tebuireng.co– Buku ‘Persekongkolan Ahli Makrifat’ merupakan kumpulan cerpen (kumcer) yang menjadi salah satu favorit saya dalam dunia perbukuan. Sejatinya tulisan Prof. Dr. Kuntowijoyo dalam buku ini memiliki setting latar dan kejadian yang sering kita temui. Bahkan beberapa ceritanya mirip sinetron di televisi.
Seperti cerita seorang lelaki bejat yang di penghujung usianya mendapat hidayah taubat setelah tumpukan maksiat yang dia lakukan tiada henti di masa sebelumnya. Kalian bisa temukan cerita klise ini di awal judul buku ini.
Baca Juga: Seperti Shakespeare Menulis
Nama Kuntowijoyo sangat tenar di kalangan budayawan, sastrawan, dan sejarawan Indonesia. Meski sudah meninggal pada tahun 2005 silam, karyanya masih mewarnai dunia perbukuan ini hari, terutama cerpen-cerpennya. Ia dikenal sebagai intelektual serba bisa yang menggagas ilmu sosial dan sastra profetik.
Cerita yang Kuntowijoyo tulis adalah cerita sehari-hari yang mungkin sering kita temui. Seolah memberi kesan bahwa tema-tema yang ditulis biasa saja. Namun di sisi lain bisa menjadi kekuatan cerita yang intim dan nyaman dibaca karena terasa lebih nyata dan tergambar jelas dalam pikiran pembaca.
Tulisan Kuntowijoyo bagi saya lebih banyak memberi sentuhan cerita-cerita yang mengandung hikmah. Dalam salah satu kesempatan, beliau pernah memberikan pernyataan tentang sastra profetik:
“Keinginan saya dengan sastra ialah sastra sebagai ibadah dan sastra yang murni. Sastra ibadah saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, objektif dan universal. Demikianlah, sastra ibadah saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”
Membaca seksama pernyataan Kuntowijoyo di atas, memberi saya sebuah ilham. Sejatinya jika sastra profetik yg disampaikan Kuntowijoyo dalam pernyataannya dan membaca tulisannya dalam buku ini adalah karya yang mudah dikarang oleh para santri atau alumni pesantren. Mengapa? Sastra ibadah adalah penghayatan nilai-nilai agama yang tentu saja ini menjadi nilai plus kalangan santri yang hampir 24 jam bersentuhan dengan sendi-sendi agama Islam.
Kemudian sastra murni ekspresi dari tangkapan realitas, objektif dan universal. Tentu setiap orang memiliki tangkapan-tangkapan fakta dalam pengalaman hidupnya. Dua hal ini (sastra ibadah dan murni) kemudian di-mix untuk dijadikan cerita yang epik. Dan santri memiliki dua bekal utama untuk menulis sastra profetik.
Dalam tulisannya, penuturan Kuntowijoyo cenderung dalam kombinasi narasi telling (ceritaan) dan showing (ragaan). Telling berarti memaparkan dan memberi tahu kepada pembaca tentang situasi dalam cerita, sedangkan showing berarti hanya mendeskripsikan keadaan tanpa harus menyimpulkan. Kedua teknik narasi tersebut sudah populer dalam dunia kepenulisan dan mesti punya porsi seimbang dalam cerita.
Berkaca pada pandangan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo, maka sangat kentara bahwa ada ruang untuk digarap oleh kaum sarungan dalam dunia sastra. Ibadah yang ditempuh seorang santri tidak sekadar shalat, puasa, dan tirakat, melainkan juga dengan menulis cerpen.
(Septian Pribadi/Hilmi Abdillah)