KH M Ishaq Latief merupakan salah satu tokoh Pondok Pesantren Tebuireng. Sosoknya dikalangan para santri senior dan alumni Tebuireng dikenal sebagai kiai yang nyentrik dan unik.
KH M Ishaq termasuk manusia langka dikebanyakan pesantren, mengapa?
Salah satu alasannya, Kiai Ishaq Latief tetap tinggal di pesantren Tebuireng walaupun belajarnya sudah selesai dalam tempo sangat lama. Padahal banyak teman semasa belajar yang pulang kampung dan mendirikan pesantren salah satunya KH Zubaidi Muslih, Pendiri Pesantren Mambaul Hikam, Jatirejo, Diwek Jombang.
Almarhum KH Agus Zaki Hadzik pengasuh Pesantren Masruriyah suatu waktu pernah bertanya langsung kepada KH M Ishaq Latief mengenai kapan mondok di Tebuireng. Kiai kelahiran Sidoarjo tersebut menjawab, jika ia masuk Tebuireng sekitaran umur 12-15 tahunan. Lanjut Gus Zaki, jika KH M Ishaq wafat pada usia 75 tahun, diperkirakan Kiai Ishaq Latief mondok Tebuireng sekitaran tahun 1953. Pada usia 30 tahunan sudah mengajar di Pesantren Tebuireng. Ia mengabdi ke almamaternya selama 44 tahun.
Bagi para santri Tebuireng era sekarang jelas sudah tidak menjumpai KH Ishaq Latief. Meskipun demikian, para santri dan masyarakat umum dapat mengetahui sosoknya dan memetik nilai-nilai keteladanan lewat jalur tutur dan tulisan. Baik dari para santri senior maupun alumni yang sempat dekat dengan KH M Ishaq Latief.
Dalam hal ini, Pustaka Tebuireng lembaga penerbitan buku yang didirikan oleh KH Salahuddin Wahid sudah pernah membukukan buku tentang Kiai Ishaq berjudul, Hidup Untuk Pengabdian: Memorian KH M Ishaq Latief. Buku ini berisi kumpulan tulisan kenangan Kiai Ibhar Cholidi, murid langsung KH M Ishaq Latief. Buku ini membukakan siapa saja yang ingin mengetahui sosoknya. Menurut penulis setidaknya ada tiga pelajaran penting yang dapat dipetik dari beliau.
Menurut Cholidi Ibhar, Kiai Ishaq merupakan sosok yang tidak ingin berburu harta, tahta maupun wanita. Secara sosial ekonomi, ia merupakan orang yang berpunya, beliau memiliki harta tinggalan dari kedua orang tuanya yang tidak sedikit. Bila Kiai ingin membangun rumah di luar pesantren, pasti mampu. Namun lebih memilih menikmati kamar ala santri yang tak luas.
Menurut Kiai Ishaq, “ Kepingin opo wae, yo kuncine ilmu. Nek ilmue kenek, melok kabeh. Mulane ojok setengah-setengah golek ilmu iku”. Ketika mencari ilmu tak boleh berniat untuk demi kerja, jabatan ataupun status sosial. Kiai Ishaq yakin bila seseorang belajar dengan sungguh-sungguh maka akan memperoleh kealiman dengan sendirinya dan yang lainnya bakal mengikutinya pula.
Dalam hal ini, Allah Subahanahu wata ala memberikan garansi kepada para penuntut ilmu, bahwasanya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (QS Al Mujadilah 58: 11).
Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari menukil sebuah petuah Ali Bin Abi Thalib dalam kitabnya, Adabul Alim Wa Mutaalim, cukup dengan ilmu, seseorang yang mengaku-ngaku memilikinya padahal tidak punya apa-apa bisa mendapatkan kemulian. Cukup dengan kebodohan, seseorang yang bodoh yang merasa dirinya tidak bodoh bisa menjadi hina. Dalam keterangan lain Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari juga dawuh, jika generasi penerus suatu umat tidak cakap pengetahuannya maka tiada kebaikan didalam umat tersebut. Hanya dengan ilmu, suatu umat akan menjadi hebat. Anda bisa lihat ungkapan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari di sini Pondok Pesantren Titik Terang Pendidikan Indonesia
KH Ishaq Latief dilahirkan pada 3 Maret 1942 melalui pasangan Abdul Lathif dan Hj Asma. Kiai Ishaq berasal dari daerah Prambon, Sidoarjo. Latar belakang belajar di Pesantren Tebuireng adalah permintaan orang tuanya dan Kiai Masruni. Kiai Masruni merupakan alumni Pesantren Tebuireng yang menikah dengan seorang gadis Prambon Nganjuk. Kiai Ishaq masuk pada tahun 1957 pasca lulus Sekolah Rakyat (SR), yang sekarang disebut Sekolah Dasar (SD). Di Tebuireng ia masuk sekolah tingkatan Ibtidaiyyah sampai tamat Aliyah.
Walaupun sudah tamat belajarnya, KH M Ishaq Latief tidak segera pulang atau melanjutkan belajarnya di pesantren atau lembaga pendidikan luar Tebuireng. Ia mengamalkan ilmu dan meneruskan perjuangan pendiri dan Masyayikh Pesantren Tebuireng. Dengan menjadi abdi Pesantren Tebuireng sebagai tenaga pengajar. Selain sibuk belajar dan mengajar juga sesekali mengisi undangan di luar pesantren, itupun jarang sekali.
Kabarnya, ia lebih memilih mengajar santri ketimbang menghadiri undangan di luar. Tanggungjawab yang ia pikul memang berat. Wajar, jika mau mengundangnya maka harus mencari waktu yang tepat, misalnya saat masa liburan pondok.
Kiai Ishaq Latief mengabdi seumur hidup kepada almamaternya dengan menjadi tenaga pengajar. Seluruh waktu, tenaga, dan pikiran bahkan pengorbanan materi hanya untuk melayani para santri Tebuireng. Padahal kita tahu, Kiai Ishaq bukan termasuk dzuriah Tebuireng. Kiai Ishaq merupakan santri biasa saja yang mewakafakan dirinya untuk pesantren Tebuireng tanpa pamrih.
Sungguh, pengorbanan dan loyalitas luar biasa. Konon, sewaktu hidup Kiai Ishaq berharap kelak ingin berkumpul dengan para gurunya bila sudah tidak ada. Apa yang telah dicita-citakan, terbukti teruwjud. Di mana setelah ia wafat dan dimakamkan di komplek Pesantren Tebuireng. Satu lokasi dengan makam KH Abdurrahman (Gus Dur) dan KH M Hasyim Asy’ari.
Menjadi abdi pesantren merupakan jalan mulia bagi seorang santri. Sudah menjadi kewajiban para santri di manapun pesantrennya manakala setelah selesai belajar dan sudah pulang ke kampung halamannya manakala ia dipanggil kiainya untuk mengajar misalnya maka akan segera bergegas. Dengan berkhidmah kepada pesantren kita dapat turut serta membantu keberlangsungan pesantren. Sekecil apapun pekerjaan itu di pesantren akan memberikan efek yang positif bagi kita dan keluarga.
Jasa KH M Ishaq Latief kepada Pesantren Tebuireng amat besar. Ia wafat pada Jum’at 27 Februari 2015 dan dimakamkan di pemakaman Tebuireng. (Ahmad Fao)