tebuireng.co– Tulisan ini adalah opini tanggapan terkait tulisan opini Kiai Imam Jazuli Lc MA yang berjudul: Meluruskan Opini Yenny Wahid tentang Cak Imin, Membicarakan Etika Politik.
Membaca tulisan Kiai Imam Jazuli yang ditulis pada Sabtu, 25-06-2022, 14:10 WIB (Alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Alumni Universitas Al Azhar Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumnj University Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni University Malaya, Dept. International Strategic and Defense Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’hid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015), tentang judul diatas.
Saya merasa juga perlu untuk ikut menulis, sebagai dinamika wajar dalam sebuah pemikiran dan keilmuan, atau setidaknya sebagai dinamika tafsir sejarah dalam dinamika politik kebangsaan negeri kita tercinta ini, Indonesia.
Tulisan saya ini bukan masalah setuju atau tidak setuju dengan semua isi tulisan. Saya hanya ingin urun pemikiran terkait wacana yang berkembang saat ini, termasuk “perang twiter” antara Ning Yenny Wahid dan Cak Imin beberapa waktu lalu.
Pada paragraf ketiga tulisan Kiai Imam Jazuli tersebut berbunyi begini : “PKB adalah parpolnya NU berdasarkan pada Surat Tugas PBNU Nomor 925/A.II/03/6/1998 tanggal 27 Shofar 1419/22 Juni 1998. Melalui Surat Tugas ini, saluran aspirasi politik warga Nahdliyyin menjadi jelas, PKB. Bukan parpol lain. Tentunya, surat tugas ini belum dicabut hingga saat ini. Demikian bunyi lengkap tulisan tersebut.
Tercatat dalam sejarah perjalanan PKB. Pada Juni 1999, ketika Pemilu dilaksanakan dengan sedikit penyimpangan. Ada 462 kursi yang diperebutkan. Selain itu, ada jatah 38 kursi untuk militer, sehingga total menjadi 500 kursi DPR. Lima ratus kursi di DPR akan digabungkan dengan 65 utusan golongan (akan dipilih oleh KPU) dan 135 utusan daerah (dipilih oleh DPRD), hingga total anggota MPR sebanyak 700 orang. Sebagaimana di tulis Virdika Rizky Utama dalam bukunya Menjerat Gus Dur.
Saat itu, Pemilu 1999. PKB mendapatkan prosentase suara 12,6%, dengan perolehan kursi 51 dengan total suara masuk 24.701.288.
Tentu tidak ada yang menyangsikan, tampilnya Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro PKB saat itu, sebagai magnet perekat kaum Nahdliyyin yang haus pengayom sejak masa rezim orde baru, kaum nahdliyyin hanya jadi pendulang suara dan “sapi perahan”, dalam posisi dininabobokkan dan ternina bobokkan.
Saya tidak permasalahkan semua isi tulisan Kiai Imam Jazuli tersebut, karena faktanya memang demikian. Secara tulisan hitam diatas putih, sebagaimana dalam paragraf tiga tulisan Kiai Imam tersebut tidak terbantahkan, bahwa PKB itu memang Partai Nahdliyyin yang dibentuk oleh NU atas tim asistensi sebagaimana dalam poin tulisan tersebut.
Gus Dur sebagai perekat dan magnet dahsyat dalam proses awal pembentukan PKB, tentu juga tidak dapat dibantah oleh siapapun, khususnya kalangan Nahdliyyin. Mafhum Mukholafahnya: “andaikan dari sejak awal, Dewan Syuro PKB bukan Gus Dur, maka tidak yakin PKB pada pemilu 1999 tersebut sampai mendulang suara sebanyak itu, atau secara prosentase dapat mencapai 12,6%”. Capaian tertinggi sejak PKB berdiri hingga saat ini. Buktinya, hingga saat ini, PKB belum dapat melebihi perolehan suara seperti pemilu 1999.
Dalam perjalanannya, ketika PKB survive dan sukses mendapatkan peringkat ketiga dalam pemilu 1999 tersebut, dengan dipunggawai oleh Gus Dur sebagai Dewan Syuro. Kok ndilalah, entah karena faktor apa, Cak Imin “merampas” dan “mendepak” Gus Dur dari Dewan Syuro PKB, dengan memunculkan PKB dua kubu, bahkan tragisnya memunculkan Dewan Syuro PKB dari versi lain, Kiai Aziz Mansur diangkat oleh Cak Imin. Sebuah tragedi yang tidak patut dengan mempetakonflik-kan Gus Dur dan Kiai Aziz Mansur yang “awam dalam berpolitik”.
Saya katakan Awam Berpolitik, karena saya paham betul. Kiai Aziz Mansur adalah Kiai saya. Beliau Pengasuh Pesantren Pacul Gowang, dekat Tebuireng. Bahwa dulu, saat saya ada di Tebuireng, beliau mulang Kitab Mizan Al Kubro, saya sempat ngaji pada beliau.
Cak Imin memang Cerdas dan piawai dalam strategi. Semua orang apalagi kaum Nahdliyyin mengakui hal ini. Termasuk memasang Kiai Aziz Mansur menjadi Ketua Dewan Syuro PKB versi Cak Imin, tentu memang kecerdasan Cak Imin. Dalam bahasa lain, Cak Imin telah memerankan: “Politik Devide et Impera, Politik Belah Bambu”.
Buktinya, hingga saat ini sebagian warga NU, akibat strategi yang dimainkan Cak Imin tersebut, hingga saat ini, luka lama tersebut masih belum sembuh dan tetap membekas di sebagian besar kaum Nahdliyyin.
Agaknya sangat relevan kalimat Gus Dur, saat ditikam Amin Rais cs dengan Poros Tengah-nya saat itu : “Maafkan iya, Lupakan Jangan”. Gus Dur memaafkan perilaku Amin Rais Cs, tetapi Gus Dur (dan mungkin kita semua) tidak akan pernah melupakan penelikungan tikaman Amin Rais cs. Karena semua ada rekam jejak digitalnya.
Kita tahu dan tentu mafhum semua, bahwa teori Genetik Trah Politik di Indonesia masih sangat kuat. Secara Gen Politik, tentu Ning Yenny Wahid lebih berhak dari pada Cak Imin. Semua sudah mafhum, bahwa kemenangan di pengadilan kubu Cak Imin dalam pertarungan secara hukum, karena ada intervensi kekuasaan saat itu, yaitu pada masa presidennya SBY. Hukum di Indonesia ini masih banyak ‘pesanan otoriter’ kekuasaan. Dalam bahasa Hukum belum bisa memerankan sebagaimana mestinya, Equality before the Law. Dalam semboyan Hukum dikenal: Fiat Justitia at Peread Mundus; Walaupun Bumi Runtuh, Hukum harus tetap ditegakkan”.
Secara teoritis dan diatas kertas, sampai saat inipun PKB memang “milik Cak Imin”. Tapi saya sangat yakin, sebagian besar kaum Nahdliyyin, PKB adalah “milik NU dan Gus Dur”. Sehingga faktor Gen Gus Dur yang melahirkan Ning Yenny Wahid, adalah sesuatu yang tentu tidak dapat terbantahkan.
Sehingga Twit Ning Yenny Wahid yang menganggap bahwa Cak Imin merampas PKB dari Gus Dur, secara bathiniah dan psikologi massa, adalah sesuatu yang sangat lumrah dan bahkan wajar. Apalagi sampai saat ini Cak Imin salalu menggunakan nama besar almarhum Gus Dur untuk membesarkan PKB, yang semasa hidupnya pernah dikeluarkan PKB oleh Cak Imin.
Baca juga: Gus Dur Dikeluarkan dari PKB, Ini Kata Yenny
Saya tidak dalam posisi membela Ning Yenny Wahid, tetapi hanya ingin menyajikan fakta yang berbeda dari tulisan Kiai Imam Jazuli tersebut. Bahwa kalimat merampas itu bukan vis a vis secara pribadi. Tetapi, semua kita ketahui karena banyak rekam jejak digital, betapa nuansa keputusan pengadilan yang saat itu memenangkan kubu Cak Imin dalam putusan sidang yang inkrach, bahwa pemenang PKB adalah Kubu Cak Imin, atas intervensi kekuasaan yang lebih berpihak kepada kubu Cak Imin.
Jadi wajar, apabila sampai saat ini, ada suasana kejiwaan di sebagian besar warga NU yang masih belum dapat menerima “perampasan” tersebut. Apalagi, hingga saat ini Cak Imin secara publik, belum pernah tampak berbaik-baik atau dalam bahasa lain, mbokyao mengalah dan menurunkan sedikit ego-nya untuk sowan kepada Bu Nyai Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (Bu Nyai Shinta) dan semua Keluarga Gus Dur. Secara etika kesantrian, memohon maaf dan mengalah sowan untuk mengikat persaudaraan dan ukhuwwah siyasiyyah secara politik itu sangat penting.
Tapi Cak Imin sepertinya belum melakukan ini, buktinya Gen Politik Gus Dur, Ning Yenny Wahid, masih menyindir-nyindir dengan “perang twit di twitter”. Menurut saya pribadi, sejatinya Ning Yenny Wahid hanya memberikan pesan tersirat kepada publik, bahwa masih ada “luka lama” yang masih belum sembuh, hal ini karena faktor Cak Imin yang juga terkesan “ego” tidak mau berbaik-baik dengan Keluarga Gus Dur dan Ciganjur. Wallahu A’lam
Oleh: Lora Fawaid Abdullah. Santri Tebuireng 1989-1999, Pendiri & Ketua Umum Gerakan Nasional Generasi Indonesia Bersarung-GIB, dan Khadim PP. Al Aula Kombangan Bangkalan Madura. Akun Youtube, FB, IG, TikTok, Twitter: ABAHLORA CHANNEL (Subcribe & Follow)