tebuireng.co – Maulid Harus 12 Rabiul Awal? Ini pertanyaan dari beberapa teman Salafi. Salafi ini sering kali menebak-nebak sendiri terhadap amalan umat Islam, lalu prasangkanya itulah yang diberi hukum (Strawman Fallacy).
Misalnya Salafi selalu beranggapan bahwa Umat Islam yang mengkhususkan Maulid Nabi Muhammad hanya pada 12 Rabiul Awal, maka hukumnya adalah bidah.
Siapa yang mengkhususkan? Kami yang mengamalkan Maulid Nabi Muhammad tidak mengharuskan pada 12 Rabiul Awal saja. Boleh dilakukan sebelumnya atau sesudahnya. Ini sudah berlaku lama di Mesir, seperti yang disampaikan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar:
– Maulid Malam Pertama Rabiul Awal
وخرج السلطان في رابع ربيع الأول بالعسكر بعد أن عمل المولد النبوي في أول ليلة من ربيع الأول
Sultan keluar di hari keempat Rabiul Awal bersama prajurit setelah melakukan maulid Nabi di awal malam Rabiul Awal (Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-Umr, 1/367)
– Maulid 7 Rabiul Awal
وفي يوم الخميس السابع من ربيع الأول عمل المولد النبوي وابتدأوا به من بعد الخدمة، ومد السماط بعد صلاة العصر وفرغ بين العشاءين، وكانت العادة أن يبدأ بعد الظهر ويمد السماط المغرب ويفرغ عند ثلث الليل
Pada hari Kamis 7 Rabiul Awal dilaksanakan Maulid Nabi. Mereka mengawali setelah kerja dan makanan disajikan setelah Ashar, baru selesai di antara Maghrib dan Isyak. Biasanya Maulid dimulai setelah zuhur, makanan dihidangkan setelah Maghrib dan selesai di sepertiga malam (Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-Umr, 2/38)
– Maulid 8 Rabiul Awal
وعمل السلطان المولد في ليلة الجمعة ثامن شهر ربيع الأول
Sultan mengadakan Maulid di malam ke 8 dari Rabiul Awal (Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-Umr, 1/184)
– Maulid 28 Rabiul Awal
وفي ليلة الجمعة الاثمن والعشرين منه عمل المولد النبوي وحضر الامراء والأعيان والقراء على العادة
Pada malam Jumat 28 Rabiul Awal dilaksanakan Maulid Nabi, dihadiri para pemimpin, para tokoh dan ahli qiraah seperti biasanya (Inba’ Al-Ghumr bi Abna’ Al-Umr, 2/151).
Pendapat Imam Ibnu Hajar Tentang Maulid
Ada akun Salafi yang mengutip fatwa Ibnu Hajar Al-Haitami tentang ketidaksetujuannya terhadap mahallul qiyam saat pembacaan maulid yang disebarkan seolah pentarjih ulama Syafi’iyah tersebut tidak membolehkan Maulid Nabi Muhammad. Benarkah demikian?
Tidak betul! Sebab Syaikh Ibnu Hajar punya kitab tersendiri tentang amalan Maulid Nabi Muhammad dan ia menilainya sebagai bid’ah hasanah. Ia menulis di awal kitabnya Itmam An-Ni’mat Al-Kubra, 15-22:
دعاني إلى ذلك اختلاف الناس في أصل عمل المولد
“Perbedaan umat tersebut mengarahkan pada saya untuk menjelaskan tentang dasar amalan Maulid”
اعلم أنه لم ينقل عن أحد من السلف من القرون الثلاثة التي شهد النبي صلى الله عليه وسلم بخيريتها . لكنها بدعة حسنة لما اشتملت عليه من الإحسان الكثير للفقراء، ومن قراءة القرآن، وإكثار الذكر، والصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم، وإظهار السرور بمولده والفرح به صلى الله عليه وسلم … ” من “إتمام النعمة الكبرى” (ص 15 – 22)
“Ketahuilah bahwa Maulid Nabi tidak diriwayatkan dari tiga masa kurun terbaik yang disaksikan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam sebagai masa terbaik. Namun, maulid ini adalah bidah yang baik karena mencakup banyak kebaikan untuk orang fakir, membaca Al-Qur’an, memperbanyak zikir, salawat kepada Nabi, menampakkan kebahagiaan dan keberadaan Nabi.”
Melihat keotentikan susunan bahasa Imam Ibnu Hajar, kitab tersebut lebih tepat dinisbatkan kepadanya dari pada kitab An-Ni’mat Al-Kubra yang tidak mencantumkan sanad dalam setiap kutipan dari ulama kalangan sahabat.
Oleh: Kiai Ma’ruf Khozin