tebuireng.co – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya kembali menyatakan komitmen menjaga NU dari lingkaran kompetisi politik praktis.
Pernyataan ini menjadi komitmen utamanya setelah menyatakan diri sejak akan maju sebagai kandidat calon ketua umum PBNU di Muktamar ke-34 NU.
Menurutnya, perpecahan dalam tubuh NU dalam lingkup terbatas maupun khalayak umum dalam lingkup luas pasca kontestasi politik pemilihan Presidan tahun 2019 lalu merupakan luka luar biasa bagi Indonesia, terkhusus bagi NU itu sendiri.
Maka dari itu, kejadian tersebut tidak boleh terulang kembali. “Kita sudah pernah mengalami luka-luka luar biasa karena keikut sertaan kita (NU:Red.) dalam kontestasi ini,” jelasnya saat acara talkshow ROSI, dengan tema “Wajah Baru Nahdlatul Ulama”, Kamis (20/1/2022).
Salah satu kebijakan yang diambil oleh Gus Yahya sebagai pimpinan tertinggi NU adalah larangan menjadi kandidat calon presiden maupun calon wakil presiden bagi seluruh PBNU.
Pengurus besar NU telah mewakafkan dirinya bagi NU dengan rela untuk tidak mencalonkan diri serta menolak tawaran menjadi kandidat calon presiden dan wakil presiden.
“Saya ingin betul-betul menjaga NU untuk tidak ikut dalam kompetisi ini,” tambahnya.
Baca Juga: Menghidupkan Gus Dur
Dikatakan, kebijakan ini berlaku terbatas dan secara spesifik hanya dalam ranah pencalonan presiden dan wakil presiden guna menjaga NU dari lingkaran politik polarisasi.
“Karena diakui, NU tetap butuh anggota yang juga merupakan aktivis partai politik,” imbuhnya.
Menurut Gus Yahya sedikitntya ada dua tantangan besar yang dihadapi oleh NU ke depan. Yang pertama adalah menumbuhkan kembali kesadaran warga NU akan besarnya cita-cita NU didirikan yang selama ini banyak tereduksi oleh isu-isu tertentu.
Yang kedua adalah menyatukan kembali warga NU secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum yang sempat terpecah belah karena dinamika yang terjadi sepanjang pelaksanaan pilpres tahun 2019.
“Cita-cita NU sempat tereduksi yang katanya didirikan hanya untuk membantu menyiapkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan, padahal cita-cita NU tidak sesempit itu,” tegasnya
Sementara itu, menurut Alissa Wahid di era Gus Yahya sejumlah nama perempuan menduduki beberapa jabatan strategis dalam kepengurusan NU. Tercatat sebelas nama perempuan berada di posisi kepengurusan inti PBNU.
Sejak pelaksanaan Muktamar ke-34 NU kemarin, kehadiran komunitas perempuan berhasil menghiasi NU dari empat dimensi sekaligus.
Baca Juga: Gabung FPI
Yakni kehadirannya sebagai tema atau isu utama, sebagai perspektif, sebagai subjek dan sebagai kelompok yang tujuannya adalah menciptkan kemaslahatan bersama.
Alissa Wahid, yang hadir secara virtual melalui zoom juga menyampaikan bahwa peran perempuan dalam pembangunan peradaban baik di internal NU itu sendiri maupun di eksternalnya telah ada sejak awal NU berdiri.
“Peran publik perempuan dalam diri NU itu sudah ada sejak dulu. Hal tersebut bisa dilihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kaum perempuan dalam melaksanakan dan mengisi pengajian maupun juga dalam mengelola organisasi secara mandiri,” tandasnya.
A Fikri/Abdurrahman