tebuireng.co – Mencium Al-Qur’an, bolehkah? Hal ini jadi pertanyaan karena mencium Al-Qur’an waktu sebelum atau setelah membacanya sudah menjadi kebiasaan lumrah di kalangan Muslim. Namun, bagaimana sebenarnya hukum melakukan hal tersebut?
Pertama, hukumnya tidak boleh. Pendapat ini diambil dari satu fatwa dalam kitab Allajnah Addaimah Lil Buhuts Al-ilmiyah Wal Ifta’ yang sering kali menjadi dalil pelarangan mencium Al-Qur’an.
“Kami tidak mengetahui satu dalilpun yang menunjukkan disyariatkannya mencium Al-Qur’an yang mulia. Al-Qur’an untuk dibaca, direnungi, diagungkan dan diamalkan. “
Mazhab Maliki menghukumi makruh hukumnya apabila mencium Al-Qur’an. Pandangan Mazhab Hanafi, hukum mencium Al-Qur’an adalah harus dan bukan sunat. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan satu riwayat dari pada Imam Ahmad.
Pandangan sama di suarakan oleh Ibnu Taimiyah dan as-Syaukani yang mana mereka menjelaskan bahwa hukum mencium mushaf itu harus karena tiada dalilnya, tetapi jika menciumnya juga maka tidak menjadi kesalahan.
Kedua, dibolehkan mencium Al-Qur’an, ini merupakan pandangan para fuqaha mazhab Syafi’i, antaranya Imam al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Haitami, Imam az-Zarkasyi dan pada satu riwayat bagi Imam Ahmad.
Dalil yang di gunakan termasuk yang di riwayatkan oleh Umar RA: “Sesungguhnya adalah Umar RA mengambil mushaf pada setiap pagi dan menciumnya dan berkata: Inilah perjanjian Tuhan ku yang datang dari Tuhan ku”
Satu dalil lagi yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan RA bahwa ia mencium mushaf dan menyapunya ke mukanya. Para ulama memperbolehkan bahkan sebagian ulama menganggap hal ini sunah berdasarkan sebuah riwayat:
وقال النووي في التبيان : روينا في مسند الدارمي بإسناد صحيح عن ابن أبي مليكة أن عكرمة بن أبي جهل كان يضع المصحف على وجهه ويقول : كتاب ربي كتاب ربي
Salah satu sahabat yaitu Ikrimah bin Abu Jahal ra berkata bahwa ia pernah meletakkan mushaf Al-Qur’an di wajahnya (menciumnya) seraya berkata, “Ini kitab Tuhan ku, ini kitab Tuhan ku.”
Para ulama juga menganalogikan hal ini kepada mencium hajar aswad seperti keterangan di dalam Hasyiyah Asy-Syarwani (1/155):
قَالَ الْبُجَيْرِمِيّ وَاسْتَدَلَّ السُّبْكِيُّ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ بِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ، وَيَدِ الْعَالِمِ وَالصَّالِحِ وَالْوَالِدِ إذْ مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُمْ
“Imam Al-Bujairimi berkata: Imam As-Subki berdalil untuk dibolehkannya mencium mushaf Alquran dengan diqiyaskan (dianalogikan) kepada mencium hajar aswad, tangan seorang alim, tangan orang salih dan tangan orang tua. Karena telah dimaklumi, bahwa ia (Al-Qur’an) lebih utama dari mereka.”
Maka hukum mencium Al-Qur’an itu boleh berdasarkan pendapat kedua ini, bahkan disunahkan dengan niat ta’dzim (mengagungkan) Al-Qur’an.
Sebagaimana hajar aswad diagungkan karena merupakan batu dari syurga. Maka Al-Qur’an lebih patut untuk diagungkan sebab ia adalah kalam Allah. Begitu pula menempatkan Al-Qur’an juga perlu ditinggikan sebagai ta’dzim. Juga ketika membawa mushaf Al-Qur’an harus dengan hormat.
والله اعلم بااصواب
Oleh: Asti Maharani