Dalam sejarah dunia, penghapusan tokoh dalam sejarah suatu bangsa memiliki banyak makna yang tersirat. Makna itu sangat terikat dengan tujuan mengapa sang tokoh sengaja dihapuskan dalam cacatan sejarah. Setidaknya ada dua pola penghapusan nama tokoh dalam sejarah manusia.
Pola pertama bisa dilihat dalam ajaran tasawuf dikenal sebuah konsep khumul sebagai padanan penghapusan jejak seorang sufi. Bahwa seorang sufi (dalam golongan tertentu) akan lebih memilih menghapus namanya sendiri dari sejarah dunia, dengan alasan ingin menyembunyikan jati dirinya agar tidak dikenal oleh manusia. Dan lebih memilih untuk lebih dikenal oleh penduduk langit karena ketaqwaannya yang matang. Dalam kitab al-Hikam, Ibn ‘Athaillah al-Sakandari menjelaskan:
”اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِى أَرْضِ الخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمُّ نِتَاجُهُ”
Artinya: Benamkanlah wujudmu dalam ketidakterkenalan. Sebab, benih jika tidak ditanam, hasilnya tidak sempurna.
Di kalangan Nahdlatul Ulama, pola khumul ini bisa dilihat dari sosok Habib Hasyim bin Yahya Pekalongan, kakek Habib Luthfi bin Yahya. Habib Luthfi menuturkan sebagaimana cerita yang beliau terima dari Kiai Irfan Kertijayan, bahwa sebelum mendirikan NU, Kiai Hasyim Asy’ari meminta restu persetujuan kepada Habib Hasyim bin Yahya Pekalongan, selain juga meminta restu kepada Syaikhana Khalil Bangkalan. Setelah Habib Hasyim bin Yahya merestui berdirinya wadah Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau tidak berkenan namanya ditulis dalam sejarah berdirinya NU.
Atau seperti halnya Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang yang memiliki peran penting atas masuknya jam’iyah NU di tanah Batavia. Pada tahun 1928, selang dua tahun NU berdiri, Kiai Hasyim Asy’ari berkunjung ke kediaman Habib Ali Kwitang, dengan tujuan meminta diperkenankan NU dapat dibuka di Batavia. Habib Ali Kwitang pun mesertui berdirinya cabang NU di Batavia. Namun seperti halnya Habib Hasyim bin Yahya Pekalongan, Habib Ali Kwitang juga tidak berkenan namanya masuk dalam struktur pimpinan NU, karena saran gurunya, Sayyid Utsman bin Yahya, salah satu ulama terkemuka di Batavia. Padahal Habib Ali Kwitang sebenarnya memiliki peran penting dalam berkembangnya NU di Batavia. Para warga Batavia baru berbondong-bondong masuk menjadi warga NU setelah Habib Ali Kwitang memproklamirkan dirinya sebagai warga Nahdliyyin di tahun 1933. Padahal setelah berjalan lima tahunan, NU di Batavia tidak banyak diminati warga Batavia. Penghapusan nama dalam pola pertama ini jelas secara sengaja dilakukan oleh pihak pertama, atau pribadi tokoh yang memang penginginkan dirinya tidak dikenal.
Pola kedua, bisa dilihat dalam sejarah suatu negara, seringkali alasan yang digunakan karena sang tokoh memiliki sisi negatif, sehingga tokoh tersebut sengaja dihapuskan dalam sejarah dengan tujuan menjaga marwah dan martabat suatu bangsa. Sebagaimana yang terjadi pada Grigoriy Nelyubov, salah satu anggota kosmonot (astronot) pertama Uni Soviet. Pada awal karirnya, ia disanjung oleh bangsa Uni Soviet karena kelebihannya di dunia antariksa. Ia menjalankan misi Rusia ke luar angkasa dalam proyek yang dinamai Vostok di tahun 1960-1961. Proyek Vostok ini dibuat sebagai tandingan Proyek Mercury milik Amerika Serikat. Dia menjadi bagian tim, sebelum akhirnya dikeluarkan dari tim program luar angkasa Soviet karena memiliki masalah kecanduan alkohol akibat tidak tahan dengan masalah keluarga. Tahun 1966 Nelyubov akhirnya tewas bunuh diri, tertabrak pada kereta api. Dalam perkambangannya, nama Grigoriy Nelyubov dihapus dari tim kosmonot awal Uni Soviet, foto-fotonya dalam misi luar angkasa pun itu dihapus.
Uni Soviet lantas lebih mengorbitkan nama kosmonot lain, Yuri Gagarin rekan Neluobov dalam pyoyek yang sama. Selain mendapatkan penghargaan dari Uni Soviet, ia juga dianugerahi berbagai penghargaan dan medali dari dunia International. Presiden Sukarno pun juga turut memberikan penghargaan saat beliau berkunjung ke Uni Soviet tahun 1961. Oleh Bung Karno, Yuri Gagarin dianugerahi Bintang Mahaputra.
Begitu pula penghapusan nama Bo Gu (Qin Bangxian), seorang senior dan salah satu pendiri partai komunis di China pada masa Mao Zedong yang memiliki peran penting dalam pemerintahan. Karena kesalahan taktik militer dalam menghadapi pemberontak, ia dipecat dari kedudukannya. Setelah kecelakaan pesawat yang dialaminya di tahun 1946, nama Bo Gu mulai dihapus dari catatan sejarah China. Alasannya ia dianggap terlalu lemah dalam menghadapi pemberontak, yang dikhawatirkan akan memberi kesan lemah pada pemerintahan Mao Zedong. Penghapusan nama dalam pola kedua ini dilakukan oleh pihak kedua, bukan pribadi tokoh yang dihapuskan namanya.
Dalam kasus penghapusan sejarah Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sepertinya tidak tepat jika disamakan dengan pola pertama (khumul), karena penghapusan nama bukan berangkat dari pihak pertama, atau pribadi Hadratussyaikh. Namun jika disamakan dengan pola kedua, rasanya juga tidak tepat, karena meski dilakukan oleh pihak lain, tujuan penghapusan Hadratussyaikh dalam kamus sejarah Indonesia bukanlah karena sisi negatif sang tokoh yang ingin ditutupi untuk menjaga martabat negara Indonesia. Maka sebenarnya, penghapusan sejarah Hadratussyaikh bisa dibilang karena kelalaian, kebocoran draft naskah, atau kesalahan yang tidak disengaja. Sehingga bangsa ini sudah selayaknya menuntut klarifikasi dan permohonan maaf kepada pihak yang terkait, dalam hal ini adalah Dirjen Kebudayaan yang berada di bawah Kemendikbud.
Klarifikasi dan Permohonan Maaf Mendikbud
Apresiasi patutlah diberikan kepada Mendikbud Nadiem Makarim karena telah mengeluarkan klarifikasi dan permohonan maaf dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid yang telah menarik soft copy kamus sejarah itu dari situs web. Bahkan sang Menteri telah berkunjung ke PBNU untuk menyampaikan permohonan maaf dan berjanji akan melakukan perbaikan pada kamus sejarah Indonesia itu. Lantas pertanyaannya apakah permohonan maaf kepada PBNU telah benar-benar mewakili permohonan maaf kepada Hadratussyaikh?. Mengingat banyak pihak yang merasa memiliki sang maha guru tersebut, tidak hanya PBNU.\
Baca juga : Seandainya Saya Menjadi Nadiem Makarim
Jika melihat pada konsep permohonan maaf kepada orang yang sudah meninggal dalam khazanah fikih, maka Imam Nawawi dalam al-Adzkar mengatakan:
فإن كان صاحب الغيبة ميتاً أو غائباً ، فقد تعذر تحصيل البراءة منها ، لكن قال العلماء : ينبغي أن يكثر الاستغفار له ، والدعاء ، ويكثر من الحسنات
Artinya: Apabila orang yang pernah digosipi itu mati atau tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak bisa meminta maaf padanya, maka ulama berpendapat: Hendaknya penggosip memperbanyak istighfar padanya, mendoakannya, dan memperbanyak berbuat kebaikan.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa kunjungan Mendikbud ke PBNU belumlah cukup, karena meski kaum Nahdliyyin merasa dirugikan atas kasus ini, namun PBNU tidak dapat mewakili pribadi Hadratussyaikh. Alangkah indahnya bila Mendikbud juga berkunjung ke makam Hadratussyaikh untuk memohonkan pengampunan kepada Allah bagi Hadratussyaikh, mendoakan kebaikan bagi almarhum, dan mengingat-ingat jejak kebaikan almarhum dan kiprah perjuangannya, sehingga bangsa ini juga turut mengetahui betapa penting peran Hadratussyaikh dalam perjuangan kemerdekaan Indoensia. Inilah cara yang sebenarnya diajarkan Islam kepada kita. Hal ini bisa dilakukan dengan cara berkunjung ke Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari yang terletak tidak jauh dari makam. Setali tiga uang, Mendikbud dapat bertemu para keluarga Hadratussyaikh di Pesantren Tebuireng, yang statusnya sebagai ahli waris sang pahlawan nasional tersebut. Hal itu akan menjadi pemandangan yang sangat indah di mata bangsa ini.
Apa hikmah dari kasus ini?, sejarah Hadratussyaikh selamanya tidak akan terlewatkan lagi, dan selalu akan dimuat dalam kamus sejarah Indoensia. Karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang akan selalu menghargai sejarahnya. karena untuk melihat masa depan diperlukan mengingat masa lalu sebagai pertimbangan. Dengan pertimbangan yang salah, maka keputusan yang diambil untuk masa depan pun ikut salah. Adegium Arab mengatakan “man la tarikha lahu, la hadlira wa la mustaqbala lahu”. Bangsa yang tidak mempunyai sejarah, maka tidak akan punya masa kini dan masa depan. Wallahu A’lam.
Penulis: Mohamad Anang Firdaus