Dr. Miftahurrohim Syarkun telah tujuh hari berpulang, terdengar dan terbuka apa yang beliau lakukan dan cita-citakan melalui testimoni keluarga, sahabat, teman, rekan dan sahabat beliau. Mereka mengenang Dr. Miftahurrohim Syarkun serta jasa-jasa beliau yang luar biasa. Bagaimana beliau saat menggagas berdirinya PCI-NU Malaysia terceritakan dengan perjuangan yang berat bersama teman-temannya, penuh romantika dan pengorbanan.
Sosok perhatian, sebagai seorang guru, kakak sekaligus teman diskusi juga tertestimoni dari para sahabatnya. Santun, lembut dan penuh kasih sayang juga terceritakan dari para rekan kerjanya. Disiplin dan penuh dedikasi merupakan persaksian dari putra-putri beliau. Adakah yang tertinggal? adalah pertanyaan usil saya di setiap moment kirim do’a dan obituari dari teman-teman beliau.
Baca juga: Obituari bersama Kiai Miftah Syarkun
Pasti masih banyak yang belum terceritakan atas kebaikan beliau, kenapa ini saya yakini, karena hal terkecil yang saya alami selama mengenal dan berinteraksi dengan beliau saja belum terceritakan di berbagai persaksian tersebut. Hal ini tentu meyakinkan saya masih banyak yang belum terungkap bagaimana kebaikan beliau terekam di orang-orang yang sempat berinteraksi dengan berbagai sebabnya.
Pertemuan pertama saya dengan beliau pada tahun 2013 ketika berdiskusi tentang ushul fiqh, sedikit ada perdebatan karena kritik saya bahwa ushul fiqh hanya menyentuh aspek bayani dan burhani saja tidak sampai ke irfani itu rupanya menggelitik beliau hingga terjadi pertemuan-pertemuan selanjutnya. Karena pada waktu itu saya juga sedang mempersiapkan studi doktoral sehingga berbagai telaah buku saya lakukan. Kebetulan buku-buku yang disebut oleh beliau juga saya baca, hal itu semakin menambah gayeng diskusinya.
Dalam perjalanan perkenalan itu beliau banyak bertukar buku untuk dibicarakan hingga beberapa episode, bahkan sebulan sebelum kepergian beliau, sempat mampir ke kantor di sore hari hanya untuk menanyakan sebatas apa saya memahami konsep multidisiplin versi Prof Amin dan korelasinya dengan perkembangan peradaban. Diskusi yang agak berat itu berlanjut ke warung sate Jamino, Ceweng.
Ketika beliau melibatkan saya di Pusat Kajian Pemikiran Hadratussyaikh KH Mohammad Hasyim Asy’ari saya melakukan deal bahwa saya izin jika masih ‘sinau’ menyelesaikan doktoral hingga absen saya di beberapa kegiatan beliau sikapi dengan pertanyaan: “baca buku apa?”. Pertanyaan yang sama yang disampaikan oleh beliau KH. Salahuddin Wahid: “sudah baca buku apa?”, hingga keduanya menjadi mentor membaca saya di sepanjang 2013 – 2021.
Baca juga: Wakil Rektor Bervisi Mendunia
Sama seperti Gus Sholah, pertemuan-pertemuan dengan Pak Mif ‘hanya’ membahas sebatas pembacaan berbagai tema dan topik keilmuan, tak pernah sekalipun membahas politik ataupun ide-ide besar beliau-beliau itu, hingga kadangkala memunculkan pertanyaan buat saya, kenapa ya?.
Hal yang paling saya kenal dari Pak Mif, seperti persaksian rekan-rekan beliau merupakan sosok ulet, nekad, dedikatif dan peloby ulung yang sepertinya tidak diwariskan ke saya.
Interaksi dengan beliau memberikan kesan khusus kepada saya bahwa ilmu itu tidak akan pernah bertambah tinggi yang ada adalah bertambah luas. Maknanya bahwa semakin berilmu seseorang itu justru akan ambyar dan tak tampak bukan malah tinggi seperti Burj khalifa. Khumul adalah kata yang saya sampaikan sebagai penutup perdebatan dengan beliau bahwa ushul tanpa tasawuf hanya akan membangun mercusuar peradaban bukan mengenalkan luasnya semesta pada para pengkajinya.
Selamat Jalan Pak Mif, luasnya semesta telah engkau arungi semoga dedikasimu mampu menggerakkan generasi selajutnya melalui inspirasi dan obsesi tanpa henti.
Tebuireng, 17 7 2021
Penulis: Dr. Jasminto, M.pd