tebuireng.co– Manusia mengikuti perilaku pemimpinnya menjadi sangat familiar disebut-sebut sebagai hadis terutama ketika terjadi peristiwa penting di wilayah kekuasaan. Misalkan yang pernah terjadi di era Orde Baru. Saat itu, pada Tanggal 21 Mei 1998, H. Muhammad Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Maka sejak saat itu tamatlah sudah rezim Orde Baru. Konon, jatuhnya Pak Harto karena pemerintahannya dihinggapi penyakit KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Bahkan, konon bukan hanya kalangan birokrasi saja yang terjangkit penyakit KKN, tetapi kalangan swasta dan juga rakyat ikut terkena penyakit itu, khususnya korupsi. Maka hampir tidak ada urusan kehidupan manusia, kecuali di situ korupsi tumbuh subur.
Menyikapi penyakit sosial ini, para penceramah dan muballigh serta-merta mengatakan bahwa pola hidup korup sebagian besar masyarakat Indonesia itu terjadi karena masyarakat cenderung mengikuti pola hidup para pemimpinnya. Apabila pemimpin itu bersikap sederhana, rakyat juga hidup sederhana. Bila pemimpinnya suka pesta, rakyat juga ikut suka pesta. Bila pemimpinnya suka korupsi, rakyat juga suka korupsi. Dan begitulah seterusnya.
Kualitas Hadis
Lagi-lagi pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah,betulkah ungkapan tersebut sebuah Hadis Nabi Saw? Bila hal itu benar hadis, siapakah rawinya, terdapat dalam kitab apa, dan apakah kualitasnya?
Ungkapan di atas tadi itu, teks aslinya adalah sebagai berikut:
النّاسُ عَلَى دِ يْنِ مَلِيْكِهِمْ
Artinya: Manusia itu mengikuti agama rajanya.
Dalam versi lainمُلُوْ كِهِمْ dengan bentuk jamak dari مَليك, yang berarti raja-raja.
Imam al-Sakhawi (w. 902 H.) dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah mengatakan,” “لاَ أَعْرِفُهُ حَدِ يْثاَ (Saya tidak mengetahui ungkapan itu sebagai hadis). Kata-kata al-Sakhawi ini menunjukkan bahwa ungkapan tersebut di atas itu adalah hadis palsu.
Al-Sakhawi menuturkan bahwa beliau meriwayatkan ungkapan di atas itu dari al-Fudhail bin ‘Iyadh di mana ia mengungkapkan kata-kata yang intinya adalah “Seandainya saya mempunyai doa yang baik, maka saya berpendapat bahwa penguasa (sulthan) lebih berhak atas doa tersebut. Karena kebaikan pengusaha akan menimbulkan kebaikan rakyat, dan kerusakan penguasa akan menyebabkan kerusakan rakyat.” Ungkapan al-Fudhail ini diperkuat dengan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam al-Kabir, dari Abu Umamah di mana Nabi Saw bersabda, “Jangan kamu caci para pemimpin itu, tetapi doakanlah saja dengan doa yang baik. Karena kebaikan para pemimpin itu akan mendatangkan kebaikan untuk kamu.”
Saksi Sejarah
Meskipun dari segi riwayat, hadis di atas itu termasuk hadis palsu, namun dari segi isi atau substansinya, ungkapan tersebut perlu dipertimbangkan. Karena banyak kenyataan, bahkan saksi sejarah membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan kita dari ancaman masuk neraka, kita jangan menisbahkan ungkapan itu kepada Nabi Saw, melainkan sebut saja ungkapan itu sebagai pendapat ulama, kata-kata hikmah atau kata-kata mutiara.
Sebagai saksi sejarah, Ahli Tafsir dan Ahli Hadis papan atas yang juga Ahli Tarikh, Imam Ibn Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah, ketika menuturkan tarjamah (biografi) al-Walid bin ‘Abd al-Malik, beliau mengatakan, “Orang-orang mengatakan, manusia itu mengikuti agama rajanya. Apabila raja itu peminum khamar, maka akan banyak orang menjual khamar. Apabila raja seorang homoseks, maka rakyat juga akan berperilaku seperti itu. Apabila raja seorang kikir dan pelit, rakyatnya akan bakhil dan medit. Apabila raja seorang yang rakus harta dan dzalim, rakyatnya juga akan ikut demikian. Dan apabila raja seorang yang taat beragama, taqwa kepada Allah, dan baik perilakunya, maka rakyat juga akan mengikuti demikian.”
Orang-orang mengatakan, perhatian al-Wahid bin ‘Abd al-Malik selalu tertuju kepada pembangunan. Maka rakyatnya pada waktu itu juga sangat sibuk dengan urusan pembangunan. Setiap ada orang yang bertemu dengan kawannya, mereka selalu berbicara tentang pembangunan. “Kamu membangun apa?”, begitu tanya yang satu kepada yang lain.
Lain halnya perhatian saudaranya, yaitu Sulaiman. Ia senang pada wanita. Maka rakyatnya selalu disibukkan dengan masalah wanita. Setiap ada orang bertemu dengan yang lain, yang menjadi pembicaraan selalu masalah wanita. “Apa kamu sudah menikah lagi?”, “Berepa isteri-isteri Anda?”, “Berapa wanita-wanita hamba sahaya kamu?”. Begitulah pertanyaan yang selalu muncul di kalangan rakyat.
Berbeda lagi dengan perhatian Umar bin Abd al-Aziz. Khalifah yang dikenal zuhud ini selalu tertarik kepada membaca al-Qur’an, shalat dan ibadah. Karenanya, rakyat juga mengikuti perilaku itu. Setiap ada orang yang bertemu dengan kawannya, pembicaraan mereka selalu berkisar pada masalah membaca al-Qur’an, shalat tahajjud, “Berapa kali Anda membaca wirid (doa-doa)?, “Berapa halaman Anda membaca al-Qur’an?”, “Berapa rakaat anda shalat malam?”, dan lain-lain.
Dan sekali lagi, kendati ada sejarah yang berbicara seperti itu, namun hadis di atas tetap sebagai hadis palsu.
Baca juga: Niat Buruk yang Tidak Direalisasikan Tetap Terhitung Dosa