tebuireng.co- Karya tulis dengan gaya humanis merupakan ciri khas karya seorang Mahmoud Darwish, lahir di desa El Birwah sebelah timur Galilee pada 13 Maret 1941, ia anak kedua dari pasangan Salim dan Hurruiyah. Darwish belajar dari sang kakek karena orang tuanya sendiri terkena penyakit buta huruf, ia bertempat tinggal di Palestina, setelah Israel menghanguskan bumi tercintanya kemudian ia dan keluarganya pindah ke lebanon, dan kemudian ia kembali lagi namun, bukan ke palestina yang ia tuju tapi daerah yang telah menjadi bagian dari negara Israel.
Setelah itu sekitar tahun 1970-an ia pergi ke Rusia untuk melanjutkan belajarnya, namun perjalanan cintanya tak indah ia menikah dua kali yang pertama Rana Kabbani, setelah itu menikah lagi dengan Hayat Heeni. Pada 09 Agustus 2008 Mahmoud Darwish meninggal dunia, yang kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi sanak keluarganya, ia dimakamkan di Ramallah.
Karya sederhana yang sangat kaya akan makna diambil dari sifat kemanusiaan, bakat menulisnya sudah terlihat ketika masih kanak-kanak, waktu umur 19 tahun telah membuat puisi pertamanya yang di publikasikan yakni Burung Tak Bersayap. Karyanya sebanyak 30 jilid puisi dan 8 buku prosa dengan gaya penulisan yang khas yakni Arab klasik, dalam temanya pun selalu mengangkat tentang kemanusiaan dan semangat juang.
Ia juga dipengaruhi oleh beberapa penyair yang ternama diantaranya Yehuda Amircha yakni penyair asal Israel. Diantara karya-karya Darwish yaitu: Burung Tak Bersayap (1960), Aku Mencintaimu atau Aku Tak Mencintaimu(1972), Kenapa Kau Tinggalkan Kuda Sendirian (1996), Dan Tak Perlu Minta Maaf Atas Apa Yang Kau Perbuat (2004) itu merupakan karyanya yang sangat terkenal.
Baca juga: Kejujuran Satu Keluarga di Palestina
Mahmoud Darwish pernah berkata pada semua orang bahwa, seseorang hanya dapat dilahirkan disuatu tempat, namun ia bisa saja berkali-kali mati ditempat lain, di pengasingan ataupun dipenjara. Dan bahkan dinegeri kelahirannya sendiri yang telah diubah menjadi mimpi buruk oleh penjajah atau penindas yang tak punya hati. Puisi mengajarkan kita untuk memelihara ilusi penuh pesona, bagaimana melahirkan diri kita berkali-kali dan menggunakan kata-kata yang membangun dunia lebih baik, sebuah dunia yang bersifat fiksi yang memungkinkan kita untuk menandatangani suatu perjanjian perdamaian dalam kehidupan.
Hal-hal tersebut telah menjadi nafas pencarian sajak-sajaknya, di waktu Mahmoud Darwish masih duduk dibangku sekolah, ia menuliskan puisi yang ditujukan kepada seorang anak Israel, dan ia menulis puisi tersebut untuk tugas sekolah yang merayakan hari jadi bangsa Israel. Yang ide dasarnya berisi “kau bebas bermain di bawah cahaya matahari, sedangkan aku tidak; kau punya banyak boneka, tapi aku tidak; kau punya rumah, tapi aku tidak; kau punya banyak hari perayaan, tapi aku tidak; mengapa kita tak boleh bermain bersama?”
Pernah ia disuruh menghadap Gubernur Militer dengan hal yang tak wajar yaitu karena ia sering menulis, dan Gubernur Militer mengancamnya “jika kamu masih menulis maka ayahmu akan dipecat”. Namun, ia tak menghiraukannya sama sekali, Mahmoud Darwish tetap menulis sampai akhir hayatnya, jiwa humanisme-nya telah melekat dalam dirinya sampai-sampai ia menulis puisi selalu dengan rasa kemanusiannya.
Ia seperti dikutip oleh Maya Jaggi dalam The Guardian edisi 08 Juni 2002, berkata “aku akan terus memanusiawikan bahkan itu musuhku sendiri, guru pertamaku adalah seorang Yahudi, cinta pertamaku adalah seorang gadis Yahudi, jaksa yang pernah mengirimku ke penjara adalah seorang Yahudi, jadi sejak awal aku tidak melihat seorang Yahudi sebagai Iblis ataupun sebagai Malaikat melainkan tetap sebagai manusia”.
Baca juga: Tentara Israel Tembak Bocah 13 Tahun
Ada salah satu puisi yang berjudul I Have Witnessed The Massacre, yang melukiskan metamorfosis jiwa Mahmoud Darwish dari seorang saksi menjadi seorang korban yang kemudian menjadi seorang yang melawan, di akhir sajak terdapat simbol yang memperlihatkan optimisnya bahwa harapan tentang perdamaian akan tumbuh di negara Palestina.
Aku menjadi saksi pembantaian
Aku seorang korban dari peta buatan
Aku anak laki-laki dari kata yang tanpa hiasan
Aku melihat koral berterbangan
Aku melihat embun berubah jadi bom yang berjatuhan
Ketika mereka menutup pintu-pintu hatiku memasang barikade
Dan menetapkan jam malam
Hatiku berubah jadi lembah
Sulbiku menjelma batu
Dan bunga-bunga anyelir tumbuh
Dan kembang-kembang anyelir mekar
Mahmoud Darwish juga pernah menyusun isi deklarasi kemerdekaan Palestina pada tahun 1988 dan menjadi anggota Komite Eksekutif Liberation Organization PLO sampai tahun 1993, ia keluar dari PLO sebagai protes atas kesepakatan Oslo. Ia tetap menjauhkan dirinya dari konflik kepentingan kelompok dalam tubuh PLO. Dan juga pernah menjadi pimpinan redaksi dalam majalah sastra di Paris, selama karir penyairannya ia banyak mendapatkan berbagai penghargaan. (Anita/MT)
Baca juga: Sebelum dan Setelah Rendra
Baca juga: Ronggowarsito Kisah Hijrah Sang Pujangga Tanah Jawa