Bagaimana hukumnya menelan dahak ketika puasa? Apakah membatalkan puasa? Simak penjelasannya pada artikel berikut!
Persoalan fikih kontemporer akan selalu terus berkembang. Hal ini memunculkan perbedaan hukum menurut para ulama. Memasuki bulan Ramadan, mungkin banyak yang belum tahu seputar hukum menelan dahak/sputum. Apakah bisa membatalkan puasa atau tidak? Berikut ulasan singkatnya!
Apa itu Dahak?
Dalam dunia medis, sputum/dahak adalah lendir dan materi lainnya yang dibawa dari paru, bronkus, dan trakea yang mungkin dibatukkan dan dimuntahkan atau ditelan. Kata “sputum” yang diambil langsung dari bahasa Latin “meludah,” disebut juga dahak. Sputum biasanya juga disebut dengan expectoratorian.
Menurut Boucher RC dalam jurnalnya Mucus Clearance as a Primary Innate Defense Mechanism for Mammalian Airways menyebutkan bahwa sputum (dahak) berbeda dengan sputum yang bercampur dengan air liur. Cairan sputum lebih kental dan tidak terdapat gelembung busa di atasnya.
Sputum diambil dari saluran nafas bagian bawah, sedangkan sputum yang bercampur air liur diambil dari tenggorokan. Sputum diproduksi oleh trakeobronkial yang secara normal memproduksi mukus/lendir setiap hari sebagai bagian dari mekanisme pembersihan normal (Normal Cleaning Mechanism).
Jadi, munculnya dahak merupakan kondisi normal manusia sebagai mekanisme pembersihan pernapasan dalam tubuh, termasuk dahak yang muncul sebab batuk atau penyakit lainnya. Secara fungsi, lendir ini berguna untuk melindungi saluran pernapasan dari benda asing atau infeksi.
Jika terjadi gangguan saluran napas, dampak yang terjadi ialah perubahan warna dahak tersebut. Secara medis, dahak lebih baik untuk dikeluarkan daripada ditelan kembali.
Hukum Menelan Dahak ketika Puasa
Dahak dalam bahasa Arab biasa disebut dengan balghom, ada juga yang memakai istilah nukhomah. Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini atau ada khilaf.
Dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, disebutkan bahwa yang dimaksud nukhomah ialah sesuatu yang keluar dari tenggorokan manusia, dari makhraj huruf kho’ dengan titik di atasnya.
Dalam putusan Lembaga Fatwa Mesir atau Dar al-Ifta’ menyebutkan:
ذهب فقهاء الحنفية والمالكية، ورواية عند الحنابلة، إلى أنَّ الصائم إذا ابتلعَ بلغمًا أو نخامةً لم يفطر به، على اختلافٍ وتفصيلٍ
“Para ulama fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan riwayat Hanbali berpendapat bahwa seseorang yang berpuasa ketika menelan dahak, maka tidak batal. Dengan perbedaan kondisi dan perincian.”
Sedangkan di kalangan mazhab Syafi’i, dalam kasus menelan dahak dirinci menjadi dua pendapat.
Dalam kitab al-Hawi al-Kabir karangan Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad al Mawardi disebutkan:
وَأَمَّا النُّخَامَةُ إِذَا ابْتَلَعَهَا الصائم فَفِيهَا وَجْهَانِ : أَحَدُهُمَا : قَدْ أَفْطَرَ بِهَا .
وَالثَّانِي : لَمْ يُفْطِرْ بِهَا وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يُفْطِرُ ، فَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ صَدْرِهِ ثُمَّ ابْتَلَعَهَا فَقَدْ أَفْطَرَ كَالْقَيْءِ ، وَإِنْ أَخْرَجَهَا مِنْ حَلْقِهِ ، أَوْ دِمَاغِهِ لَمْ يُفْطِرْ كَالرِّيقِ
“Pendapat pertama, menelannya batal. Pendapat kedua, tidak batal dan pendapat yang shohih ialah batal. Jika dahak keluar dari dada kemudian ditelan maka batal, ini seperti muntah. Sedangkan, jika keluar dari tenggorokan atau otak maka tidak batal, karena seperti ludah.”
Selain itu, Prof Dr Syekh Muhammad Hasan Hitou seorang ulama ahli ushul fiqh dan pengajar di al-Azhar Mesir juga memberikan ulasan tentang hukum menelan ludah dalam Fiqh al-Shiyam-nya.
Ia menjelaskan dalam dua keadaan. Keadaan pertama, bahwa keluarnya tidak sampai ke had dzahir (tempat huruf ح dari mulut), dahaknya keluar dari kepala sampai ke kerongkongan, tanpa keluar sampai had dzahir dari mulut. Hal ini tidak memudharatkan menurut kesepakatan ulama.
Keadaan kedua, sampai ke had dzahir dari mulut, ulama telah memberi catatan dengan makhraj huruf ح. Jika sampai had dzahir, adakalanya mampu memutuskan dahak dan meludahkannya, dan adakalanya tidak mampu.
Ia meneruskan, jika dia tidak mampu untuk memutuskan dan meludahkannya sampai turun kembali ke rongganya, maka tidak memudaratkan karena dia tidak lalai. Sedangkan jika dia mampu memutuskan dan meludahkannya, tetapi dia malah menelannya, maka puasanya batal atas kesepakatan mayoritas ulama.
Dari ulasan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab Syafi’i menganggap bahwa menelan dahak hukumnya membatalkan puasa. Sedangkan mazhab yang lain tidak membatalkan, tetapi dengan rincian kondisinya.
Jika kita berhati-hati, lebih pas mengikuti pendapat mazhab Syafi’i. Dari segi medis pun dahak memang sebaiknya dikeluarkan karena dahak mengandung bakteri atau infeksi. Tidak bermanfaat bagi tubuh, bahkan tidak juga menghilangkan dahaga.
Bagaimana dengan hukum menelan air ludah saat puasa? Semoga ada di ulasan berikutnya. Sekian semoga ibadah puasa kita berjalan dengan baik sesuai aturan fikih dan diterima oleh Allah. Wallahu a’lam
Penulis: M Sutan Alambudi
Editor: Ikhsan Nur Ramadhan
Baca Juga: Ciri Diterimanya Amal dan Ibadah di Bulan Ramadan