Pernikahan dalam Islam adalah ibadah yang sangat dianjurkan. Namun, sepanjang sejarah Islam, ada ulama-ulama besar yang memilih untuk tidak menikah sepanjang hidup mereka. Keputusan ini bukan karena mereka mengabaikan ajaran agama, tetapi lebih kepada pengabdian total terhadap ilmu, ibadah, dan pengajaran.
Buku Para Ulama Jomblo karya Abdul Fattah Abu Ghuddah menyoroti kehidupan beberapa ulama besar yang memilih jalan ini. Keputusan mereka didasarkan pada alasan spiritual dan intelektual yang mendalam, menunjukkan bahwa setiap Muslim memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan tujuan dan prioritasnya.
Dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW dan anjuran yang baik bagi setiap Muslim. Namun, ulama seperti Imam An-Nawawi, Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ummu Kiram, dan Al-Zamakhsyari menunjukkan bahwa ada pengecualian bagi mereka yang memilih untuk hidup tanpa menikah demi tujuan yang lebih tinggi. Mereka merasa bahwa pernikahan, meskipun bernilai, tidak dapat mengimbangi nilai pengabdian total mereka terhadap ilmu dan agama.
Abu Ghuddah juga menjelaskan bahwa keputusan ulama-ulama ini untuk tidak menikah bukanlah bentuk penolakan terhadap sunnah Nabi, melainkan pilihan pribadi yang didasarkan pada situasi mereka yang unik. Dalam beberapa kasus, keputusan ini lebih terkait dengan kebutuhan spiritual dan intelektual, di mana mereka merasa bahwa pernikahan mungkin menghambat tugas-tugas besar yang ingin mereka capai dalam menyebarkan ilmu dan kebaikan.
1. Imam An-Nawawi: Pengabdian Total kepada Ilmu
Salah satu ulama yang paling dikenal karena pilihannya untuk menjomblo adalah Imam Yahya bin Sharaf An-Nawawi (631–676 H). Imam An-Nawawi dikenal luas sebagai salah satu ulama terbesar dalam mazhab Syafi’i dan penulis berbagai kitab penting, termasuk Riyadhus Shalihin dan Al-Majmu’.
Dalam bukunya, Abdul Fattah Abu Ghuddah menjelaskan bahwa Imam An-Nawawi memilih untuk tidak menikah agar dapat mencurahkan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu dan beribadah. Imam An-Nawawi dikenal hidup dalam kesederhanaan yang ekstrem, memakan makanan yang sangat sederhana dan tidur hanya beberapa jam setiap malam. Baginya, menikah adalah sesuatu yang dapat mengurangi waktu dan energi yang dapat ia curahkan untuk ilmu dan pengabdian kepada Allah.
Pilihan ini, meskipun tidak lazim bagi kebanyakan orang, adalah salah satu bentuk dedikasi yang luar biasa dari seorang ulama yang menyadari betapa berharganya waktu dalam hidupnya untuk tujuan agama.
2. Ibnu Jarir Ath-Thabari: Fokus pada Pengajaran dan Karya
Seorang ulama besar lainnya yang memilih hidup tanpa menikah adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari (224–310 H), seorang sejarawan, mufassir, dan faqih yang sangat dihormati dalam dunia Islam. Karya tafsirnya, Tafsir Ath-Thabari, dianggap sebagai salah satu kitab tafsir terpenting sepanjang sejarah.
Ath-Thabari, menurut Abu Ghuddah, memilih untuk tidak menikah agar ia bisa fokus pada penulisan karya-karyanya yang monumental dan mengajar para muridnya. Keputusan ini membuatnya mampu menulis salah satu karya sejarah terbesar, Tarikh Ath-Thabari, serta karya tafsir yang detail dan mendalam.
Pilihan Ath-Thabari untuk tidak menikah tidak hanya menunjukkan komitmennya terhadap ilmu, tetapi juga menyoroti betapa berharga waktu dan energi bagi seseorang yang ingin berkontribusi besar dalam tradisi intelektual Islam.
3. Syaikh Zamakhsyari
Abu Al-Qasim Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari, yang lebih dikenal sebagai Zamakhsyari, adalah seorang ulama dan ahli tafsir besar yang lahir pada tahun 467 H di Khwarizm, wilayah yang saat ini berada di Turkmenistan. Ia adalah salah satu ulama besar dalam bidang bahasa Arab, tafsir, dan teologi, dan dikenal luas karena karyanya yang monumental, Al-Kashshaf, sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat terkenal.
Zamakhsyari juga dikenal sebagai ahli bahasa Arab yang sangat terkemuka, dan banyak karyanya di bidang linguistik memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman gramatika Arab. Keahliannya dalam bahasa membuatnya dijuluki sebagai “Jārullāh” (tetangga Allah) karena ia tinggal di dekat Masjidil Haram dalam jangka waktu yang lama untuk belajar dan mengajar.
Zamakhsyari memilih untuk hidup tanpa menikah sepanjang hidupnya. Dalam Para Ulama Jomblo, Abdul Fattah Abu Ghuddah menyebutkan bahwa Zamakhsyari tidak menikah karena ia lebih memilih untuk fokus pada studinya dan aktivitas intelektual. Dedikasinya pada ilmu dan karya-karyanya, terutama dalam bidang tafsir dan bahasa, menunjukkan bahwa ia ingin mencurahkan seluruh energi dan waktunya untuk mengeksplorasi dan menyebarkan pengetahuan, tanpa terbebani oleh kewajiban keluarga.
Dalam menjalani hidup di masa mudanya, al-Zamakhsyari lebih memilih untuk menjomblo. Pilihannya itu, ia ungkapkan sebagai berikut:
“Janganlah menikahi wanita karena kecantikannya, tapi nikahilah mereka karena kesuciannya. Jika engkau mendapati kedua-duanya (cantik dan suci), maka sungguh itu sangat sempurna. Namun, yang lebih sempurna adalah hidup dalam keadaan tidak tertarik dengan wanita, walaupun diberi hidup panjang bertahun-tahun lamanya.”
Kemudian di dalam sya’irnya, ia mengatakan:
حسبى تصانيفى وحسبى رواتها ۞ بنين بهم سيقت إلي مطالبى
إذا الأب لم يأمن من ابن عقوقه ۞ ولا أن يعق الإبن بعض النوائب
فإنى منهم آمن وعليهم ۞ وأعقابهم أرجوهم للعوقب
“Cukup bagiku karya-karyaku dan orang yang mengkaji kitabku sebagai anak-anakku, sebab dengan mereka keinginanku bisa tercapai. Ketika seorang ayah tidak merasa aman dari kedurhakaan anaknya dan tidak ada jaminan anak terhindar dari musibah, maka sesungguhnya aku orang yang selamat dari mereka, serta anak cucu mereka, aku berharap bagi mereka kesudahan yang baik.”
Selain ulama’ laki – laki, ada juga yang menjomblo dari kalangan wanita lho!
4. Karimah Binti Ahmad bin Muhammad bin Hatim/Ummul Kiram
Karimah Binti Ahmad bin Muhammad bin Hatim Al-Marwaziyyah adalah salah satu ulama wanita yang terkenal dalam bidang hadits. Ia hidup pada abad ke-5 Hijriyah dan dikenal sebagai periwayat hadits yang sangat terpercaya. Salah satu kontribusi besar Karimah adalah menjadi periwayat Shahih Al-Bukhari, karya monumental Imam Al-Bukhari, yang hingga saat ini menjadi salah satu kitab hadits paling dihormati dalam dunia Islam.
Karimah berasal dari keluarga terhormat dan memiliki kedalaman ilmu yang membuatnya dihormati oleh para ulama laki-laki di zamannya. Ia hidup di Mekkah dan menghabiskan banyak waktunya untuk mengajar dan meriwayatkan hadits kepada murid-murid dari berbagai daerah. Selain memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits, Karimah juga dikenal sebagai wanita yang zuhud dan menjaga kesucian hidupnya. Ia memilih untuk tidak menikah dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk ilmu dan ibadah.
Keputusan Karimah untuk tidak menikah dianggap sebagai bentuk pengabdian dan dedikasi terhadap tugas besarnya sebagai penjaga dan pengajar ilmu hadits, yang menjadikannya tokoh penting dalam transmisi hadits di zamannya.
Pilihan para ulama besar Islam yang memilih untuk menjomblo sepanjang hidup mereka adalah bentuk pengorbanan yang besar. Bagi mereka, hidup adalah kesempatan yang sangat berharga untuk memberikan pengabdian terbaik kepada agama melalui ilmu, pengajaran, dan karya. Kisah-kisah ulama ini mengajarkan bahwa dalam Islam, setiap orang diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup yang sesuai dengan misi dan tujuan pribadinya, selama itu dilakukan dalam kerangka yang baik dan bermanfaat bagi umat.
Dalam konteks modern, kisah para ulama ini bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin berkontribusi pada kebaikan umat manusia melalui dedikasi penuh kepada ilmu dan amal. Meskipun pernikahan adalah anjuran penting dalam Islam, keputusan untuk tidak menikah demi tujuan yang lebih tinggi tetap dihargai dan dianggap sebagai bentuk pengorbanan yang mulia.
Penulis: Alyssa Qothrunnada
Editor: Zainuddin Sugendal