tebuireng.co – Masih dalam suasana semarak peringatan hari kemerdekaan Indonesia, ‘kebinekaan’ juga pantas kita rayakan. Kebinekaaan adalah keanekaragaman, beragam, bermacam-macam. Kebinekaan merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri. Termasuk sejarah panjang terbentuknya Republik Indonesia ini.
Jika ditarik jauh kebelakang sejarah Indonesia, tepatnya pada masa perjuangan kemerdekaan, Indoenesia tidak bisa terhindar dari hal-hal kebinekaan. Kebinekan dalam hal memperjuangkan kemerdekaan sudah sering terjadi. Misalnya himpunan pemuda Indonesia yang terdiri dari Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, hingga ‘Jong’ yang lainnya setuju untuk menyatukan/mewujudkan kesatuan dalam keberagaman. Sehingga menghasilkan ‘Sumpah Pemuda’, bukti tekad persatuan pemuda Indonesia dalam keberagaman suku, bangsa, hingga agama untuk menyatukan kekuatan melawan hingga menentang para penjajah.
Tidak hanya berhenti di ‘Summpah Pemuda’ saja, keragaman perbedaan juga sempat terjadi pada hari-hari sebelum di proklamasi-kan kemerdekaan Indonesia. Saat itu para golongan muda menginginkan proklamasi kemerdekaan segera diumumkan (saat Jepang menyerah kepada sekutu). Namun keinginan golongan muda itu dianggap terlalu tergesa-gesa oleh golongan tua. Golongan tua menginginkan proklamasi dilaksanakan dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa. Hingga terjadilah Peristiwa Rengasdengklok, yaitu penculikan terhadap golongan tua (Bung Karno dan Bung Hatta) yaitu upaya golongan muda untuk mendesak golongan tua segera mem-proklamasi-kan kemerdekaan Indonesia. Ternyata saat itu Bung Karno telah menyusun rencana ‘itu’. Dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 yang dianggapnya ‘sakral’. Sehingga antara golongan muda-tua segera menyiapkan persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Peristiwa Rengasdengklok dan Proklamasi
Apabila kebinekaan coba dilihat dari sudut pandang keislaman, dijelaskan oleh Emha Ainun Najib atau yang biasa disapa Cak Nun, bahwa dalam beragama saja tak bisa dibayangkan jika dari zaman nabi hingga sekarang hanya ada satu pendapat yang dianut dan tidak boleh berubah. Misalnya hanya segelintir orang yang bisa membaca Al-Quran – penulisannya saat itu tanpa titik dan harakah (tanda baca), dan baru pada masa Dinasti Umayyah dituliskan seperti sekarang ini. Termasuk perbedaan dalam masalah fiqih, betapa sulit menjalankan syariat pada zaman yang sudah jauh berbeda dari zaman nabi. Maka benarlah ‘Perbedaan adalah rahmat.’ Rahmat yang memperbaiki, rahmat yang secara umum melahirkan peningkatan perbedaan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kebinekaan atau perbedaan tidak cukup dianggap sebagai kewajaran, namun perbedaan seharusnya bisa kita rayakan. Ada benarnya salah satu ngendikane Gus Dur, “Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal.” Sulit dibayangkan apabila manusia diharuskan seragam, dalam hal berpikir maupun berpendapat. Bisa dipastikan hidup akan jumud, mandek. Hingga mustahil manusia berhasil meraih ‘kearifan’.
Ikhsan/Tebuireng Initiatives