tebuireng.co – Hijrah kini menjadi tema utama pembahasan kita, karena pemaknaan kata “hijrah” dan implementasinya dalam kehidupan memiliki banyak versi dari setiap pelakunya. Oleh karenanya penting kita menguak makna hadis hijrah di era milenial.
Menurut sebagian kalangan, hijrah adalah perubahan kondisi menuju pada kebaikan, seperti dari pakaian yang mulanya tidak berkerudung, kemudian berhijab dan menutup aurat.
Di sisi lain, hijrah itu bermula dari hati. Padahal jika dilihat pada sejarah Islam, hijrah pada zaman Nabi Muhammad Saw adalah berpindah dari Makkah ke Madinah dengan tujuan menyebarkan dan mengajak umat manusia untuk memeluk agama Islam, karena pada masa itu kota Makkah tidak lagi mudah untuk ditaklukkan.
Maka dari itu, Rasulullah melaksanakan hijrah menuju Madinah dan kemudian kembali lagi ke Mekkah ketika sudah menemukan banyak pasukan untuk perang.
Oleh karena itu, jika dipadukan dengan fenomena yang terjadi sekarang, bagaimana sesungguhnya makna “hijrah” dan penerapan yang sebenarnya?
Terkait dengan persoalan itu setidaknya kita perlu menguak makna hadis hijrah yang terdapat di tiga Hadis sesuai fokus kajian ini, yaitu:
“la hijrat ba’da al fath…: tiada hijrah setelah terbuka kembali kota Makkah…”,
“… wa al-muhajir man hajara ma naha Allah ‘anh: …dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang telah dilarang Allah”,
“faman kanat hijratuh ila dunya yusibuha aw ila imra’ah yankihuha fa hijratuh ila ma hajara ilayh: barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi seorang perempuan, maka hijrahnya untuk sesuatu yang ia niatkan”.
Menguak makna hadis hijrah pertama “la hijrat ba’d alfath” dengan berbagai redaksinya kebanyakan bersumber dari Ibn ‘Abbas.
Hadis Ibn ‘Abbas banyak diriwayatkan para mukharrij, yaitu Imam Bukhari sebagaimana pada bab la hijrat ba’d alfath, Imam Muslim sebagaimana pada bab al-mubaya’ah ba’d fath Makkah ‘ala al Islam wa al jihad wa al khayr wa bayan ma’na la hijrat ba’d al-fath.
Imam Abu Dawud, selain juga bersumber dari Mu’awiyah sebagaimana pada bab fi al hijrah hal inqata’at, Imam Tirmidhi sebagaimana pada bab ma ja’a fi al hijrah,
Imam Nasa’i selain juga bersumber dari ‘Umar ibn Khattab yang menggunakan redaksi la hijrah ba’d wafat Rasul Allah saw sebagaimana pada dhikr al ikhtilaf f inqita’ al-hijrah, dan Imam Darimi sebagaimana pada bab la hijrat ba’d al fath.
Secara lengkap, sebagaimana riwayat Imam Bukhari, Hadis itu berbunyi:
Qala Nabiy saw yawm fath makkah: “la hijrata wa lakin jihad wa niyyah, wa idha ustunfirtum fa infiru“. Artinya: Nabi bersabda ketika hari fath makkah: tidak ada hijrah tetapi hanya jihad dan niat, jika kalian diperintah berjihad, maka pergilah”.
Al-Khattabi sebagaimana dinukil Ibn Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, berpendapat, bahwa pada awal-awal Islam hijrah diwajibkan atas orang Islam karena umat Islam di Madinah masih berjumlah sedikit dan mereka sangat butuh bergabung dengan lainnya.
Namun, setelah fath makkah dan umat Islam bertambah banyak, kewajiban hijrah ke Madinah menjadi gugur, tinggal kewajiban jihad dan niat melakukan kebaikan bagi orang Islam yang tinggal di Madinah atau terdapat musuh.
Karena itu, hikmah kewajiban hijrah bagi umat Islam adalah untuk menyelamatkan orang-orang Islam yang tinggal di negeri orang-orang kafir dan mendapatkan siksaan dari mereka.
Berdasarkan kelanjutan hadis itu, dijelaskan sebagaimana pendapat al-Tibiy, bahwa hijrah yang berarti meninggalkan tanah air dan wajib bagi setiap umat Islam tidak berlaku lagi, tapi meninggalkan tanah air untuk melakukan jihad tetap berlangsung, sebagaimana karena niat yang baik, seperti keluar untuk mencari ilmu.
Karena itu, hijrah dengan pengertian meninggalkan tanah air untuk menghindarkan diri dari orang-orang kafir sudah tidak berlaku lagi, tetapi untuk kepentingan jihad atau mencari ilmu masih tetap berlaku.
Secara lengkap, sebagaimana riwayat Imam Muslim Hadis itu berbunyi:
Qala Rasulullah yawmul fath makkah: “La hijrata wa lakin jihad wa niyyah, wa idha ustunfirtum fa infiru: Artinya: Rasulullah Allah bersabda ketika hari fath makkah: tidak ada hijrah tetapi hanya jihad dan niat, jika kalian diperintah berjihad, maka pergilah”.
Hadis itu mengandung pengertian, bahwa hijrah dari negeri kafir (darul harb) menuju negeri Islam (darul Islam) tetap berlaku hingga hari kiamat.
Namun, hadis itu ditakwil, bahwa tidak terdapat hijrah setelah terjadi fath makkah, karena Makkah sudah menjadi Islam, atau kewajiban hijrah telah terputus setelah fath makkah.
Karenanya mencari kebaikan dengan cara berhijrah telah terputus setelah fath makkah, tetapi kebaikan hanya didapat dengan cara berjihad dan niat yang baik. Dan jika imam mengharuskan melakukan jihad, maka lakukan walaupun sebatas fardlu kifayat.
Terkait dengan penjelasan itu, Imam Muslim membuat topik hadis “bab berbaiat setelah fath makkah untuk tetap memeluk Islam, melakukan jihad dan melakukan kebaikan”.
Hadis menguak makna hadis hijrah yang kedua, adalah:
“… wal muhajir man hajara ma naha Allah ‘anh”. Hadis ini bersumber dari ‘Abd Allah ibn ‘Amr, sebagaimana Riwayat Imam Bukhari pada bab al-muslim man salim al-muslimun min lisanih wa yadih: orang Islam adalah orang yang bisa menyelamatkan fitnah lisan dan tangannya kepada orang lain” dan bab al intiha’ ‘anil ma’asi: berhenti dari perbuatan-perbuatan maksiat”.
Hadis ini dimaksudkan untuk memberitahukan kepada orang yang tidak bisa melakukan hijrah karena telah terjadi fath makkah, bahwa mereka tetap saja bisa melakukan hijrah dengan jalan meninggalkan larangan Allah, karena ia sesungguhnya adalah orang yang berhijrah secara sempurna.
Hadis ini juga sekaligus mengingatkan kepada orang yang telah melakukan hijrah untuk tidak merasa cukup hanya dengan melakukan hijrah tanpa melakukan perintah dan meninggalkan larangan Allah.
Imam Abu Dawud menjelaskan topik hadis ini dengan “bab tul al qiyam: lamanya melakukan qiyam al-layl”, yang bersumber dari riwayat Abd Allah ibn Amr dan Abd Allah ibn Hubshiy al khath’ami, sebagaimana Imam Nasai walaupun dengan “bab juhd al muqill: kemampuan sedekah dari orang yang mempunyai sedikit harta”.
Pada matn hadis riwayat Imam Nasa’i ini dilanjutkan dengan isi hadis tentang pengertian hijrah dengan meninggalkan perkara yang diharamkan Allah dan jihad yang utama adalah jihad melawan orang-orang musrik dengan harta dan jiwa.
Selain dengan judul itu, juga diberi judul “sifatul muslim” yang bersumber dari riwayat Abd Allah ibn Amr, yang menjelaskan pengertian hijrah dengan meninggalkan larangan Allah.
Sementara Imam Ibn Majah meriwayatkan hadis tentang pengertian hijrah ini dari sumber Fadalat ibn Ubayd sebagaimana pada bab hurmat dan al-mu’min wa malih: keharaman darah dan harta orang mukmin.
Bahwa hijrah adalah meninggalkan kesalahan dan dosa. Hadis ketiga, “…fa man kanat hijratuh ila dunya yusibuha aw ila imra’ah yankihuha fa hijratuh ila ma hajara ilayh: …barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi seorang perempuan, maka hijrahnya untuk sesuatu yang ia niatkan”.
Hadis ini bersumber dari Umar ibn Khattab, sebagaimana riwayat Imam Bukhari pada bab hijratun naby wa ashabih ilal madinah: hijrah Nabi dan para sahabatnya ke Madinah.
Hadis ini secara umum membicarakan pentingnya ikhlas dan niat yang benar dalam melakukan kebaikan, khususnya hijrah, karena orang yang melakukan kebaikan dengan ikhlas dan niat yang benar akan sama dengan melakukan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Imam Muslim juga meriwayatkan Hadis itu dari sumber yang sama sebagaimana pada bab “qawlih Saw Innamal a’malu bin niyyah, wa annahu yadkhul fih al ghazw wa ghayruh minal a’mal”.
Selain hadis itu membicarakan pentingnya niat pada amal perbuatan terutama ibadah, Hadis itu juga membicarakan tujuan melakukan hijrah.
Imam Abu Dawud juga meriwayatkan Hadis tersebut, sebagaimana pada bab fima ‘uniya bih at talaq wan niyyat”, yang membicarakan tentang tujuan talak dan niat.
Bahkan Imam Tirmidhi meriwayatkan Hadis itu pada bab ma ja’a fiman yuqatil riya’an wa lid dunya, untuk menjelaskan keberadaan orang yang berperang dengan pamrih dunia.
Namun Nasa’i membicarakan hadis itu pada bab an-niyyah fil wudu’, sebagaimana juga Ibn Majah pada bab an-niyyah, tampaknya keduanya memfokuskan pentingnya niat khususnya dalam melakukan wudlu.
Berdasarkan uraian penjelasan isi hadis di atas, maka makna hijrah untuk kontek sekarang ini adalah peralihan dari kondisi melakukan keburukan menuju melakukan kebaikan terutama terkait dengan penegakan agama atau perubahan dari kondisi yang jelek menuju kondisi yang baik.
Karena makna hijrah sebagaimana pada hadis yang pertama di atas telah berakhir dan diganti dengan melakukan jihad, yaitu bersungguh-sungguh melakukan kebaikan agama dan kemanusiaan. Wallahu alam.