• Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik
Tebuireng Initiatives
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
No Result
View All Result
Tebuireng Initiatives
No Result
View All Result
  • Home
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Politik
Tebuireng Initiatives

Memahami Hadis Maiyuridillahubihi Khairan

Syarif Abdurrahman by Syarif Abdurrahman
2022-07-12
in Al-Qur'an, Hadits, Keislaman
0
Memahami Hadis Maiyuridillahubihi Khairan

Memahami Hadis Maiyuridillahubihi Khairan

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Untuk memahami Hadis Maiyuridillahubihi Khairan, Kiai Achmad Ishomuddin membahas tentang hadis “Maiyuridillahubihi Khairan” ini. Menurut Rais Syuriah PBNU ini menerjemahkan suatu hadis apalagi ayat al-Qur’an, ternyata tidaklah sederhana dan mudah.

Untuk memahami dan menerjemahkan suatu hadis, apalagi ayat al-Qur’an, ternyata tidaklah sederhana dan mudah, sesederhana alam pikiran kalangan awam yang otodidak belajar agama dengan hanya membaca buku-buku terjemah al-Qur’an dan al-hadits. Berbeda dengan para santri di banyak pondok pesantren yang belajar agama secara langsung di bawah bimbingan para kiai (ulama) yang menguasai referensi kitab-kitab kuning berbahasa Arab tanpa tanda baca itu.

Sebagai sekadar contoh, untuk memahami sabda Rasulullah di bawah ini:

من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين

Teks hadis tersebut adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Para santri berdasarkan analisis kebahasaannya yang pelik mampu memahami, bahkan lengkap dengan alasan dan argumentasinya, bahwa kata “man (من)” adalah “syartiyyah (شرطية)”, sedangkankan kata “yurid (يرد)” adalah “fi’il al-syarth (فعل الشرط)” dengan membaca dhammah huruf yang memiliki dua titik di bawah (بضم المثناة التحتية), yakni huruf “ya’ ( الياء)” , dan membaca kasrah huruf “ra (الراء)” dari kata al-iradah (الإرادة).

Kata “khairan (خيرا)” dalam redaksi hadis di atas adalah kata berbentuk nakirah dalam rangkaian syarat (نكرة في سياق الشرط), sehingga lebih bermakna umum. Diksi berbentuk nakirah tersebut yang dipakai dalam redaksi hadis di atas untuk makna mengagungkan, sehingga maknanya adalah “khairan ‘adziman aw kamilan (خيرا عظيما أو كاملا)” yakni, kebaikan yang agung atau sempurna, sehingga tidak menunjukkan atas tiadanya sifat baik pada selainnya.

Hadis tersebut memberikan kabar gembira yang agung kepada al-mutafaqqih (orang yang belajar memahami agama), karena kehendak baik dari Allah untuk hamba-Nya itu nyata khusus untuknya atas upaya maksimalnya dalam memahami agama.

Para santri juga memahami, bahwa kata “yufaqqihhu (يفقهه)” dalam hadits di atas dibaca jazm sebagai jawab al-syarth (بالجزم جواب الشرط) yang maksudnya bahwa orang yang belajar memahami agama itu maka akan dijadikan sebagai orang yang mampu memahami ajaran agamanya (أي يجعله فقيها).

Adapun redaksi fid-din (في الدين) artinya dalam agama, yakni ushul (pokok-pokok)nya dan furu’ (cabang-cabangnya), sehingga mencakup ‘ilm al-‘aqaid dan ‘ilm al-fiqh.

Jadi, terjemahan redaksi hadis di atas dalam Bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut,
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang kebaikannya agung atau sempurna, maka ia dijadikan (oleh Allah) sebagai orang yang memahami (pokok-pokok) agama (dan cabang-cabangnya)”.

Oleh karena itu, sungguh jauh perbedaan antara kalangan santri yang mendalam ilmu agamanya, lebih-lebih para ulama dalam artian yang sesungguhnya, bila dibandingkan dengan kalangan awam yang belajar agama secara otodidak dengan cara membaca buku-buku terjemah. Orang-orang awam yang sering sangat bersemangat dalam beragama, namun minim ilmu agama itu, kini anehnya sering merasa lebih paham agama dan suka merendahkan derajat para kiai, atau alim-ulama.

Oleh: Kiai Achmad Ishomuddin

Baca Juga: Penerjemahan Kitab Kuning Pesantren

Previous Post

Ismail atau Ishak yang Disembelih Dalam Kurban?

Next Post

Pendapat Gus Baha ketika Kiai Cabuli Santriwati

Syarif Abdurrahman

Syarif Abdurrahman

Santri Pondok Pesantren Tebuireng.

Next Post
Gus Baha dan baju putih

Pendapat Gus Baha ketika Kiai Cabuli Santriwati

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No Result
View All Result

Pos-pos Terbaru

  • Etika Bertetangga dalam Hadis Nabi
  • Kemenag Resmi Memulai MQKN ke-8 dengan Tahapan Seleksi Via CBT Berbasis Kitab Kuning
  • Qailulah, Rahasia Tidur Siang Ala Nabi
  • Tafsir Surah Qaf Ayat 18: Pentingnya Menjaga Lisan
  • Dhau’ Al-Mishbah fi Bayani Ahkam An-Nikah, Panduan Pernikahan Karya Kiai Hasyim

Komentar Terbaru

  • Yayat.hendrayana pada Surat Yasin dan Amalan Segala Hajat
  • Universitas Islam Sultan Agung pada Pentingnya Bahtsul Masail sebagai Ruh Pesantren
  • Thowiroh pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Dodi Sobari pada Dauroh Badlan Al-Masruriyy Cetak Santri Bisa Bahasa Arab 2 Bulan
  • Tri Setyowati pada Ijazah Wirid dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah
  • About
  • Kontak
  • Privacy & Policy
  • Terms and Conditions
  • Disclaimer
  • Redaksi
  • Pedoman Media

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng

No Result
View All Result
  • Tebuireng
  • News
  • Keislaman
  • Pesantren
  • Kebangsaan
  • Galeri
  • Kolom Pakar
  • Politik

© 2021 Tebuireng Initiatives - Berkarya Untuk Bangsa by Tebuireng