Sah dan makbul (diterima) merupakan dua komponen penting yang harus diperhatikan dalam beribadah. Keduanya merupakan hal yang berbeda dan harus dipenuhi ketika melaksanakan ibadah.
Dalam islam, terdapat syariat yang mengatur kaifiyah atau tata cara dalam setiap ibadah agar ibadah yang dilakukan sah secara hukum juga makbul (diterima) disisi Allah. Sehingga, untuk mendapatkan predikat sah dan makbul harus mengikuti tata cara sebagaimana yang telah diatur oleh syariat.
Meski demikian, keabsahan suatu ibadah lebih banyak dibahas oleh ulama fikh karena hal tersebut selalu terikat dengan aturan yang jelas seperti pelaksanaan syarat, rukun serta kewajiban yang harus dipenuhi.
Berbeda dengan makbul yang lebih sering dibahas oleh para ulama tasawuf. Sebab meskipun terdapat tata cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan predikat makbul akan tetapi, makbulnya ibadah yang dilakukan selalu bersifat abstrak dan hanya diketahui oleh Allah.
Ibadah yang sah secara hukum belum tentu makbul disisi Allah. Oleh karena itu makbulnya ibadah menjadi hal yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, bahwa memperhatikan makbul (diterimanya) amal ibadah adalah lebih penting daripada memperhatikan amal ibadah itu sendiri.
Sebab, kebanyakan dari umat muslim seringkali hanya memperhatikan jenis amal ibadah yang hendak di lakukan dengan tujuan mendapatkan pahala yang besar. Padahal, di sisi Allah SWT tidak ada amal ibadah yang bernilai sedikit atau kecil bilamana amal ibadah tersebut diterima oleh-Nya.
Amal ataupun ibadah kecil yang diterima akan berubah menjadi sangat agung disisi Allah. Sebaliknya, amal ibadah yang besar sekalipun akan menjadi sia-sia dan tidak berpahala apabila tidak diterima oleh Allah SWT.
Meski predikat makbul dalam melaksanakan amal ibadah menjadi rahasia Allah, akan tetapi terdapat ciri-ciri yang bisa menggambarkan apakah ibadah yang dilakukan makbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Seperti yang dijelaskan dalam kitab Lathoiful Ma’arif karya Imam Ibn Rajab Al-Hanbali:
ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعدها بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة وعدم قبولها
Artinya: “Pahala atau balasan dari kebaikan adalah kebaikan setelahnya. Yaitu apabila seseorang beramal baik lalu setelahnya ia mudah dalam beramal baik lagi, maka hal tersebut adalah tanda bahwa amal baiknya yang pertama diterima oleh Allah. Dan apabila seseorang beramal baik, namun setelahnya masih beramal buruk, maka itu tanda bahwa amal baiknya ditolak atau tidak diterima.”
Dari keterangan diatas, bisa disimpulkan bahwa keabsahan suatu ibadah selalu terikat dengan aturan hukum syariat yang jelas. Sehingga untuk mendapatkan predikat sah harus memperhatikan betul tata cara ibadah dengan memenuhi syarat, rukun dan kewajibannya.
Berbeda dengan makbul yang hanya diketahui oleh Allah. Meski juga terdapat ciri-ciri tertentu yang bisa diperhatikan untuk menggambarkan apakah ibadah yang dilakukan termasuk kategori makbul (diterima).
Baca juga: Macam-macam Najis dan Cara Menyucikannya