Suatu ketika, seorang sahabat mendatangi Nabi SAW untuk meminta bantuan untuk mencarikannya unta guna memindahkan barang-barang. “Pindahkan saja barang-barangmu ke anak unta di sebelah sana”, ucap Nabi. Sahabat bingung, bagaimana mungkin anak unta dapat membawa beban berat, bertanyalah ia, “Apakah tidak ada unta dewasa, ya Rasul?”. Nabi dengan santai menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas ia adalah anak seekor unta. Tidak mungkin seekor unta lahir dari ibu selain unta”. Sahabat itu tersenyum mengerti canda Nabi Saw (Sunan AlTirmidzi: 1417 H, 452).
Cerita di atas menggambarkan bagaimana humor telah begitu melekat dalam diri manusia, tidak terkecuali Nabi Muhammad Saw. Menurut Dr. Fahrudin Faiz, humor merupakan salah satu fitrah sekaligus nikmat bagi manusia. Hanya manusia yang bisa bercanda dan tertawa menikmati humor, hewan tidak bisa (Yogyakarta, 17 Juli 2019). Namun, perihal humor ini belakangan hari nampaknya bisa memicu konflik.
Salah satu contoh konflik adalah ketika seorang laki-laki di Maluku Utara mengunggah lelucon “polisi jujur” yang pernah di utarakan oleh Gus Dur, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: Patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”. Humor yang unggahan itu di media sosial itu membuatnya berurusan ke polisi. Walaupun tidak berujung pada pemidanaan, fenomena ini menimbulkan stigma bahwa masih banyak orang yang tidak bisa menanggapi humor dengan tepat karena tingkat sense of humor yang rendah. Dari kasus ini, lahirlah hastag #indonesiadarurathumor di media sosial.
#indonesiadarurathumor Adalah salah satu wujud keprihatinan terhadap fenomena di atas. Dalam menyikapi humor, masyarakat masih rentan tersinggung, apalagi jika salah satu pihak memiliki kekuasaan atau memiliki motif permusuhan. Mirisnya, ketersinggungan itu dapat dicarikan dukungan melalui sejumlah hukum positif yang berlaku. “Humor kok jadi urusan hukum. Itu berarti sudah darurat sekali buat Indonesia. Dan ini sudah kesekian kali,” ujar putri Gus Dur, Alissa Wahid.
Kondisi ini menarik untuk dikaji dengan perspektif Islam. Apakah Islam memiliki konsep dan aturan tersendiri terkait humor?
Apakah humor dapat dibedakan antara syar’i dan ghairu syar’i?
Upaya menjawab pertanyaan tersebut menemui titik terang ketika ditemukan sebuah kitab yang secara khusus membahas humor dalam Islam, al-mizāḥ fī al-Islām, karya Prof. Dr. Hasan ‘Abd al-Ghani Abu Ghuddah, seorang guru besar di King Saud University, Riyad.
Humor dalam Islam
Suatu ketika, Nabi Saw berkumpul dengan para sahabat dan memakan kurma. Sahabat Ali yang tanpa sengaja memakan banyak kurma diam-diam menaruh biji kurma yang dimakannya ke wadah yang berada di depan Nabi Saw. Setelah selesai bercengkerama, Ali menggoda Nabi Saw. “Wahai Nabi, sepertinya engkau begitu lapar, sehingga makan kurma begitu banyak. Lihat, biji kurma di tempatmu, menumpuk begitu banyak,” kata Ali. Nabi Saw yang merasa dijahili tidak kehabisan akal, “Ali, sepertinya kamu yang justru sangat lapar, sampai kamu makan biji kurmanya. Lihatlah, tidak ada biji tersisa di depanmu,” jawab Rasulullah dengan tenang. Para sahabat pun tertawa.
Humor dalam bahasa Arab banyak dituturkan dengan kata al-mizāḥ yang secara etimologi berarti candaan, tidak serius, atau tidak bersungguh-sungguh. Adapun secara terminologi, al-mizāḥ berarti perkataan atau perbuatan yang maksudnya adalah bergurau. Kata ini memiliki sepuluh sinonim, di antaranya adalah al-hazl, al-mulā’abah, dan al-ḍaḥak. Kata-kata penyebut humor ini cukup banyak tertulis dalam kitab fikih, seperti dalam pembahasan peradilan, akad kebendaan, atau akad-akad yang lain.
Terdapat dilema ketika berbicara humor dalam Islam. Di satu sisi, banyak riwayat yang menuturkan Nabi Saw dan para sahabat bercanda, seperti cerita Nabi makan kurma di atas. Namun di sisi lain, banyak maqālah yang mengindikasikan bahwa bercanda itu tidak baik karena bisa mengeraskan hati. Dengan dua pertimbangan itu, hukum bercanda dalam Islam berarti sama seperti kasus-kasus fikih lain, ada yang baik (maḥmud, masyrū’, mubāḥ, sunnah) dan ada yang buruk (madzmūm, mamnū’, makrūh, haram).
Humor menjadi buruk jika mencaci, kufur, bohong, memalingkan dari ingat Allah, buruk dalam kata/tindakan, dan mengejek agama. Sebaliknya, humor yang boleh adalah yang tidak mengolok agama, tidak berbohong, tidak mengejek orang lain, tidak menakuti orang muslim, tidak boleh panjang lebar, tidak ghibah, serta tidak bersama orang-orang bodoh. Kebolehan humor ini karena humor dalam pandangan Islam diakui memiliki berbagai tujuan baik, di antaranya adalah menguatkan ikatan sosial, mengistirahatkan jiwa, memperbarui semangat, dan membuang duka, melunakkan hati orang lain sehingga selanjutnya mudah bersilaturahim,mengobati hati (katarsis), membangkitkan kecerdasan, menguatkan “hal tanpa pikir panjang” (reflek atau spontanitas), serta berbagi kegembiraan dan melukiskan senyum di bibir orang lain.
Selain rincian seperti itu, humor atau bercanda dalam Islam juga terkadang memiliki konsekuensi hukum dan terkadang tidak. Ketika bercanda dalam suatu ibadah, maka ibadah itu menjadi tidak sah, karena sahnya ibadah membutuhkan niat. Begitu pula dalam tasaruf kebendaan (maliyah). Tidak sah apabila bercanda dalam melakukan tasaruf, karena tasaruf membutuhkan ridho. Berbeda jika bercanda dalam dalam yamin/sumpah. Suatu sumpah, walaupun diucapkan dengan niat bercanda, akan tetap sah dan memiliki konsekuensi wajib dipenuhi.
Terlepas dari itu semua, secara mendasar Islam mengakui bahwa hukum asal bercanda adalah antara sunnah dan mubah. Hukum sunnah dinisbatkan pada Imam Nawawi dan Al-Ghazi, ulama fikih mazhab Syafii, dengan syarat tidak ifrāṭ (melampaui batas) dan tidak membuat lalai akan zikrullah. Hukum mubah dinisbatkan pada salah satu pendapat Imam Nawawi. Dengan dasar dua hukum ini, tepatlah jika Abul Fath al-Busti melantunkan sebuah syair yang artinya:
Bijak dalam Berhumor
Suatu ketika, sahabat Nabi Saw bernama Nu’aiman pergi ke Basrah bersama Abu Bakar untuk berdagang, sahabat yang ikut menyertai kala itu adalah Suwaibith yang bertugas membawa perbekalan. Nu’aiman meminta makanan kepada Suwaibith, tapi ditolak. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya. Nu’aiman jengkel, lalu berkata, “Tunggu pembalasanku!”
Nu’aiman lantas menemui beberapa orang, menawarkan budaknya dengan harga sangat murah, sambil membocorkan kelemahannya, yaitu budaknya sering mengaku dirinya seorang merdeka. Yang ditawari setuju, lalu bersama-sama pergi ke tempat Suwaibith duduk. Nu’aiman menunjuk kepadanya. Tentu saja Suwaibith berontak sambil mengatakan dirinya bukan budak. Tapi si pembeli berkeras mengikatnya dan berkata, “Kami sudah paham sifatmu.” Untung Abu Bakar segera datang dan urusan jadi gamblang.
Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi, beliau tertawa, bahkan sepanjang tahun setiap beliau ingat kisah tersebut. Nu’aiman adalah pembawa kegembiraan. Mungkin karena itu, Nabi pernah berkata, “Nu’aiman akan masuk surga sambil tertawa, karena ia sering membuatku tertawa.”
Bisa Anda bayangkan bahwa Nabi Saw adalah sosok dengan sense of humor yang tinggi. Cara beliau merespons humor tidak dengan serius, apalagi marah-marah. Memang tidak tepat jika humor mendapat respon dengan cara seperti itu. Humor yang begitu banyak terekam dalam literasi keislaman adalah salah satu khazanah yang harus kita akui. Hingga hari ini, humor terbukti efektif digunakan dalam dakwah para kiai kita. Pengajian dengan sentuhan-sentuhan humor cenderung lebih banyak penggemarnya daripada pengajian yang melulu serius.
Bukan berarti semua orang harus suka dan gemar berhumor. Hanya saja, jika seseorang tidak gemar, cara merespons sebuah humor tidak boleh dengan “cara yang kasar”. Selain itu, adalah bijak jika orang yang berhumor juga memperhatikan rambu-rambu perhumoran dalam kapasitas kewajaran, dengan stressing utama: tidak menyakiti orang lain. Yang terakhir disebut ini cenderung mudah kita temukan dalam humor via media sosial. Melalui tulisan yang bisa diakses siapapun, humor terkadang melahirkan kesalahpahaman yang berujung konflik. Tentu bukan itu yang kita harapkan dari khazanah humor kita.
Di Negara Barat, humor telah dibedakan antara agresif dan humanis. Humor agresif cenderung negatif seperti mengolok-olok kekurangan fisik (cacat) seseorang. Humor humanis cenderung positif yang memang tujuannya untuk menghibur, menghilangkan stres, dan sejenisnya. Kiranya humor humanis inilah yang relevan dengan humor syar’i kita. Jadi, kedewasaan dibutuhkan untuk menikmati humor, baik bagi orang yang menerima humor maupun orang yang berhumor.
Oleh: Tim Rembug Majalah Tebuireng