Wirid “Li Khomsatun” disebut banyak orang dengan nama “Aji-aji Limo” yang belakangan hari banyak kita dengar lewat toa-toa musalla saat pujian menjelang shalat berjamaah. Pemakaian wirid guna menolak wabah merupakan fenomena menarik dalam tradisi Islam. Sebab, selain upaya zahir melalui protokol medis, umat Islam juga memiliki wirid sebagai salah satu senjata guna menolak wabah yang tidak kalah penting. Tulisan ini akan mencoba mengulas hal itu.
Wabah dan Umat Islam
Wabah bukanlah hal asing bagi umat Islam. Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami berbagai masa ketika wabah merebak. Di antara nama wabah tersebut adalah Shirawayh yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw (627-628 M) di Al-Mada’in, ibu kota Persia; Amwas yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khatthab (638/639 M) di Desa Amwas, sebuah wilayah di Yerussalem; Al-Jarif dan AlFatayat yang terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah (688-689 dan 706 M) di Kota Basrah, Irak; dan AlAsyraf yang terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah (716-717 M) di Irak dan Suriah. Selain wabah yang menerpa tempat tertentu, umat Islam juga turut merasakan wabah yang melanda seluruh dunia secara luas (pandemi) seperti Black Death (1347-1353 M), Bombay (1896-1897 M), dan Flu Spanyol (1918 M).
Umat Islam ternyata tidak langsung memiliki solusi jitu dalam menghadapi wabah yang disebut di atas, terbukti dari banyaknya korban yang berjatuhan dalam masa terjadinya wabah. Bahkan, terdapat pula tindakan yang dianggap sebagai solusi justru menjerumuskan umat Islam pada kematian massal. Tercatat dalam Badzlu al-Maun fi Fadhli al-Thaun karya Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 1449) bahwa ketika Black Death menerpa tanah Suriah, pembesar di sana mengajak masyarakat untuk berdoa bersama di suatu tanah lapang sebagaimana ketika melakukan shalat istisqa’. Nahas, yang terjadi setelah itu justru meningkatnya jumlah kematian secara tajam.
Baca Juga: Cara Tasawuf Memaknai Tawakal dalam Menghadapi Wabah
Berdoa memang merupakan senjata utama umat Islam dalam menghadapi apapun. Dengan berdoa, seorang muslim lebih terbukti beriman kepada Allah karena percaya akan kemahakuasaan-Nya. Hanya saja, ketika terjadi wabah, senjata utama itu harus diberi catatan khusus. Tulisan Risa Herdahita Putri dalam historia.id merangkum saran para ulama dalam menghadapi wabah. Di antara saran tersebut, berdoa menempati posisi pertama. Namun, tidak kalah penting, terdapat saran lain seperti mencari ketenangan, mengisolasi diri, dan menjaga imunitas. Ya, ulama pada masa keemasan. Islam tidak jarang juga seorang ahli kedokteran. Oleh karena itu, terdapat perpaduan antara upaya ukhrawi dan upaya zahir yang saling melengkapi.
Wirid sebagai Penolak Wabah
Sebagian orang mungkin tidak mengetahui apakah upaya menolak wabah melalui suatu doa atau wirid tertentu memiliki landasan hukum yang sahih dalam Islam. Di antara dalil sahih yang dapat dikemukakan terkait hal ini adalah Hadis riwayat Imam Bukhari tentang seorang sahabat yang menyembuhkan seseorang setelah disengat binatang dengan media bacaan surat Al-Fatihah. Ketika kejadian ini disampaikan kepada Nabi Saw, beliau membenarkannya. Hadis tersebut oleh Abdul Wahab Ahmad dinyatakan sebagai dalil penggunaan wirid sebagai media pengobatan
Berdasarkan dalil seperti itulah kiranya para ulama abad ke-14 masehi banyak menuliskan urgensi doa sebagai pertahanan menghadapi suatu wabah penyakit. Contoh dari hal itu dapat ditemukan dalam kitab Daf’u al-Niqmah karya Ibnu Abi Hajalah. Dalam kitab yang ditulis ketika terjadi wabah Black Death di Kairo pada tahun 1362 H tersebut, pengarang mengatakan bahwa memperbanyak membaca salawat kepada Nabi Muhammad Saw adalah pertahanan terbaik.
Keberadaan Hadis dan rekomendasi para ulama seperti itu kiranya yang mendasari geliat pembacaan wirid “li khomsatun” di lingkungan kita saat menghadapi pandemi covid-19 ini. Di lingkungan NU, diyakini bahwa wirid tersebut merupakan ijazah dari pendiri NU sendiri, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Lebih khusus lagi, di lingkungan Pesantren Tebuireng, wirid tersebut menjadi terkemuka setelah KH. Mustaqim Askan, salah satu guru di Pesantren Tebuireng, mengijazahkannya pada tahun 2020 untuk menghadapi pandemi covid-19. Menurut Dar al-Ifta’ Mesir, mengamalkan wirid ini bukanlah suatu bidah karena hal itu temasuk bagian dari berdoa yang diharap keijabahannya.
Diceritakan dari KH. Masduki Abdurrahman Perak bahwa pernah terjadi wabah pada masa Hadratussyaikh. Waktu itu, seseorang yang sakit di pagi hari akan meninggal dunia di sore hari. Dalam kondisi demikian, Hadratussyaikh mengijzahkan wirid “li khomsatun” kepada beberapa murid seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Romli Tamim, dan KH. Syansuri Badawi. Wirid ini menurut penuturan KH. Masduki disampaikan secara oral, tidak ditulis dalam kitab atau karangan Hadratussyaikh secara khusus. Menurut Gus Zaki Hadzik, ketika terjadi wabah dulu, para santri Tebuireng mengitari pondok sembari membaca wirid tersebut sebagai ikhtiyar batin agar terlindung dari wabah. Amalan ini juga pernah di ijazahkan oleh KH. Mahmad Baidlowi pada tahun 2010 ketika wabah flu babi merebak.
Telaah Wirid “Li Khomsatun”
KH. Mustaqim Askan mendapat ijazah wirid “li khomsatun” dari KH. Syansuri Badawi dalam satu bendel kitab. Di antara kitab yang didapat dari KH. Syansuri tersebut, teks wirid “li khomsatun” ini terdapat dalam kitab Sa’adah al-Dzarain karya Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani, salah satu guru Hadratussyaikh. Jika kita mencari sumber lain, wirid “li khomsatun” juga terdapat dalam kitab al-Mulahiq fi Fiqh Da’wah al-Nur karya Syaikh Sa’id al-Nursi (w. 1960) yang merujuk pada kitab Majmu’ah al-Ahzab al-Syadziliyyah, kumpulan hizb Abu al-Hasan al-Syadzili yang disusun oleh Syaikh Dliya’ al-Din al-Kamsyakhanawi alNaqsabandi (w. 1311 H). Dalam kitab Madzahib al-Afkar, disebutkan bahwa pencetus pertama wirid “li khomsatun” adalah Syaikh Ahmad Ridha, seorang ulama Sunni pengikut mazhab Maturidiyah, Hanafiyah, dan Qadiriyah.
Wirid yang diijazahkan oleh KH. Syansuri ini kemudian diijazahkan kembali oleh KH. Mustaqim Askan dengan disertai catatan teknis terkait waktu dan hitungan bacaannya untuk menghadapi pandemi covid-19. Dari KH. Mustaqim, mula-mula wirid ini dibaca 41 kali. Setelah itu, setiap selesai shalat subuh dan shalat magrib, wirid ini dibaca 5 kali. Teknis waktu dan hitungan ini sebenarnya tidak terdapat dalam kitab yang diijazahkan oleh KH. Syansuri. Hanya saja, oleh KH. Mustaqim, hal ini dimunculkan dengan dasar hitungan khususiyah. Dalam ilmu ruhani, ketika terdapat doa khusus yang teknis waktu dan hitungannya tidak ditentukan dalam kitab, doa tersebut tetap memiliki kadar tersendiri yang bisa dihitung menurut hitungan falak. Melalui hitungan inilah KH. Mustaqim memuculkan teknis waktu dan jumlah bacaan sebelumnya
Setelah disebar ke khalayak umum, terdapat beberapa pertanyaan atas wirid ini, seperti redaksi “wa al-fahimah” di akhir syair. Keberadaan “al” di isim ghairu munsharif tersebut dirasa sebagian orang tidak tepat. Menurut KH. Mustaqim, beliau memang mengijazahkan redaksi yang disertai “al” karena hal itu sesuai dengan kaidah wazan syair serta mendapat legitimasi pembenaran nahwu dalam kitab Alfiyah. Di kitab yang diizahkan oleh KH. Syansuri, kata “fathimah” dalam syair sebenarnya tidak disertai “al”, namun menurut KH. Mustaqim, itu bias jadi salah tulis karena tidak relevan dengan teori syair. Ketika terjadi salah tulis seperti ini, tugas generasi setelahnya adalah membenarkan kesalahan tersebut dengan tetap mendasarkan pada teori yang valid.
Terlepas dari polemik itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengamalan wirid ini tetap terjadi secara luas di kalangan masyarakat. Lebih menarik lagi ketika diketahui bahwa kemasyhuran wirid ini tidak hanya beredar di kalangan Sunni saja. Di kalangan Syi’ah, wirid ini juga masyhur. Jadi, wirid ini adalah wirid yang beredar luas di kancah internasional umat Islam.
Wirid “li khomsatun” telah dipercaya memiliki faidah untuk meminta obat, syafaat, menolak penyakit, dan yang tidak ketinggalan adalah menolak balak, tha’un (epidemi), dan waba’ (pandemi). Faidah seperti itu dikandung oleh wirid “li khomsatun” sebab di dalamnya terdapat tawasul kepada Nabi dan beberapa nama ahlul bait. Tasawul menurut KH. Mustaqim memiliki kegunaan masing-masing dan tawasul yang terdapat dalam wirid tersebut adalah yang dipilih untuk menolak wabah.
Dengan kandungan seperti itu, tidak ada salahnya untuk tetap mengamalkan wirid “li khomsatun” dengan niat meminta kepada Allah agar wabah ini segera berlalu. Selain itu, upaya zahir juga harus tetap dilakukan bersamaan dengan upaya batin ini. Wallahu a’lam.
Oleh: Tim Rembug Majalah Tebuireng