tebuireng.co – Memilih Nahdlatul Ulama (NU) tentu ada alasannya, KH A Wahid Hasyim juga punya alasan khusus untuk gabung ke NU. Meskipun terlahir sebagai putra kandung KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kiai Wahid tidak langsung gabung ke NU.
Pada bulan April 1934, ketika saya baru datang dari luar negeri, datanglah permintaan-permintaan dan ajakan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan dan partai-partai Islam agar saya menggabungkan diri pada mereka. Di antaranya dari Nahdlatul Ulama.
Saya tidak segera memenuhi permintaan dan ajakan itu. Hampir 4 tahun saya menimbang, baru menentukan sikap memasuki salah satu dari perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai tadi.
Kemungkinan di muka saya adalah dua, masuk pada perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai yang telah ada, atau mendirikan perhimpunan atau partai sendiri yang baru.
Terus terang saya uraikan di sini, bahwa perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai di waktu itu saja dipandang tidak memuaskan, partai A kurang radikal, partai B kurang pengaruh, partai C kurang banyak kaum terpelajarnya, partai D kurang jujur pimpinannya. Seribu satu macam kekurangan-kekurangan di dalam pandangan saya.
Barulah pada tahun 1933 saya memilih perhimpunan Nahdlatul Ulama untuk tempat saya bergerak mengembangkan sayap dan kecakapan. Apakah pertimbangan saya guna menentukan pilihan itu? Itulah yang akan saya bentangkan di bawah ini.
Mula-mula saya insaf bahwa tidak ada satupun perhimpunan yang 100% memuaskan. Ibaratnya seperti “jodoh”, yang memuaskan sungguh-sungguh kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya, saudara-saudaranya, kemenakannya dan lain-lainnya lagi, pasti tidak terdapat di dunia ini.
Oleh karena perhimpunan atau partai yang memuaskan 100% itu tidak pernah ada, maka harus dipilih yang paling ringan kekurangan-kekurangannya.
Mula-mula saya memakai ukuran “keradikalan (ketangkasan dan kecepatan)” untuk memilih; dari jurusan ini memang Nahdlatul Ulama tidak memenuhi keinginan saya.
Nahdlatul Ulama perhimpunan orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa, tidak revolusioner. Akan tetapi, beberapa kenyataan tidak dapat dibantah, yaitu di waktunya perhimpunan-perhimpunan pemuda-pemuda Islam yang lainnya selama digerakkan di dalam waktu 10 tahun baru mempunyai cabang di 20 tempat yang letaknya berdekat-dekatan, maka Nahdlatul Ulama sudah menjalar hampir meratai 60% dari pada seluruh daerah Indonesia.
Jadi apalah artinya radikal dan revolusioner, jika hasilnya di dalam masa 10 tahun baru mempunyai cabang 10 dan hanya berputar di dua daerah karesidenan?
Begitulah pikir saya Ketika telah membanding-banding itu. Satu hal yang saya pakai menjadi ukuran sudah saya tinggalkan, setelah saya menentukan, bahwa yang penting di dalam hal ini bukanlah “kegagalan” di dalam berjuang, melainkan hasil dari pada perjuangan itu sendiri.
Kemudian, saya lalu memandang suatu ukuran lain yaitu banyaknya terpelajar di dalam suatu perhimpunan atau partai yang akan saya pilih.
Dari jurusan ini memang Nahdlatul Ulama miskin sekali. Untuk mencari akademis di dalam NU adalah ibaratnya seperti mencari orang berjualan es pada waktu jam 01.00 WIB.
Akan tetapi, setelah saya banding-banding, saya mendapat kenyataan, bahwa banyaknya orang terpelajar tinggi di dalam sesuatu perhimpunan atau partai, bukanlah menjadi jaminan bahwa perhimpunan atau partai itu akan maju sebab yang menentukan maju mundurnya sesuatu perhimpunan atau partai bukanlah otak semata-mata, melainkan yang terutama ialah mentalitas (atau kalau memakai bahasa agama: budi dalam arti yang luas).
Banyak perhimpunan-perhimpunan dan partai-partai yang “penuh” dengan kaum terpelajar tinggi, tetapi mentalitasnya tidak berdekatan macamnya, maka tenaga perhimpunan itu habis di dalam pergolakan ke dalam saja.
Sebaliknya partai yang organisasinya rapi seperti PKI, walaupun tidak mempunyai anggota kaum terpelajar tinggi, tetap kokoh dan lancar. Jadi kekurangannya bahkan kekosongannya NU dari kaum terpelajar itu tidaklah menjadi ukuran bahwa kemungkinannya maju akan berkurang.
Selanjutnya ada dua hal lagi yang sering menjadi keberatan bagi pemuda-pemuda Islam untuk memasuki Nahdlatul Ulama.
Pertama, NU terlampau “strong”, terlampau “keras” di dalam tuntutannya (esainya) pada anggota, mengenai kewajiban-kewajiban agama. Tiap- tiap anggota NU harus “beres” sembahyangnya, jumatannya, puasanya dan lain-lain kewajiban agama lagi.
Nahdlatul Ulama di dalam hal kehidupan “privat” anggota-anggotanya mempunyai ukuran yang berat. Anggotanya yang menjalankan kehidupan privat kurang “sedap” di dalam pandangan para Ulama, mendapat “peringatan-peringatan”; bahwa di dalam anggaran dasar NU disebutkan kemungkinannya pemecatan seorang anggota berdasar atas perbuatan-perbuatannya yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya menurut ajaran Islam.
Memang tuntutan NU yang “keras” dan “strong” pada anggota-anggotanya ini sering dirasai oleh orang luar sebagai hal-hal yang menakuti dan menghalangi untuk menggabungkan diri menjadi anggota NU.
Akan tetapi bagi orang-orang yang betul-betul ingin kemajuan Islam dan kebangunan syariatnya, maka tuntutan-tuntutan NU yang ”berat” dan “keras”, serta “strong” itu malah makin mendorongnya untuk masuk.
Dan bagi orang yang telah menjadi anggota, dirasakan sebagai batas ujian yang memilihara dinamika mereka agar tetap terjaga baik.
Sesuatu perhimpunan atau Partai yang mempunyai penyaringan dan ujian, memang di dalam tingkat pertama dari pada hidupnya. Tidak mungkin mempunyai anggota-anggota banyak, karena dirasa berat oleh calon-calon anggota.
Tetapi setelah berjalan beberapa lama, pasti akan terdapat di dalamnya suasana harmonis dan persaudaraan yang sukar terdapat di dalam perhimpunan-perhimpunan partai-partai yang “murah” menerima anggota!
Dan dengan sendirinya perhimpunan atau partai tadi lalu kuat, maka dengan sendirinya lalu partai tadi menarik orang-orang luar, karena kehidupan perhimpunan-perhimpunan atau partai tadi sangat dipengaruhi hukum “kuat” sebagai data penarikannya, sesuatu perhimpunan atau partai yang kuat, pasti menarik dan yang lemah tidak dihiraukan orang.
Yang kedua, ialah faktor ulama yang di dalam NU seolah-olah memonopoli perhimpunan, sedang pandangan mereka itu selalu didasarkan pada keterangan-keterangan dan perkataan-perkataan para ulama yang terdahulu di dalam kitab-kitab dan buku-buku agama.
Oleh karena demikian, maka kemerdekaan bergeraknya perhimpunan tentu akan terhalang oleh pandangan para ulama yang dianggapnya “kolot” itu tadi. Begitulah anggapan orang luar.
Akan tetapi, bagi orang yang suka menyelidiki sungguh-sungguh, akan terdapatlah kenyataan bahwa di dalam Nahdlatul Ulama kedudukan para ulama itu tidak lebih dari pada anggota-anggota biasa, jadi tidaklah memonopoli perhimpunan.
Mereka itu hanyalah sebagai penjaga pelajaran-pelajaran Islam, janganlah sampai dilanggar oleh anggota-anggotanya karena jika anggota sudah melanggar ajaran-ajaran agamanya, siapa lagi yang akan sudi memelihara dan menjaga pelajaran-pelajaran itu.
Di dalam usaha para ulama menjaga pelajaran-pelajaran agama itu, sama sekali mereka tidaklah “beku” dan “jumud”, tetapi senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan keadaan asal saja di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam.
Demikianlah setelah saya menyelidiki keadaan dan suasana pada tiap-tiap perhimpunan atau partai, baik yang berdasar Islam, maupun kebangsaan, saya pun lalu yakin, bahwa Nahdlatul Ulama malah yang memberi kemungkinan banyak bagi kebangkitannya umat Islam di Indonesia.
Faktor-faktor di dalamnya yang dahulunya saya anggap sebagai “rintangan” bagi kemajuan, malah sebaliknya ternyata sebagai faktor-faktor yang menyempatkan kemajuan.
Dan sejak tahun 1938, saya lalu menjadi anggota NU, mantap memilih Nahdlatul Ulama setelah berpikir hampir empat tahun lamanya, lepas dari pada pengaruh perasaan, sentimen dan keturunan.
Sumber: KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011