkan dua poin
- Peristiwa Isra’ Mi’raj tidak terjadi pada tanggal 27 Rajab melainkan di bulan Rabiul Awal
- Peringatan Isra’ Mi’raj tidak memiliki dasar baik dalam sejarah maupun syari’at
Dari dua poin di atas penulis akan memberikan tanggapan ilmiyah dan membuktikan bahwa tuduhan di atas tidaklah benar, hal tersebut di sebabkan kegagalan Ibn utsaimin dalam memahami konteks permasalahan yang di bahas, beliau mengira jika orang-orang yang melakukan perayaan Isra’ Mi’raj menganggap bahwa perayaan tersebut bernilai kebaikan yang di anjurkan oleh syari’at padahal tidak seperti itu, perkumpulan yang di lakukan oleh masyarakat di penjuru daerah yang mereka sebut dengan perayaan Isra’ Mi’raj sejatinya hanyalah suatu tradisi.
Oleh karena itu, nilai kebaikan dari perayaan Isra Mi’raj tidak terletak pada perkumpulannya, melainkan isi yang ada di dalamnya, seperti membaca al-Quran, menceritakan Isra Mi’raj, mendengarkan mawā’iz al-husnā, dan lainnya, dengan begitu perayaan ini sah sah saja selama tidak meyakini bahwa nilai tasyri’nya terdapat dalam perkumpulannya, hal tersebut senada dengan pandangan Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki yang memperbolehkan amaliyah pembacaan surat yasin tiga kali ketika malam nisfu Sya’ban, berikut ulasannya
لكن لا مانع من أن يُضيف الإنسان إلى عمله مع إخلاصه مطالبه وحاجاته الدينية والدنيوية الحسية والمعنوية الظاهرة والباطنة، ومن قرأ سورة يس أو غيرها من القرآن لله تعالى طالباً البركة في العُمُر ، والبركة في المال، والبركة في الصحة، فإنه لا حرج عليه، وقد سلك سبيل الخير (بشرط أن لا يعتقد مشروعية ذلك بخصوصه) فليقرأ يس ثلاثاً، أو ثلاثين مرة، أو ثلاث مئة مرة بل ليقرأ القرآن كله لله تعالى خالصاً له، مع طلب قضاء حوائجه، وتحقيق مطالبه، وتفريج همه وكشف كربه وشفاء مرضه وقضاء دينه، فمـا الحرج في ذلك ؟ .. والله يحب من العبد أن يسأله كل شيء، حتى ملح الطعام وإصلاح شسع نـنعله. وكونه يُقدِّم بين يدي ذلك سورة يس، أو الصلاة على النبي و ما هو إلا من باب التوسل بالأعمال الصالحة وبالقرآن الكريم، وذلك متفق على مشروعيته (ماذا في الشعبان للسيد محمد بن علوي الملكي ص: 120)
Namun, tidak masalah bagi seseorang untuk menambahkan pada amalnya dengan keikhlasan, juga permintaan dan kebutuhannya, baik yang bersifat agama maupun duniawi, baik yang bersifat lahir maupun batin. Barang siapa membaca Surah Yasin atau surah lainnya dari Al-Qur’an karena Allah Ta’ala dengan tujuan meminta keberkahan dalam umur, harta, dan kesehatan, maka tidak ada masalah baginya. Ia telah menempuh jalan kebaikan (dengan syarat tidak meyakini bahwa hal tersebut memiliki ketentuan khusus dalam syari’at). Hendaknya ia membaca Yasin tiga kali, tiga puluh kali, atau bahkan tiga ratus kali, atau bahkan membaca seluruh Al-Qur’an karena Allah Ta’ala dengan keikhlasan, sembari memohon terkabulnya hajat, terpenuhinya keinginan, terangkatnya kesulitan, terbebasnya dari penderitaan, kesembuhan dari penyakit, dan pelunasan utang. Apa yang salah dengan hal itu? Allah mencintai seorang hamba yang meminta kepada-Nya segalanya, bahkan garam untuk makanan atau perbaikan tali sandal. Jika seseorang mengawali hal tersebut dengan membaca Surah Yasin atau bersalawat kepada Nabi, hal itu hanyalah dalam rangka bertawassul dengan amal saleh dan Al-Qur’an, yang disepakati sebagai sesuatu yang dianjurkan dalam syariat.( Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Madza Fi Sya’ban, Hal 120).
Dari pernyataan Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki di atas, dapat dipahami bahwa pembacaan Surah Yasin sebanyak tiga kali yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada malam Nisfu Sya’ban pada dasarnya tidak memiliki anjuran khusus dalam syariat.
Namun, jika hal tersebut dilakukan, maka hal itu tidaklah bermasalah selama tidak diyakini sebagai amalan yang memiliki anjuran khusus dari syariat. Hal ini karena pada dasarnya pembacaan Surah Yasin atau surah lainnya termasuk dalam amalan yang memiliki anjuran secara umum dalam syariat.
Begitu juga dengan perayaan Isra Mi’raj yang tidak memiliki anjuran khusus dalam syari’at namun secara umum semua yang di lakukan didalamnya seperti pembacaan al-Qur’an, sirah Nabawi, dan hikmah dalam peristiwa Isra Mi’raj, memiliki dasar anjuran yang sah didalam syari’at. Berikut tanggapan kami atas dua poin pokok argument wahabi di atas
Pertama, pernyataan golongan wahabi yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj tidak terjadi di tanggal 27 Rajab dan hanya terjadi di bulan Rabiul awal tidaklah benar, hal tersebut karena ketetapan Isra’ Mi’raj merupakan suatu yang masih diperselisihkan mengenai waktunya, ada yang mengatakan terjadi di bulan Rabiul Awal ada pula yang mengatakan terjadi di Tanggal 27 Rajab, bahkan pendapat ini yang paling masyhur diantara para ulama sejarah, berikut kami tampilkan datanya
Seorang ulama pakar sejarah Al-Imam ‘Imaduddin Al-Ashfihani mengatakan bahwa terjadinya Mi’raj bertepatan dengan ditaklukannya Baitul Maqdis yaitu pada 27 rajab
ذكر يوم الفتح واتفق فتح البيت المقدس في يوم ” وهو سابع عشر من رجب” كان في مثل ليلته منه المعراج (الفتح القسي في الفتح القدسي ص: 73)
Di taklukannya baitul maqdis terjadi pada 27 rajab, dan Mi’raj terjadi pada malam yang sama.( Imaduddin Al-Asfihani, Al-Fathul Qashi Fi Fathil Qudsi, Hal 73).
Senada dengan Al-Imam ‘Imaduddin Al-Ashfihani seorang ulama pakar sejarah yang lain juga berpendapat sama, semisal Al-Imam Baha’uddin Bin Syaddad, beliau menceritakan kisah tentang Salahuddin Al-Ayyubi ketika menaklukan Baitul Maqdis yang kala itu bertepatan dengan 27 rajab dan tepat ketika maam itu terjadi Mi’raj, berikut ulasannya
وكان تسلمه القدس قدس الله روحه في يوم الجمعة السابع والعشرين من رجب وليلة كانت المعراج المنصوص عليها في القرآن المجيد. فانظر إلى هذا الاتفاق العجيب كيف يسّر الله عوده إلى أيدي المسلمين في مثل زمان الإسراء بنبيهم صلّى الله عليه وسلّم وهذه علامة قبول هذه الطاعة من الله تعالى (النوادر السلطانية والمحاسن اليوسفية ص: 135)
Baitul Maqdis ditaklukan oleh Şalahuddin al-Ayyūbī -semoga Allāh menyucikan ruhnya pada hari Jumat, 27 Rajab, pada malam terjadinya Mikraj yang di-naş dalam al-Quran. Perhatikanlah kesesuaian yang menakjubkan ini. Bagaimana Allah memudahkan kembalinya Baitul Maqdis ke tangan umat Islam di waktu yang sama dengan Isra-nya Nabi mereka. Ini menandakan bahwa ketaatan mereka diterima oleh Allah.( Baha’uddin bin Syadad, An-Nawadir Al-Sulthaniyah, Hal 135).
Bukan hanya para sejarawan islam yang menyepakati bahwa terjadinya Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, bahkan hal ini disepakti juga oleh para ulama hadis dan tafsir seperti Al-Hafiz Ibn Katsir yang menceritakan bahwa pada masa dinasti Bani Umayyah, ummat islam berkumpul pada malam 27 Rajab di masjid al-Umawi, mereka mengatakan bahwa malam itu adalah waktu ketika rasulullah melakukan Mi’raj
وعملت المواعيد بالجامع الأموي ليلة سبع وعشرين من رجب، يقولون ليلة المعراج (البداية والنهاية ط إحياء التراث 14/ 263)
Dan digelar suatu pertemuan di Masjid Jamik Al-Umawi pada maam 27 Rajab, mereka menyebut malam itu dengan sebutan malam Mi’raj.(Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa-Nihayah, Juz 14, Hal 228).
Dengan semua data dan sumber autentik di atas maka runtuhlah argumentasi wahabi yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj tidak pernah terjadi di tanggal 27 Rajab dan hanya terjadi di bulan Rabiul Awwal, begitupula runtuh argument wahabi yang menyatakan bahwa perayaan Isra’ Mi’raj tidak pernah terjadi dalam sejarah islam dengan bukti pada masa dinasti Bani Umayyah, ummat islam berkumpul pada malam 27 Rajab di masjid al-Umawi, mereka mengatakan bahwa malam itu adalah waktu ketika rasulullah melakukan Mi’raj.
Terlepas dari perbedaan pendapat diantara ulama mengenai waktu terlaksananya Isra’ Mi’raj, sebenarnya hal tersebut tidak terlalu krusial, hal itu dikarenakan yang terpenting pada perayaan ini adalah isi dari acara yang di kemas didalamnya seperti pembacaan Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah dan Rasulnya, sebagaimana yang di sampaikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki
وَالَّذِي يُهِمُّنَا هُوَ اغْتِنَامُ فُرْصَةِ الْإِجْتِمَاعِ وَكَسْبُ ذَلِكَ لِتَوْجِيهِ النَّاسِ إِلَى الْخَيْرِ. فَهَذِهِ اللَّيْلَةُ قَدْ إِجْتَمَعَ النَّاسُ فِيهَا بِشَكْلٍ كَبِيرٍ وَعَظِيمٍ وَسَوَاءٌ أَخْطَأُوا فِي التَّوْقِيتِ أَمْ أَصَابُوا فَإِنَّ مُجَرَّدَ اجْتِمَاعِهِمْ هَذَا عَلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَمَحَبَّةِ رَسُولِ اللَّهِ كافٍ فِي اسْتِجْلَابِ رَحْمَةِ اللَّهِ وَفَضْلِهِ. (مفاهيم يجب أن تصحح ص: 257)
Yang terpenting bagi kita adalah mendapatkan kesempatan berkumpul dan melakukan hal itu untuk mengarahkan masyarakat kepada kabaikan. Malam ini, orang-orang telah berkumpul dengan skala yang besar, baik mereka benar atau salah dalam menentukan waktunya. Karena berkumpul saja untuk berzikir kepada Allāh mencintai Rasûlullah cukup untuk meraih rahmat Allah.( Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki, Mafahim Yajibu An Tusahhah, Hal 257).
Kedua, pernyataan golongan wahabi yang mengatakan bahwa mereyakan Isra’ Mi’raj tidak memiliki dasar yang sah didalam syari’at tidaklah benar, hal itu karena pada kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat suatu anjuran bagi seorang muslim untuk selalu mengingat semua kisah perjuangan para rasul, hal itu dianjurkan karena dapat memberikan suatu pelajaran berharga bagi orang mukmin, sebagaimana yang dijelaskan ayat berikut
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ) (هود: ۱۲۰
Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS. Hud: 120)
Selain itu juga ada perintah untuk selalu mengingat-ngingat peristiwa pada periode pertama islam, yang mana pada periode tersebut banyak dikenang perjuangan-perjuangan para nabi dalam menyebarkan risalahnya, dan termasuk salah satu peristiwa yang terjadi pada periode pertama adalah Isra’ Mi’raj sehingga juga dianjurkan untuk selalu diingatkan dan diperingati oleh orang-orang muslim, anjuran mengingat-ngingat peristiwa yang terjadi pada periode pertama bisa kita temukan dalam ayat berikut
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ (إبراهيم: 5) وَأخرج ابْن أبي حَاتِم عَن الرّبيع – رَضِي الله عَنهُ – فِي قَوْله: {وَذكرهمْ بأيام الله} قَالَ: بوقائع الله فِي الْقُرُون الأولى (الدر المنثور في التفسير بالمأثور 5/ 6)
Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda- tanda (kekuasaan) Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan menuju cahaya terang- benderang, dan ingatkan mereka kepada hari-hari Allah.” Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (QS. Ibrahim: 5). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ar-Rabī’ dalam menafisri firman Allah: “Ingatkanlah kepada mereka hari-hari Allāh.” Ar-Rabi’ berkata: “Yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi pada periode pertama”( As-Suyuti, ad-Durrul-Mansur, Juz 5, Hal 6)
Pendapat golongan Wahhabi yang menyatakan bahwa perayaan semacam ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah sehingga dianggap sebagai bid’ah karena dianggap menambah-nambah ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, merupakan suatu kekeliruan. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang kurang tepat mengenai larangan menambah-nambah ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa menambahkan sesuatu pada ajaran Rasulullah diperbolehkan selama tambahan tersebut tidak bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh beliau.
والحديث استدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور. ويؤيد ذلك عموم الأحاديث الواردة بمشروعيته فإنها لم تفرق بين الصلاة وغيرها. (نيل الأوطار 2/ 377)
Hadis ini dijadikan dalil atas kebolehan menambahkan zikir dalam salat yang tidak bersumber (dari Nabi), selama tidak bertentangan dengan yang bersumber. Hal ini diperkuat oleh keumuman hadis-hadis yang menunjukkan disyariatannya, karena hadis-hadis tersebut tidak membedakan antara (zikir) dalam salat dan di luar salat.( Asy-Syaukani, Nailul Awthar, Juz 2, Hal 377).
Pernyataan Imam Asy-Syaukani di atas didasarkan pada sebuah hadis yang menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah ﷺ bangun dari rukuk, salah seorang sahabat membaca doa yang sebelumnya tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ. Namun, Rasulullah ﷺ tidak memarahi sahabat tersebut atas perbuatannya. Sebaliknya, Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa ada tiga puluh malaikat yang berlomba untuk mencatat kebaikan dari doa yang dilantunkan oleh sahabat tersebut. Dengan demikian melakukan suatu yang tidak pernah diajarkan Rasulullah bukan berarti menambah-nambahi syariat dan dianggap bid’ah, hal seperti itu boleh-boleh saja dilakukan selagi tidak menyalahi tuntutan syariat.
Penulis: Ma’sum Ahlul Khoir, Mahasantri M2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng
Editor: Thowiroh