Salah satu hambatan kaum perempuan berkarir ialah mengasuh anak. Banyak kaum wanita atau perempuan menggaungkan kesetaraan gender, faktanya untuk perempuan sangat sulit setara dengan kaum laki laki utamanya terhadap minimnya dukungan sistem yang ada bagi perempuan.
Melihat dunia politik keterwakilan perempuan masih sedikit padahal banyak kebijakan yang mengharuskan keterlibatan kaum perempuan, mengingat kebutuhan aspirasi masyarakat khususnya perempuan.
Jika melihat putusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 terdapat regulasi baru mengenai wajibnya keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30%. Di tahun 2019 setelah pemilu terlaksana keterwakilan perempuan masih kurang dari 30%.
Banyak kaum perempuan memiliki potensi jauh lebih baik dibandingkan laki-laki, namun beberapa dari mereka banyak hambatan untuk tetap berkarir. Sebenarnya hal mudah kaum perempuan untuk berkarir, namun perempuan dilema antara berusaha pada karirnya atau memilih mengasuh anak atau bayinya. Beberapa kaum perempuan tetap bekerja dengan peran ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karir.
Kompensasi yang didapatkan cenderung masih sedikit misalnya cuti melahirkan di Indonesia hanya didapatkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya, ini pun jika terdapat kondisi khusus.
Indonesia juga masih kental adanya tugas pengasuhan seorang anak hanya kepada sang Ibu, hal ini erat kaitannya dengan fenomena Fatherless dimana mempertanyakan keberadaan Ayah dalam kehidupan anak, dikarenakan aktivitas ayah yang mencari nafkah seolah tidak memiliki waktu untuk mengurus anak.
Jika dibandingkan negara maju seperti jepang mereka memiliki satu tahun untuk cuti melahirkan sekaligus melanjutkan cuti anak hingga si anak berusia satu tahun sekaligus adanya fasilitas daycare atau tempat penitipan anak yang berkualitas. Beberapa perusahaan di jepang juga menawarkan kerja fleksibel sehingga memudahkan para ibu untuk bekerja sembari mengasuh anaknya.
Sedangkan di Indonesia, banyak daycare yang belum berkualitas, apalagi perhatian dan kebijakan pemerintah belum banyak tentang daycare. Fasilitas ini umumnya berada di pusat kota sedangkan beberapa orang tua juga memperhitungkan lokasi dari rumahnya.
Tak heran beberapa kaum perempuan kariernya berhenti ketika anak pertama mereka dilahirkan atau mereka harus berhenti bekerja dan kembali lagi bekerja ketika anak mereka telah menginjak bangku sekolah.
Meski demikian, sudah terdapat beberapa lembaga pemerintah dan perusahaan ramah dengan kaum perempuan dengan menyediakan daycare untuk karyawannya seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Wisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), PT. Pos Indonesia, PT. Unilever Indonesia.
Selain keterbatasan berkarir karena memiliki anak, beberapa perempuan juga mengalami diskriminasi misalnya beberapa lowongan pekerjaan enggan menerima perempuan yang sudah menikah karena banyaknya perusahaan yang tidak mau menerima risiko pekerja perempuan, lantaran orang yang sudah mempunyai anak dinilai banyak drama.
Fasilitas untuk kaum perempuan di Indonesia masih minim, apalagi beban ganda yang dipikul perempuan bisa menyebabkan stress, kelelahan hingga berdampak pada pertumbuhan sang anak.
Pemerintah harus memberikan sistem yang lebih baik terkait hal ini seperti belajar dari negara maju yang juga menerapkan pemberian cuti untuk ayah yang memiliki bayi yang baru lahir.
Hal ini juga upaya solusi negara Indonesia yang minim pengasuhan ayah terhadap anaknya atau istilah saat ini fatherless.
Jika hal ini dibiarkan angka kelahiran di Indonesia bisa mengkhawatirkan, apalagi di tahun 2024 ini Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan adanya penurunan drastis angka kelahiran di Indonesia.
Penulis: Maulida Fadhilah Firdaus
Editor: Thowiroh
Baca juga: Lalai Riset dan Pengembangan, Indonesia Tertinggal