tebuireng.co – Mengatur tinggi-rendah suara azan ala Rasulullah menarik ditinjau kembali oleh masyarakat Indonesia, khusus yang Islam.
Beberapa waktu terakhir, terjadi polemik di tengah masyarakat yang disebabkan oleh terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama No. 05 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Sehingga terjadilah perang wacana antara golongan pro dengan golongan kontra terkait beberapa aturan yang ada di SE Menag tersebut.
Selain itu, statement Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas yang dirasa menyamakan antara azan dan suara anjing menyebabkan masyarakat muslim merespon statement tersebut dengan ragam ekspresi dan tindakan.
Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau Sumatera Barat mengecam pernyataan menteri agama tersebut hingga sampai pada titik mengharamkan Menag Yaqut menginjakkan kaki di Sumatera Barat.
Berangkat dari polemik ini, tim tebuireng.co pada tanggal 28 Februari 2022 berkesempatan mendatangkan satu narasumber dalam agenda Bincang Santai terkait kejadian yang membuat suasana gaduh di tengah masyarakat.
Narasumber dimaksud ialah Dr Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, seorang pakar ilmu hadis yang pernah belajar di Pesantren Tebuireng dan Darus Sunnah Ciputat.
Baca Juga: Pembatasan Suara Toa
Saat ini ia tercatat sebagai dosen di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng. Instansi pendidikan yang fokus dengan hadis dan ilmu hadis.
Sesuai fan keilmuan narasumber, tema yang diangkat oleh tebuireng.co dalam kesempatan ini adalah ”Polemik Regulasi Pengeras Suara Masjid dalam Pandangan Rasulullah”.
Mengawali pembicaraan, Dr ‘Ubaydi Hasbillah menyatakan bahwa dari aspek bahasa yang digunakan SE tersebut, dari judul saja seharusnya tidak mendapat respon yang negatif.
Sebab diksi yang digunakan adalah panduan bukan aturan. Dari sini jelas sekali perbedaan maksud antarakeduanya.
“Ini kalau panduan, itu harusnya tidak usah disikapi macam-macam, karena cuma panduan. Ya sudah, hanya panduan” ungkapnya.
Menurutnya, tidak ada permasalahan dari SE yang berisi panduan pengeras suara tersebut. sebab di dalamnya tidak mengandung larangan bagi orang muslim untuk mengumandangkan azan.
Bahkan, di masa Rasulullah SAW terdapat beberapa peristiwa yang terekam bahwa Rasulullah pernah mengatur tinggi rendahnya suara para sahabat.
“Saya yakin betul, di masa Rasulullah tidak ada TOA. Namun, Rasulullah SAW. sudah mengatur suara para sahabatnya,” tambahnya.
Argumen di atas menurutnya ia sandarkan pada satu riwayat Al-Tirmidzi yang mengisahkan bahwa Rasulullah ketika bertemu dengan Abu Bakar al-Shiddiq yang dikira membaca Al-Qur’an dengan suara sangat lirih diingatkan supaya mengeraskan suaranya.
Karena suara Abu Bakar pada peristiwa tersebut hampir tidak terdengar. Demikian juga di saat Rasulullah bertemu dengan Umar bin Khattab. Disebabkan suara Umar yang begitu keras, Rasulullah memintanya supaya sedikit menurunkan suaranya.
“Kalau ketemu Abu Bakar, (Rasulullah meminta) jangan terlalu pelan. Kalau ketemu Umar, (Rasulullah meminta) pelankan dikit, jangan terlalu keras,” paparnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa maksud utama dari perintah Rasulullah di atas ialah terjaganya ketenangan, terhindarnya kita semua dari kebisingan dan untuk mencipta lingkungan yang damai tanpa ada yang mengganggu serta merasa terganggu dengan ragam aktivitas yang masing-masing kita kerjakan.
Demikian juga dalam konteks mengatur tinggi-rendah suara azan. Di satu sisi suara azan dibutuhkan sebagai alarm bagi seluruh umat muslim agar melaksanakan satu kewajibannya, yakni salat.
Namun, di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari masyarakat ada yang sensitif dengan suara bising. sehingga perlu mengatur tinggi-rendah suara azan .
Sehingga, untuk menghindari kegaduhan antar kelompok yang memiliki kebutuhan dan kelompok yang merasa terganggu dengan kebutuhan kelompok lain itu, selain diperlukan suatu sistem yang mengatur hal demikian, juga dibutuhkan kesadaran bagi masing-masing orang akan posisi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
“Azan itu memang perlu bersuara keras, tapi tidak boleh terlalu keras,” supaya tidak ada yang merasa terganggu. Ukurannya ya tergantung (lingkungan) sekitarnya itu, merasa bising atau nggak. Terganggu apa nggak. Nyaman apa nggak,” imbuh pria yang akrab disapa Ustaz Ubayd ini.
Sampai di sini, setidaknya ada dua prinsip mendasar yang perlu diperhatikan mengenai bagaimana baiknya mengatur tinggi dan rendahnya suara.
Pertama, dalam ranah menyuarakan kebaikan dalam hal ini sebut saja mengumandangkan azan dibutuhkan suara yang keras supaya dapat didengar oleh pihak lain dengan harapan mereka ingat bahwa mereka harus segera melaksanakan salat.
Kedua, kerasnya suara dimaksud dalam artian tidak sampai pada titik menimbulkan kebisingan yang mengganggu pihak lain.
Dr Ubaydi, mengutip kisah Abdullah bin Zaid dan Bilal bin Rabah yang oleh Rasulullah salah satunya ditugaskan untuk mengumandangkan azan.
Di antara keduanya yang mendapat petunjuk melalui mimpi dan diutarakan kepada Rasulullah serta disetujui olehnya sebagai syi’ar untuk memanggil orang muslim agar melaksanakan perintah salat adalah Abdullah bin Zaid.
Kendati demikian, Rasulullah malah menugaskan Bilal sebagai mu’adzin lantaran suaranya yang lebih lantang dan merdu. Maka, kisah ini menunjukkan bahwa dua prinsip yang disebutkan di atas dianut oleh Rasulullah semasa hidupnya.
Sedangkan terhadap SE Menag No. 05 tahun 2022, Dr Ubayd menyarankan kepada semua pihak agar membaca dan menelaah terlebih dahulu akan surat edaran dimaksud yang hanya terdiri dari empat halaman tersebut.
Sebab, di sana sama sekali tidak ditemukan suatu aturan yang bertentangan dengan prinsip Islam itu sendiri. Bahkan, bila mengaca pada beberapa kisah yang sempat terjadi pada masa Rasulullah, justru surat edaran ini sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah.
“Artinya tidak ada sesuatu yang harus dipermasalahkan. Sebenarnya, ini hanya untuk menegaskan aturan saja,” tegasnya pria yang juga menjabat sebagai kepala Ma’had Al-Jami’ah Universitas Hasyim Asy’ari ini.
Dirangkum oleh A Fikri