Membahas mengenai kesalehan ekologis sebenarnya sudah banyak kalangan yang memulainya. Namun, terkadang kita masih bingung, harus dimulai dari mana dan caranya seperti apa? Kesalehan ekologis sebenarnya ada banyak bentuknya; mencegah untuk tidak mengotori lingkungan, tidak merusak alam, hingga mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup umat manusia.
Namun, yang akan saya tulis saat ini berfokus pada untuk tidak mengotori lingkungan. Mengotori lingkungan salah satu faktor utamanya adalah membuang sampah, bahkan sembarangan, tapi bisa dikerucutkan dengan “nyampah”.
Di Indonesia sendiri, apabila kita melihat data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), data pada tahun 2023 jumlah timbulan sampah di Indonesia sebanyak 28 juta ton, tapi ada penurunan 7 juta ton daripada tahun 2022, yakni dari sebanyak 35 juta ton timbulan sampah. Tentu, pasti tahu sendiri kemungkinan jumlah timbulan sampah yang dihasilkan tiap harinya.
Mungkin tidak sedikit orang yang berharap agar bumi kita ini kedepannya masih layak huni dan mampu menopang kesejahteraan hidup hingga generasi-generasi selanjutnya, terutama cucu-cucu kita kelak. Pada film Wall-E, setidaknya kita punya sedikit gambaran apabila bumi tidak dirawat, tidak dihindarkan dari sampah, maka jadinya akan seperti apa kedepannya?
Dengan melihat perbandingan perolehan data di atas, setidaknya ada sebuah harapan untuk dapat mengurangi sampah. Tentu, kita pasti sudah tahu dan paham dengan istilah 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Jika kita istiqomah menerapkannya, kemungkinan bumi masih tetap terjaga dari sampah. Setidaknya masih dapat mengurangi.
Salah satu cara mewariskan kesalehan ekologis bagi generasi masa depan ini pun juga sudah dimulai, yakni melalui Bank Sampah Tebuireng (BST). Seperti pada kegiatan edukasi pengelolaan sampah pada awal Juli 2024 lalu oleh para siswa MTs Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng dan disusul dengan unit pendidikan lain di lingkup Pesantren Tebuireng di momen-momen berikutnya. Para siswa yang berkunjung sudah dibekali cara merawat lingkungan, salah satunya dengan bagaimana cara mengelola sampah. Sudah ada bimbingan mengenai cara 3R hingga edukasi tentang bahayanya apabila kita mengabaikan sampah. Para siswa yang teredukasi ini harapannya kedepan dapat menjadi contoh dan mengedukasi bagi orang-orang yang lain, minimal di lingkungan sekitarnya.
Selain itu, saya juga teringat dengan amal yang tak pernah terputus karena kematian; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orangtuanya. Jadi, setidaknya, semoga ilmu tentang kesalehan ekologis pun juga dapat diwariskan sebagai salah satu bentuk dari ilmu yang bermanfaat.
Mulai dari lingkup keluarga. Keluarga yang teredukasi dengan pentingnya menjaga lingkungan. Skala paling kecil, yakni melalui edukasi dari keluarga terhitung mudah, tapi bisa membawa dampak yang luas utamanya dalam mendukung kesejahteraan hidup bagi umat manusia di masa mendatang. Semisal, pada satu keluarga teredukasi untuk bagaimana mengurangi produksi sampah, contohnya: meminimalkan sisa makanan, penggunaan alat-alat makan/minum yang tidak sekali pakai, hingga dapat mengurangi sampah dengan cara guna ulang (reuse). Namun, bagaimana jika hampir seluruh masyarakat sudah teredukasi akan hal ini? Tentu, besar sekali dampak positifnya.
Banyak atau sedikitnya jumlah timbulan sampah juga bisa dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan data penurunan pertumbuhan jumlah penduduk pada 2022 (1,17%) daripada tahun 2021 (1,22%). Namun, jumlah timbulan sampah di Indonesia pada 2022 lebih banyak (35 juta ton) daripada 2021 (29 juta ton). Kita juga tidak bisa selalu mengandalkan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sebagai satu-satunya solusi pengelolaan sampah. Jika hanya mengandalkan TPA sebagai satu-satunya solusi, maka akan bertahan sampai berapa lama? Bahkan, sampah yang menumpuk di TPA berpotensi meledak dengan sendirinya karena dampak dari sistem open dumping yang menimbulkan gas rumah kaca.
Sistem open dumping juga dapat menyebabkan pencemaran lainnya, seperti pencemaran udara, polusi air karena lindi, hingga berkembangnya binatang perantara penyakit. Kita tidak bisa terus menerus hanya mengandalkan TPA sebagai satu-satunya solusi penanganan sampah. Belum lagi kebutuhan lahan kosong di masa mendatang akan terasa percuma jika hanya digunakan untuk perluasan TPA, kebutuhan perluasan yang tanpa didampingi dengan edukasi kesadaran terhadap lingkungan.
Setidaknya, kita sudah harus memulai kesadaran tentang kesalehan ekologis dari yang skala kecil, yakni lingkup keluarga. Harapannya, dari keturunan satu keluarga dapat mewariskan ilmu yang bermanfaat ini kepada keturunannya kelak. Juga semoga dengan mewariskannya, kita mendapat keutamaan dari poin kedua dalil di atas–ilmu yang bermanfaat–karena kita memberikan hal yang bermanfaat, juga semoga yang diberikan manfaat juga menularkannya kepada orang lain guna kebermanfaatan yang lebih luas.
Penulis: Ikhsan Nur Ramadhan, Tim Bank Sampah Tebuireng (BST)
Editor: Thowiroh
Baca juga: Merawat Lingkungan dalam Perspektif Hadis