tebuireng.co – Meneladani Kiai Kholil Bangkalan adalah sikap yang bijak karena ia merupakan salah satu ulama yang menjadi gurunya KH M Hasyim Asy’ari. Kiai Kholil juga tokoh penentu berdirinya Nahdhatul Ulama pada tahun 1926 H.
Pada masanya, ia dikenal sebagai seorang ulama sekaligus wali yang termasyhur. Sebab, ia merupakan salah seorang ulama yang dikaruniai banyak karamah dalam hidupnya. Banyak ulama di tanah Jawa yang belajar ke kediamannya.
Tak hanya itu, Syaikhona Kholil Bangkalan juga terkenal dengan keilmuannya, terutama ilmu Nahwu dan tafsir al-Quran, serta Qiraat. Bahkan, diceritakan jika mampu menulis kitab al-Fiyah selama tiga hari ketika belajar di Makkah.
Oleh karena itu, terdapat banyak hal yang bisa diteladani dari Syaikhona Kholil Bangkalan ini, salah satunya adalah ketulusan dalam beramal. Dalam sebuah cerita, dikisahkan ia mendapatkan seorang tamu sepasang suami-istri.
Pasangan suami istri yang berkunjung kepada Kiai Kholil ini mengaku hanya memiliki bentol, yakni ubi-ubian.
Sehingga, mereka sowan kepada Syaikhona hanya dengan membawa seikat bentol tersebut. Setibanya di kediamannya, Syaikhona Kholil menyambut keduanya dengan sangat hangat.
Kiai Kholil memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat memuliakan tamu. Bahkan, ketika tamu tersebut menghaturkan oleh-olehnya, Kiai Kholil dengan wajah berseri berkata, “Wah, kebetulan saya sangat ingin makan bentol.”
Tak menunggu sang tamu pulang, Kiai Kholil lantas meminta salah seorang santri untuk memasaknya. Setelah matang, Kiai Kholil pun lantas memakannya dengan lahap di hadapan pasangan suami istri tersebut.
Tamunya yang sebelumnya cemas pun berbunga-bunga melihat Sang Kiai menikmati oleh-oleh sederhana yang dibawanya itu. Akibat kejadian tersebut, pada akhirnya sepasang suami-istri itu berniat untuk kembali lagi bertamu pada Kiai Kholil dengan membawakan bentol.
Sampailah kembali mereka pada kediaman Kiai Kholil dengan membawa ubi-ubian tersebut. Alih-alih menerima oleh-oleh tersebut, Sang Kiai justru meminta mereka untuk membawa pulang apa yang mereka bawa itu.
Karena kejadian tersebut, sepasang suami istri itu lantas berpikir dan bertanya-tanya. Sebenarnya, kesalahan apa yang telah mereka perbuat?
Nah, dalam dua kejadian yang sebenarnya mirip ini, Kiai Kholil ternyata menyadari bahwa pasangan suami istri itu memiliki niat yang berbeda dalam dua peristiwa tersebut.
Pada kedatangan mereka yang pertama, keduanya memiliki ketulusan dalam memuliakan ilmu dan ulama. Sedangkan, pada kunjungannya yang kedua, mereka hanya datang untuk memuaskan kiai serta ingin mendapatkan pujian.
Tentu dari kisah di atas, kita dapat melihat bahwa Syaikhona Kholil Bangkalan senantiasa mengajarkan ketulusan dalam beramal saleh. Dengan begitu, maka menata niat adalah hal utama yang harus dilakukan oleh seorang Muslim sebelum melakukan suatu amalan.
Apakah kalian tertarik meneladani Kiai Kholil Bangkalan?
Oleh: Dinnatul Lailiyah