Sepulang kerja yang melelahkan, istri saya bercerita tentang kawan perempuannya yang sedang dilanda kegalauan tentang kehidupan spiritual. Selepas menikah dan punya anak, ia merasa jauh dari Tuhannya.
Pasalnya, ia sudah jarang sekali melakukan shalat tepat waktu dan wirid-wirid yang biasa ia lakukan semasa lajang. Apalagi puasa sunnah yang rutin ia lakukan semasa nyantri di pesantrennya dulu. Hampir punah.
Kelangkaan ibadah itu salah satunya disebabkan oleh kesibukan rumah tangga dan merawat anaknya yang baru lahir beberapa bulan lalu. Tenaganya terkuras oleh urusan masak, beli bumbu dapur, menyusui anak, hingga membersihkan popok dan atribut bayi lainnya.
Letih dan lelah menghinggapi tubuhnya berhari-hari hingga mengakumulasi dalam waktu beberapa tahun pasca menikah. Dari situ kemudian ia merasa jauh dari Tuhannya. Seperti tidak ada waktu dan tenaga tersisa untuk berlama-lama bermunajat pada Tuhan.
Istri saya yang mendapat curhatan macam itu, memberikan afirmasi atau persetujuan tentang kegundahan kawannya itu. Bahwa saat menikah dan memiliki anak bersama saya, istri saya juga merasakan fase kegalauan itu. Tapi semua itu berhasil ia lewati dengan gembira dan tentu tidak mudah.
Jebakan Persepsi Spiritual
Berhari-hari bahkan berminggu-minggu saya mencoba meyakinkan istri saat ia mengalami jebakan persepsi spiritual di atas. Masyhur kita jumpai dalam banyak keadaan, ketika seorang selama berpuluh tahun hidup lajang, lalu menikah, kondisi kehidupan akan berubah drastis.
Ada yang mampu beradaptasi dan tidak sedikit yang terkejut dengan iklim kehidupan yang betul-betul baru. Bagi mereka yang mampu beradaptasi bukan menjadi soal, lalu bagaimana mereka yang belum bisa?
Tentu akan muncul letupan konflik dalam berkeluarga. Letupan itu bisa kecil dan bisa juga besar. Tergantung seberapa kuat komponen rumah tangga (istri, suami, dan lingkungan sekitar) meredamnya. Syukur mampu merubahnya menjadi kekuatan dan keyakinan baru.
Begini, sebut saja Bunga yang mengalami kegalauan spiritual di atas. Bunga yang memiliki keajegan melakukan ritual-ritual pada Tuhan, tiba-tiba harus melepaskan banyak sekali ritual tersebut karena harus mengurus suami dan anaknya.
Karena kesibukannya yang tidak bersangkut paut dengan Tuhan, ia kemudian mengalami banyak masalah dalam keluarganya. Ambil contoh saja dan ini memang terjadi di beberapa kawan yang mengalami jebakan persepsi spiritual.
Bunga yang terlalu sibuk urusan rumah tangga dan anak merasa frustasi karena tak kunjung punya banyak kesempatan untuk berlama-lama berdekatan dengan Tuhannya. Akhirnya, dengan alasan ingin dekat dengan Tuhan, Bunga memilih fokus untuk beribadah dan mengenyampingkan lainnya.
Kefokusan Bunga yang dilandasi persepsi spritualnya yang jauh dari Tuhan dan akhirnya fokus beribadah menyebabkan keguncangan lain dalam keluarganya. Suami Bunga yang biasa mendapat asupan makan tiga kali sehari menjadi sehari sekali. Lalu anak Bunga yang masih kecil kehilangan banyak momen minum ASI ibunya.
Belum berhenti di situ, si suami lalu naik pitam dan memaki-maki Bunga yang terlalu memperhatikan ibadahnya saja dan acuh tak acuh pada kondisi keluarga. Sang mertua yang merasa iba pada si bayi, turut serta memarahi Bunga.
Karena tekanan bertubi-tubi yang dialami, Bunga akhirnya muntab dan pergi dari rumah. Ia merasa diperlakukan tak adil. Mengapa usahanya untuk dekat Tuhannya mendapat respon negatif dari keluarganya sendiri? Apakah salah jika saya dekat dengan Tuhan? Bukankah Islam mengajarkan untuk selalu mendekat pada Tuhan?
Di titik Bunga yang seperti ini, kemudian jebakan persepsi spiritual menjadi amat berbahaya. Bagi mereka yang tidak memahami bahwa ini jebakan tentu akan membenturkan antara Tuhan dan mengurus rumah tangga.
Di sudut pandang Bunga, Tuhan tentu lebih utama daripada mengurus rumah tangga. Di sudut pandang yang lain, si suami, ia akan mengkriminalkan ibadah karena ia menganggap Bunga tidak bertanggung jawab dan menyebabkan kocar-kacir rumah tangga. Semua jadi rumit.
Mengurai Kerumitan Jebakan
Saya tidak hendak menyalahkan Bunga atau suaminya atas problematika keluarga yang disebakan oleh jebakan ini. Keduanya memiliki sudut pandang yang benar secara subjektif tapi tidak secara objektif.
Boleh saja Bunga merasa dirinya jauh dari Tuhan lalu fokus beribadah. Pun suaminya, kenyataan bahwa ibadah Bunga yang membuat porak-poranda keharmonisan keluarganya. Keduanya dalam kondisi terjebak, sehingga solusinya bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Mari kita urai kerumitan jebakannya.
Bunga perlu tahu, bahwa untuk mendekat pada Tuhan tidak hanya pada ibadah individual, laku ibadah yang dilakukan secara personal atau untuk kepetingan diri sendiri, seperti shalat, wirid, puasa, dan lain sebagainya.
Dalam model pendekatan pada Tuhan, Islam menyediakan ibadah sosial, laku ibadah yang menyasar pada kepentingan orang di sekitarnya. Seperti merawat anak dan menjaga keharmonisan keluarga terhitung sebagai upaya mendekat pada Tuhan.
Cara kerja jebakan persepsi spiritual adalah mencoba memisahkan ibadah individual dengan ibadah sosial secara dikotomis dan dibuat seolah bertentangan. Padahal keduanya adalah dua sisi mata uang yang menyatu dan mendukung satu sama lain.
Dalam kasus si Bunga, ia bisa saja tetap menyusui si anak dengan maksimal dan menyiapkan makan untuk suaminya semampunya. Pun dengan ibadah individualnya, ia bisa melakukan di kala senggang. Itu pun juga sama, semampunya.
Tuhan memberikan kelonggaran cukup besar dalam ibadah Individual. Bahkan dalam beberapa kasus, prioritas justru diberikan lebih besar pada ibadah sosial. Semisal, ketika ada orang tenggelam dan butuh pertolongan, namun di sisi lain waktu shalat ashar sudah hampir habis, mana yang didahulukan?
Tentu saja menyelamatkan orang tenggelam. Para ulama sepakat terkait hal itu. Secara pertimbangan logis, shalat ashar yang tertinggal bisa dilakukan di waktu maghrib dengan cara diqodho’ (diganti). Tapi tidak dengan orang yang tenggelam, jika ia mati tak ada yang mampu mengganti nyawanya. Sehingga menyelamatkan nyawa dianggap upaya darurat yang harus didahulukan.
Jebakan persepsi spiritual ini terkesan remeh, tapi ia seperti “virus” deathly silent (pembunuh dalam sunyi) dalam keberlangsungan hidup bersama. Ia tumbuh dalam pikiran manusia, dan kapan saja bisa menyebar cepat dan mengguncang pondasi-pondasi kehidupan harmonis keluarga dan masyarakat kita.
Jika tidak segera ditangani, tinggal menunggu waktu hancurnya kehidupan kita. Sungguh “virus” yang tidak bisa diremehkan.
Penulis: M. Septian Pribadi
Editor: Zainuddin Sugendal
Baca juga: Kemuliaan Seorang Penggembala Kambing