Mengenal solopreneur, yang juga digadang-gadang memiliki peran penting dalam memajukan perekonomian negara, bahkan ada sebuah survei yang menyebutkan bahwa pada tahun 2030 Indonesia berpotensi memiliki sekitar 30 persen dari populasinya adalah solopreneur. Lalu, bagaimana risikonya di masa mendatang?
Jika mungkin saat ini yang paling populer ialah entrepeneur–pemiliki usaha dalam skala yang besar, mampu menghadirkan berbagai inovasi–, berbeda dengan solopreneur, lebih memilih untuk tidak fokus pada kerajaan bisnis, hanya berkutat pada satu model bisnis saja dalam jangka waktu yang lama.
Solopreneur adalah menjadi orang yang mengatur, menjadi satu-satunya karyawan, bertanggung jawab segala aktivitas usaha mulai dari mengatur strategi bisnis, mengelola keuangan, mengoptimalkan pemasaran, menanggung segala risiko yang ada di dalam bisnis.
Solopreneur biasanya menjalankan bisnis dengan skala kecil, berbeda dengan entrepreneur atau pebisnis yang menjalankan usaha dengan skala besar. Namun, menurut PT Bank Jasa Jakarta, Bank Saqu mengungkapkan bahwa solopreneur punya peran penting dalam memajukan perekonomian tanah air, meski bergerak dalam skala yang tidak besar.
Di dalam buku The Cashflow Quadrant karya Robert T Kiyosaki, solopreneur bisa juga disebut self employed atau pekerja lepas. Dimana seseorang yang berada di pilihan ini tidak hanya pemilik usaha skala kecil tetapi juga para pekerja yang bisa melakukan apa yang mereka mau. Contohnya seperti penulis lepas, konten kreator, pelatih kursus online, dan sebagainya
Solopreneur menjadi pilihan beberapa masyarakat, lantaran lowongan pekerjaan di Indonesia yang terbilang sedikit dan banyaknya korban PHK massal akibat teknologi yang telah memadai. Solopreneur ini juga memiliki potensi yang cukup menarik, mengingat beberapa pekerjaan saat ini telah digantikan oleh artificial intelligence.
Kabar baiknya, jika dibandingkan dengan sebagai karyawan, solopreneur memiliki banyak kebebasan, fleksibilitas dalam bekerja, dan kendali atas waktu mereka. Sedangkan, karyawan cenderung terjebak siklus pekerjaan dengan job yang sama dan pendapatan yang stabil.
Ada beberapa kelemahan ketika memilih untuk menjadi solopreneur, seperti tidak mempekerjakan karyawan. Mereka cenderung beranggapan bahwa pekerjaan akan beres jika dikerjakan sendiri. Terlebih karena tidak adanya karyawan, sulit untuk menggali potensi dan membangun jiwa kepemimpinan. Selain itu, seorang solopreneur harus siap bertahan sendiri karena juga harus bertanggung jawab sepenuhnya atas keberhasilan atau kegagalan bisnis yang dijalankan. Hal ini juga dapat memicu stres karena beban kerja yang dipikul sendiri.
Usaha yang berbasis personal ini akan menghadapi risiko pribadi yang tinggi, karena kegagalan bisnis dan ancaman kompetitor yang dapat berdampak kepada stres, tekanan mental, kelelahan, bahkan risiko keuangan.
Keterbatasan ide dan kreativitas juga memungkinkan, disebabkan tidak adanya kolaborasi dengan rekan kerja, padahal tuntutan seorang pengusaha ialah inspirasi, mengembangkan ide untuk keberlanjutan usahanya, mengingat ketidakpastian peristiwa di masa depan. Apalagi dengan hanya bertahan pada satu model bisnis ini, apakah usaha tersebut bisa bertahan akan perubahan pasar, tren sosial, perkembangan ekonomi dan teknologi?
Semua kembali pada pilihan setiap individu, tapi alangkah baiknya jika dalam berusaha (bersolopreneur) mampu untuk terus belajar, berinovasi, dan mengembankan skill manajemen yang baik. Sehingga, lini usahanya akan terus bertahan dan berkembang hingga di masa mendatang.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Mata Uang Rupiah Melemah, Ini Alasannya