“Jika ada hal mengusikmu, bertanyalah. Sebab, dari pertanyaan akan lahir pengetahuan. Namun, terus bertanya tanpa berbuat apa-apa, itu sia-sia. Jadi, lebih baik setelah bertanya, berbuatlah. Itu jauh lebih berguna untuk semua.” Inilah argumen KH Salahuddin Wahid yang tertulis pada buku “Berpikir, Bertanya, Berkarya untuk Indonesia” yang juga dibukukan dalam buku Penghargaan Kompas: Cendekiawan Berdedikasi 2008-2016.
Suatu waktu, Gus Sholah (sapaan akrab KH Salahuddin Wahid) pernah ditanya, yakni bagaimana mungkin Indonesia, negeri yang begitu kaya sumber daya, tapi tidak bisa memanfaatkannya? Justru Bank Dunia menyebut 50% dari 230-an juta warga Indonesia masuk kategori miskin. Dan bagaimana pula dari negeri yang kaya jutaan warganya harus bergantung hidup ke negara lain yang lebih kecil dan tidak dianugerahi sumber daya melimpah seperti Indonesia? Gus Sholah menjawab, “Saya tidak tahu jawabannya. Ya hanya pertanyaan demi pertanyaan tentang Indonesia saja.”
Ternyata, ini merupakan salah satu pertanyaan yang terus bergelayut di benak Gus Sholah. Namun, karena ia tidak mengetahui jawabannya, maka pertanyaan ini selalu dibaginya kepada siapapun yang diajaknya berbicara, mungkin ada yang mampu menjawabnya. Meski begitu, daripada hanya bertanya dan tidak berbuat apa-apa tentang hal yang mengusiknya, Gus Sholah lebih memilih mengerjakan apa yang ia bisa, seperti berkiprah di dunia pendidikan yang baginya ini adalah sebuah pilar.
Benar, apabila kita tidak tahu jawaban mengenai suatu pertanyaan, baiknya tetap berkarya -mengerjakan apa yang dikuasainya-. Namun, apabila kita tidak tahu jawabannya, atau karena mungkin di luar kapasitas kita, maka tidak ada salahnya untuk bertanya dan didiskusikan bersama.
Diawali dengan Berpikir
Tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; menimbang-nimbang dalam ingatan. Bahkan, dalam Al-Qur an pun disebutkan afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu?), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir?), afala yatadabbarun (apakah kamu tidak merenung?). Bahwasanya, manusia dikaruniai akal dan kecerdasan untuk sebaik-baiknya berpikir.
Dalam hal berpikir -diskusi guna menjawab sebuah pertanyaan- pun tentunya akan menimbulkan sebuah perbedaan pendapat. Dalam hal ini, Gus Sholah berpesan bahwa harusnya kita juga saling menghargai dalam perbedaan pendapat, bahkan bertentangan pendapat. Salah satunya seperti yang telah dicontohkan oleh Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan yang intinya adalah meyakini bahwa pendapatnya benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat (ulama) lain salah, tetapi kemungkinan benar.
Dilanjut dengan Berkarya
Dalam “Berpikir, Bertanya, Berkarya untuk Indonesia” dapat diketahui bahwa faktor yang cukup besar adalah dalam hal berkarya, output-nya. Memang, sebelum mendapat output karya (hasil), tentunya butuh berpikir, bahkan bertanya. Namun, berlarut-larut dalam dua hal ini, kapan berkaryanya? Hal ini pun terkadang berlaku pada para pelajar, bahkan mahasiswa. Waktu berjam-jam dengan secangkir kopi telah mereka habiskan guna mendiskusikan tentang apa yang mereka keluhkan. Kadang pun tidak jelas arahnya ke mana. Alangkah baiknya apabila hal itu ia gunakan untuk hal yang lebih bermanfaat. Semisal, mahasiswa teknik yang berdiskusi-pembagian tugas mengenai sebuah project yang sesuai dengan kapasitas dan pendidikannya, karena ini lebih mengarah pada penerapan, berkarya. Lebih jelas output-nya. Hal ini juga menjadi salah satu scope kecil dari “Berpikir, Bertanya, Berkarya untuk Indonesia”.
“…berbuatlah. Itu jauh lebih berguna untuk semua.” Berbuat, mengerjakan sesuatu, berkarya. Hal ini tentunya merupakan upaya dari hasil dua kata di atas, yakni berpikir dan bertanya. Hal ini juga wujud nyata dari berpikir dan bertanya. Sebab, dalam berbuat, orang lain pun turut merasakan dampak positifnya. Lebih berguna daripada hanya berlarut-larut dalam berpikir, apalagi hanya banyak bertanya.
Baca Juga: Suksesnya Bonus Demografi Indonesia Berada di Pundak Siapa?