tebuireng.co– Rasanya, ini bukan slogan guyonan atau olok olok, namun agenda yang serius. Jumlah jama’ah atau warga NU yang besar tak paralel dengan maksimalnya kontribusinya bagi jama’ah, bangsa dan negara. Tak terelakkan, melempangkan sistem, penguatan ideologisasi, pembenahan menejemen kelembagaan dan sekolah pengelola jam’iyah merupakan keniscayaan. Termasuk, meng-NU-kan orang NU. Karena mayoritas jama’ah NU adalah “NU keturunan”, NU biologis atau bukan NU ideologis. Logis, jama’ah NU ke-NU-annya tak kenyal, tahan banting dan rapuh dari “godaan syetan yang terkutuk”, mudah terpelanting dalam kubangan kepentingan politik dan bujuk rayu faham lain.
Perhatikan bagaimana reaksi orang NU terhadap–meminjam Istilah Martin van Bruinessen dalam “Conservative Turn”–menggeliatnya kelompok konservatif di berbagai belahan dunia, wabil khusus di negeri ini. Kaget, gagap dan reaksioner. Padahal, sejak di penghujung tahun 1920–an NU mendapat “tamparan”, dituding dan diolok olok sebagian oleh kelompok lain dalam hal yang nyaris serupa. Kendati belakangan “serangan” kepada NU lebih telak, dari berbagai bagai arah dan massif.
Belum lagi, maraknya “NU libraliyah” dan “NU yasariyah” yang menelusup dalam NU dan memancing amarah sebagaian elite NU di berbagai di daerah. Mengagetkan, produk pesantren yang melanjutkan ke berbagai perguruan tinggi kemudian berpeluk mesra dan asyik masyuk dengan pemikiran Islam bukan mainstream. Meski patut disayangkan, respon kalangan internal NU terhadap “kenakalan” pemikiran anak muda NU cenderung ibarat hendak menyumbat auman atau mematikan macan dengan meriam. Bukannya lewat komunikasi, dialog dan persuasi untuk melerai kekhawatiran yang kelewat batas.
Nahdhat Al-Ummah
Awal perkembangan NU sangat bertumpu kepada figur elite-nya yang kharismatik, pola relasi kiai-santri, berbasis kaderisasi di pesantren dan model menejemen kekeluargaan yang longgar. Kendati, tak terbantahkan menonjolnya peran figur generasi awal NU seperti Hadhratusy Syekh Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah dan kiai Bishri Syansuri melecut perkembangan NU yang melaju dengan cepat.
Kedepan, sangat mendesak merekonstruksi grand design yang sistemik dimiliki oleh NU sebagai pengembangan anjakannya. Jargon Islam rahmatan lil’alamin dan ahlussunnah wal-jama’ah tak bisa lagi sekedar berputar putar di ranah transmisi kognitif, melainkan mesti mampu didemontrasikan ke dalam domain afektif dan psikomotorik. Keluhuran, keunggulan dan relevansi aswaja sudah saatnya tercermin dan dipamerkan dalam ekspresi laku elite, jam’iyah dan jama’ah NU.
Prinsip ajaran moderasi tak boleh dikebiri dan melulu diberi muatan makna kedekatan dan “bermain mata” dengan penguasa, sehingga orang NU lebih memilih defensif dan bahkan sepi dari keharusan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Semoga saja gaung meng-NU-kan orang NU yang digemakan di perhelatan muktamar NU ke 33 di Jombang terus bergema dari muktamar ke muktamar selanjutnya . Muktamirin tak cuma larut dalam dekapan memilih Rais ‘Am dan ketua Tanfidziyah NU yang kini justru perkara suksesi ini ditabuh bertalu talu dan bersautan menjadi nyanyian mulai di tingkat bawah. Bahkan, sistem Ahwa atau ahlul halli wal ‘aqdi-pun hendak dilucuti dan “rame rame” hendak ditampiknya.
Menata NU
Hingga kini sulit menampik apa yang dilakukan NU cenderung kurang serius, angin-anginan, tak fokus dan tak kokoh by design-nya. Jangan tanya, apakah ini lantaran ketidak tahuan atau ketak sadaran. Karena jawabnya, tahu dan sadar. Namun mengapa tak direspon serius, kembali muncul kealpaan dan lagi lagi menangguk akibat yang serupa dari waktu ke waktu. Seolah abai warning Nabi, “Tak laik orang beriman itu terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya”.
Jika taruklah, bila menyederhanakan agenda serius NU kepada perkara profesionalitas penataan institusi NU, ekonomi warga dan mengepakkan sayap lembaga perguruan tinggi NU. Walau di mana mana terasa ada tanda tanda efesiensi dan efektifitas dalam gerak roda organisasi NU, namun masih mencolok carut marut pengelolaan jam’iyah NU. Potensi dan peluang yang begitu besar tak tertangani dengan baik. Semangat “an tuaddul amanat ila ahliha” tak sepenuhnya menjadi anjakan utama dan like and dislike masih mencengkram NU. Bisa dirunut dari situlah, mengapa NU tak terhela dengan cepat, cenderung lamban, agendanya rutin dan jauh dari kreatif dan inovatif. Apalagi, NU hobi dengan struktur yang gemuk dan spirit bagi bagi kekuasaan. Akibatnya, jam’iyah tak ubahnya seperti gajah yang lamban bergerak dan tak bisa berlari cepat. Semangat hemat struktur dan kaya fungsi jauh dari potret jam’iyah NU.
Tak kalah seriusnya, ihwal perekonomian jama’ah NU. Warga NU yang di mana mana mayoritas dan ini secara ekonomi potensi yang luar biasa, tak peroleh perhatian yang memadai. Justru, yang menangguk keuntungan besar adalah pihak lain seperti pemodal besar dan bahkan termasuk kelompok yang rame rame turut melakukan “de-NU-sasi” utamanya lewat BMT mereka yang terserak di kantung kantung basis NU. “Penyakit bawaan NU”, kurang bersungguh sungguh mengelola sesuatu yang menjadi hajat hidup mayoritas jama’ah NU, padahal gerakan “Nahdhat al-Tujjar” cikal bakal berdirinya NU itu sendiri. Tak terbayang betapa hebatnya jam’iyah NU andai gagasan besar Gus Dur lewat Nusuma tak mati suri.
Menjadi tantangan tersendiri, berdirinya Universitas NU di mana mana. Meski tak boleh menutup mata, betapa kesan abortus itu muncul. Tak terhitung kendala yang melilit dan mengiringi kelahirannya. Menoleh ke belakang, tahun 1970–an NU memiliki universitas di berbagai daerah. Tak lama kemudian satu persatu, bukannya berkembang, namun “mengecil” dan berubah menjadi Sekolah Tinggi. Sedangkan, perguruan tinggi Muhamnadiyah berkembang pesat dan tak sedikit justru mahasiswanya adalah putra putri dari warga NU. Saya yakin, elite NU sekarang ketika belajar pidato di pesantren dulu acapkali mengutip “al-haq bila nidzamin sayaghlibuh al-bathil binidzamin”. Allah a’lam bi al-shawab