tebuireng.co- Sebagai umat muslim, tentunya kata santri sudah akrab di telinga kita. Namun, sebenarnya apa sih hakikat santri itu? Bagaimana pula kehidupan santri sehingga begitu eratnya dengan masyarakat Indonesia?
Santri dan Pesantren
Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua pengertian, yaitu orang yang mendalami agama Islam; orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; atau orang yang saleh. Asal usul kata santri dalam pandangan Madjid (1999) dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu dari kata cantrik, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Clifford Geertz dalam Abangan Santri: Priyayi dalam Masyarakat Jawa ( 1983) berpendapat, kata santri mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti sempit santri adalah seorang murid satu sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Oleh sebab itu, perkataan pesantren diambil dari perkataan santri yang berarti tempat untuk santri. Dalam arti luas dan umum santri adalah bagian penduduk Jawa yang memeluk Islam secara benar-benar, bersembahyang, pergi ke masjid dan berbagai aktifitas lainnya.
Bagi penduduk Indonesia, yang mayoritas adalah umat muslim, kehidupan santri sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Masyarakat Indonesia, terutama dari golongan ekonomi menengah ke bawah telah menjadi bagian penting dari tonggak kehidupan para santri. Meskipun begitu, tak sedikit pula kaum ningrat yang mengabdikan hidupnya pada kaum santri.
Di masa-masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, masyarakat Indonesia, terutama dari golongan rakyat di pedesaan, cenderung memilih pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk membekali putra putrinya dalam hal ilmu agama. Kaum santri sedemikian bergengsinya, bahkan hingga setiap ayah dari seorang gadis pun ingin mempunyai menantu dari golongan para santri. Bukan hanya kaum elite desa saja, tak terkecuali ayah dari kaum jelata yang memiliki anak gadis. Sehingga para ayah di desa pun berlomba mengirimkan anaknya yang laki-laki di pesantren, untuk menimba ilmu.
Terlepas dari definisi dan hakikat tentang santri dan pesantren, penulis ingin menyampaikan beberapa gagasan yang mendukung keberadaan santri dan pesantren sebagai tempat ‘nyantri’ pada era globalisasi. Ada beberapa alasan yang memperkuat argumen penulis tentang hal ini.
Mengapa Hidup di Pesantren?
Cerita ini diawali dari cerita saat penulis masih berada di bangku SMA, yang sekaligus nyantri di sebuah pondok sederhana di kabupaten Blitar. Berangkat dari rumah, penulis masih sering merepotkan ibunya. Belum bisa mencuci baju sendiri, belum bisa memasak sendiri, belum bisa membagi waktu dengan baik, dan masih banyak sifat-sifat kekurangmandirian yang dimiliki penulis. Namun, begitu memulai kehidupan sebagai santri yang mau tidak mau harus melakukan apapun secara mandiri, dari sini lah kemandirian itu lahir. keuntungan yang pertama nyantri adalah menjadi seorang pribadi yang mandiri.
Kedua, santri dituntut untuk mampu memiliki time-management yang baik. Mereka belajar mengatur waktu mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ada yang menerapkan pola kehidupan ‘bel’ seperti di pesantren modern, ada pula yang secara kesadaran individu mengatur kegiatan diri sendiri semaksimal mungkin, agar tak membuang waktu yang ada, seperti di pesantren tradisional.
Ketiga, santri juga dituntut untuk menjadi manager keuangan yang baik. Bagaimana tidak? Uang kiriman dari orangtua hanya satu bulan sekali. Itu pun kalau rutin. Karena terkadang ada pula yang menunggu kiriman hingga tiga bulan lamanya. Lantas, bagaimana anak pesantren bisa tetap bertahan hidup? Bagi santri yang tinggal di pesantren modern, walau mungkin terkadang belum membayar syahriyah, masih ada makanan jatah bagi mereka, walau dengan lauk sederhana. Nah, bagi santri yang tinggal di pesantren tradisional, mereka biasa blusukan di sawah atau tegal tak bertuan yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman yang telah disediakan oleh Allah untuk mereka yang mau memetiknya. Maka jadilah masakan ala santri dan ala kadarnya, namun sehat dan halal. Tak jarang pula tetangga pesantren yang berbaik hati memberikan sedekah makanan bagi para santri.
Keempat, pelajaran tentang kehidupan bermasyarakat yang sebenarnya, telah diperoleh di pesantren. Hidup dengan banyak orang yang memiliki latar belakang dan sifat berbeda, menjadikan para santri lebih siap untuk menghadapi kehidupan bermasyarakat. Mengatasi perbedaan pendapat dan memecahkan permasalahan sederhana dengan berdiskusi secara fair, belajar menghormati hak orang lain dengan mengantri dalam segala hal, itu semua merupakan diorama mini kehidupan yang terdapat di pesantren.
Kelima, tak sedikit pesantren yang membekali santrinya dengan keterampilan-keterampilan khusus sehingga mereka siap jika kelak telah hijrah dari pesantren. Di pesantren putra tradisional (red. berdasarkan cerita suami penulis), para santri diajari cara-cara untuk bercocok tanam (padi, jagung, palawija dan sayuran), menjadi kuli bangunan (membuat batako, batu bata, bahkan adapula yang membuat genteng), membuat minyak kelapa, membuat kecap, membuat tahu dan tempe, menjahit (pakaian dan kasur), beternak (ikan, unggas, dan hewan berkaki empat), kerajinan tangan sederhana (sapu, keset, tempat sampah) dan sebagainya. Di lain sisi, santri putri (red. pengalaman pribadi penulis) diajari cara-cara untuk memanen (padi dan jagung), membersihkan lingkungan, melibatkan santri dalam setiap acara pesantren dimulai dari penggalangan dana, pembelanjaan, hingga pembagian tugas untuk memasak, mengisi acara, menata dekorasi panggung, dan sebagainya.
Keenam, hidup di pesantren akan dibekali ilmu keagamaan yang lebih dalam. Nilai tambah inilah yang membuat para orangtua zaman sekarang pun mempercayakan pesantren sebagai filter dari arus globalisasi dan hedonisasi yang kian ganas menyerang generasi muda. Mengapa demikian? Dengan aktivitas dan rutinitas yang padat mulai bangun tidur hingga tidur lagi, santri sudah tak memiliki celah untuk sekedar mencicipi arus pergaulan yang menjerumuskannya. Apalagi jika santri itu selain hidup di pesantren juga bersekolah secara formal.
Ketujuh, orang yang pernah hidup di pesantren pada umumnya memiliki sifat istiqomah, ikhlas, jujur, sopan santun, setia kawan dan suka menolong. Tak bisa dipungkiri, sifat istiqomah lahir dari rutinitas belajar, beribadah dan bekerja yang telah mendarah daging. Sifat ikhlas terlahir dari kebiasaan mengantri. Walau mungkin pada awalnya sifat istiqomah dan jujur ini dimulai dari keterpaksaan, namun jika telah terbiasa, rasa terpaksa akan memudar seiring berjalannya sang waktu. Sedangkan sifat sopan santun dan jujur juga telah tertanam subur, meskipun dahulu diawali dari rasa segan terhadap Kiai dan guru-gurunya. Rasa setia kawan dan suka menolong juga terlahir dari kebersamaan hidup sebagai santri, yang mengalami suka dan duka bersama-sama, sehingga timbullah ikatan persaudaraan yang kuat dalam hati mereka.
Demikianlah, penulis berpendapat, bahwa nyantri ternyata masih tetap relevan hingga kini, bahkan sangat penting, sebagai benteng bagi generasi muda dari pengaruh globalisasi tanpa batas. Pesan bagi para orangtua, pilihlah pesantren sebagai madrasatut tsani (red. karena madrasatul ula adalah orangtua, bukan hanya ibu). Pesantren, selain sebagai wadah pembentukan karakter bagi anak-anak dan remaja, juga merupakan tempat berlabuh saat mereka berada pada masa pencarian jati diri. Jika mereka mencari jati diri di tempat yang salah, maka itulah jati diri yang mereka temukan. Jika mereka mencari jati diri di tempat yang benar, maka itu pulalah jati diri yang mereka labuhkan. Wallahu a’lam bish showab.
*Elisa Nurul Laili, S.S., M.A. Alumni PP. Al-Hikmah Kanigoro Blitar, Alumni UGM. Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UNHASY Tebuireng Jombang.
Baca juga: Santri Ideal di Era 5.0 Itu Seperti Apa?