tebuireng.co– Jomblo itu pilihan. Namun, memilih jomblo seumur hidup adalah pilihan yang gila. Ia tak mungkin ditempuh oleh orang-orang biasa. Buku ini menghadirkan potret kehidupan ulama besar yang sedemikian asik menggumuli ilmu pengetahuan hingga akhirnya tak sempat barang sehari saja dalam ke hidupannya, mengucap kalimat akad.
Bagi orang-orang semacam ini, jomblo bukan lagi sebuah pilihan melainkan naik level menjadi sebuah ideologi. Yunus bin Habib Al-Basri hidup selama 88 tahun tidak menikah dan tidak menikah sirri. Begitu pula dengan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Abu Ali AlFarisi, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ali bin Yusuf As-Syaibani dan Hannad bin As-Sari adalah di antara para ulama besar yang menghabiskan seluruh umurnya untuk menuntut ilmu dan memilih untuk menjomblo dalam hal agama juga menjomblo secara ideologi.
Menikah atau memiliki pasangan hidup merupakan sesuatu yang dinantikan oleh setiap manusia baik perempuan maupun pria. Selain menjadi Syariah dan sunnah Nabi Muhammad Saw, menikah juga menjadi sesuatu yang tentu banyak manfaat bagi kita. Selain menambah generasi selanjutnya menikah juga bisa menjauhkan kita dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Menikah sudah terjadi sejak masa Nabi Adam as hingga saat ini. Di Indonesia sendiri menikah menjadi tradisi yang dikombinasikan dengan berbagai budaya daerah yang membuat pernikahan menjadi hal yang unik, asik, dan dinantikan.
Menurut data yang dilansir badan demografi pada tahun 2018, di kalangan muda-mudi, menikah atau memiliki pasangan menjadi target pada usia 20-24 tahun bagi perempuan dan bagi laki-laki di usia 25-27 tahun. Dengan adanya syariat, sunnah Nabi Muhammad, dan tradisi yang ada di Indonesia maka para pemuda-pemudi akan dihinggapi momok menyeramkan jika tidak menikah atau tidak memiliki pasangan hidup saat memasuki hitungan usia tersebut. Pertanyaan “kapan menikah?” akan terus diterima oleh telinga sepanjang hidup.
Baca juga: Pertanyaan Seram, Kapan Nikah?
Kejombloan Para Ulama Besar
Para ulama itu memandang pernikahan terlepas dari kebaikan dan keutamaannya sebagai sebab yang sangat menyibukan untuk meraih tujuan mulia dan luhur. Ini merupakan ijtihad para ulama jomblo seumur hidup, bahwa meraup ilmu lebih mulia bagi mereka, dan lebih utama sebagai jalan untuk menggapai ridha Allah Swt. (hal. 21)
Menjadi ulama bukan hal yang ringan dan mudah. Perlu waktu puluhan tahun untuk menuntut ilmu ke berbagai negara-negara yang di situ terdapat majlis ilmu, selain waktu tentu para penuntut ilmu membutuhkan ketenangan dan jauh dari aktivitas duniawi.
Imam Abu Hamid al Ghazali rahimahullah telah memaparkan pembahasan memilih hidup jomblo ketimbang nikah dalam kitab Ihya Ulumiddin, 2;21, permulaan Kitabun Nikah. Beliau merincikan dengan jelas dan melansirkan ayat, Hadis dan atsar yang mendorong pernikahan. Lalu beliau juga menjelaskan malapetakanya.
Imam Ghazali menyebutkan tiga petaka pernikahan. Pertama, tidak mampu memperoleh harta yang halal untuk kebutuhan hidupnya. Kedua, kelengahan dalam memenuhi hak-hak istri, sabar atas akhlaknya, dan menanggung gangguannya.
Petaka yang ketiga, keluarga dan anak-anaknya akan lebih banyak menyibukan dirinya dari Allah Swt. Menarik dirinya untuk lebih mencari duniawi, mengelola penghasilan dengan baik untuk anak-anaknya dengan cara menumpuk harta, menimbunnya untuk mereka, serta mencari kemegahan dan kuantitas untuk mereka.
Ungkapan manis yang ditunjukkan untuk pernikahan sebagai belenggu dan tanggung jawab yang membebani dari untaian orang-orang bijak:
إن ذئبا أمسكوه # وتماروا في عقابه
قال شيخ: زوجوه # ودعوه في عذابه
Sesunggungnya serigala-serigala telah menangkapnya
Dan mereka membantah akan menyiksanya
Seseorang syekh berkata, ”Nikahkan dia,
Dan biarkan dia dalam azabnya”.
Tidak diragukan lagi bahwa pernikahan menjadi tanggung jawab besar yang akan mangalihkan seseorang baik secara materiil maupun non-materil.
Proses keilmuan banyak terputus oleh pernikahan, dan bahkan memutuskan dari ilmu itu sendiri. Sebagaimana yang telah disaksikan oleh para ulama yang cerdas. Oleh kerenanya, sebagian dari mereka memilih hidup jomblo.
Alangkan banyak orang bodoh yang menguasai daulah (negara), dan alangkah banyak orang cerdas yang binasa karena satu pelukan. Betapa banyak orang mulia yang dikendalikan orang bodoh, betapa banyak orang yang berakhlak mulia di sisinya dicaci maki.
Kalian yang masih menjomblo tidak perlu risau dan khawatir untuk mencari alasan bila ada yang bertanya kapan menikah, banyak alternatif jawaban kejombloan di buku ini. Dan yang ingin benar-benar membujang hingga akhir hayat, tenang saja, anda tak sendirian. (MT)
Identitas Buku