Pengasuh ke-7 Pondok Pesantren Tebuireng, KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa dengan Gus Sholah wafat pada hari Minggu, (02/02/2020) di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Kepergiannya menuai duka orang-orang yang mengenalnya, terlebih bagi keluarga dan para santri khususnya di Pesantren Tebuireng.
Seminggu sebelum kepergian Gus Sholah, dengan kesehatan yang tidak lagi seperti dahulu, Gus Sholah masih menyempatkan diri untuk membagikan gagasan-gagasannya ke khalayak. Melalui Harian Kompas edisi 27 Januari 2020, Gus Sholah menuliskan opini berjudul “Refleksi 94 Tahun NU”.
Disertai ilustrasi kaca spion dalam mobil mencerminkan ladang hijau nan indah, sedangkan di hadapan justru terlihat gurun pasir antah berantah, ilustrator kompas seakan mencoba mendefinisikan opini renyah namun mendalam dari Gus Sholah tersebut.
Gus Sholah, di muka opininya mencoba membagi aspek-aspek dalam tubuh NU yang akan dirinya refleksikan. Setidaknya ada 4 aspek: ajaran, ulama dan pesantren, warga, serta organisasi. Dalam setiap aspek tersebut, Gus Sholah menngulik secara mendalam, kemudian dikontekstualisasikan dengan isu NU. Hingga akhirnya ada beberapa rekomendasi yang Gus Sholah tawarkan.
Ajaran
Di sub ini, dalam opininya, Gus Sholah pertama menjelaskan dengan terperinci mengenai ajaran yang dipegang teguh oleh NU, yakni Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah (Aswaja).”Istilah Aswaja dipakai oleh banyak kalangan Islam. Untuk memberi kekhususan, diberi ciri-ciri an-Nahdliyah,” tulisnya.
Gus Sholah kemudian menerangkan genealogi ajaran Aswaja an-Nahdliyah dari berbagai bidang. Mulai dari sumber, pelopor paham Aswaja di bidang Akidah, Fikih, dan Tasawuf, hingga empat prinsip Aswaja dalam sikap kemasyarakatan: tawassut (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), serta amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Namun tak lupa, ada beberapa rekomendasi yang dicanangkan Gus Sholah. Dalam aspek Ajaran, Gus Sholah mengangkat dua konsep menarik, yakni Politik ala Aswaja an-Nahdliyah dan Pemikiran Ekonomi Islam Aswaja. Dua ide berharga dari Gus Sholah ini harusnya dapat menjadi bahan rumusan menarik terkait Aswaja an-Nahdliyah kini.
Ulama dan Pesantren
Dalam rubrik ini, Gus Sholah melakukan historiografi korelatif NU dengan Pesantren terlebih dahulu. “Organisasi NU didirikan pada ulama dan disebarkan oleh santri di ribuan pesantren. NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil,” tulisnya.
Kemudian Gus Sholah menyampaikan betapa pesatnya perkembangan pesantren hari ini. Saat Gus Sholah menulis, dirinya mencatat ada 28.000 pesantren sejagad nusantara, sangat jomplang jika dibandingkan jumlah pesantren pada tahun 1999 yang hanya tercatat sebanyak 10.000 pesantren. Kata Gus Sholah, “Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara, memberikan sumbangsih besar dalam upaya mencerdaskan bangsa memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Namun, perhatian pemerintah belum sebanding dengan peran pesantren.”
Sebab keresahan tersebut, Gus Sholah mengusulkan dibentuknya Direktorat Jenderal Pesantren. Jika mengaca pada hari ini, usulan Gus Sholah itu memang telah diperjuangkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Sayangnya, kabar terbaru tertanggal 05 Januari 2025, dalam website resminya, Kemenag masih dalam tahap “mempersiapkan”.
Warga
Warga NU juga tidak lupa dari refleksi yang dilakukan Gus Sholah. Ia dengan tegas mengatakan bahwa membludaknya kuantitas warga NU bukanlah sebuah prestasi bagi NU sendiri. Fakta banyaknya warga NU ini tetap saja tidak menguatkan peran politik NU. Namun, jika saja ternyata politik NU menguat karena warga yang terlampau banyak, apakah bisa menjadi prestasi?.
Menurut Gus Sholah, tidak. Justru, dengan jumlah warga NU yang berjuta-juta itu, yang harus menjadi perhatian bersama adalah ranah pendidikan. Penataan ruang-ruang pendidikan milik NU harus dikelola sedemikian mungkin.
Gus Sholah bilang, “Jusuf Kalla pernah mengatakan, Muhammadiyah adalah holding company, NU lebih mirip franchise“. Itu merupakan stimulus dari Gus Sholah agar daya kelola NU dalam bidang pendidikan segera ditingkatkan.
Organisasi NU
Refleksi untuk aspek ini, Gus Sholah memaparkannya cukup panjang, hingga kronologis. Bagaimana dinamika arah jalannya organisasi NU dari awal dibentuk pada 1926, kemudian beralihnya NU menjadi Partai NU di akhir April 1952, Gus Sholah jelaskan perubahan-perubahan itu dengan gamblang, serta dibumbui pengalaman-pengalaman dirinya dengan KH Ahmad Wahid Hasyim saat bertugas di NU dahulu.
Di akhir opininya, Gus Sholah lebih banyak menuliskan beberapa kritik membangun untuk tubuh NU, seperti kerancuan pemimpin NU yang seakan ada dua matahari dalam satu tubuh organisasi (Antara Rois Aam dan Ketua Umum), mengkritisi pernyataan bahwa NU adalah Ashabul Qoror (Pemilik Kebijakan) sekaligus Ashabul Haqq (Pemilik Kebenaran), serta politik praktis yang dilakukan beberapa tokoh NU.
Dalam hal ini, Gus Sholah mengajak untuk kembali ke Khitah, di mana NU tidak masuk pada domain politik praktis, serta tetap di porsinya sebagai masyarakat madani. “NU sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis dan tetap berada di wilayah masyarakat madani. Sikap istikamah dan konsisten bergiat membuat NU bermartabat dan efektif menjadi jangkar bangsa Indonesia,” tutupnya
Semoga ulasan dari tulisan terakhir Gus Sholah di Harian Kompas ini bermanfaat untuk para pembaca. Di masa-masa akhir hayatnya, Gus Sholah masih saja sangat peduli dengan nasib umat. Jasa-jasa dari pengasuh Pesantren Tebuireng ke-7 ini akan selalu dikenang oleh bangsa se-tanah air. Untuk Gus Sholah, Al-Fatihah.
Penulis: Syifa’ Q
Editor: Thowiroh
Baca juga: Strategi Gus Sholah dalam Mengembangkan Pesantren Tebuireng