Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 dan penjajah terusir dari negeri ini, muncul gagasan untuk membangun sebuah masjid nasional yang megah dan monumental. Gagasan itu muncul karena sudah menjadi kebiasaan bagi bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala, tatkala telah mengalami peristiwa besar akan membuat bangunan-bangunan sebagai tanda telah terjadinya peristiwa tersebut. Bangunan seperti candi Borobudur dan Prambanan adalah juga bukti kajayaan pada masa kerajaan Hindu-Budha.
Tampaknya masjid yang akan dibangun memiliki desain rancang yang dapat menggambarkan keagungan sekaligus pantas disebut masjid negara atau masjid nasional yang berpenduduk muslim terbesar di dunia. Masjid tersebut kemudian disepakati diberi nama “Istiqlal”. Kata Istiqlal berasal dari bahasa Arab yang berarti kebebasan atau “kemerdekaan”, yang secara istilah menggambarkan rasa syukur bangsa Indonesia kepada Allah Swt, atas limpahan rahmat-Nya berupa kemerdekaan.
Rencana pembangunan Masjid Istiqlal terjadi pada tahun 1950, ketika KH. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Beliau bersama H. Anwar Tjokroaminoto dari Partai Syarikat Islam mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh Islam di Deca Park, sebuah gedung pertemuan di dekat Istana Merdeka.
Dikutip dari laman istiqlal.or.id, pada pertemuan yang dipimpin oleh KH. Taufiqurrahman tersebut, menghasilkan kesepakatan bahwa H. Anwar Tjokroaminoto sebagai ketua Yayasan Masjid Istiqlal sekaligus sebagai ketua panitia pembangunan Masjid Istiqlal, meskipun pada saat itu beliau terlambat hadir karena baru kembali ke tana air setelah bertugas sebagai delegasi Indonesia ke Jepang membicarakan masalah rampasan perang .
Setelah rencana pembanguanan masjid itu selesai dibahas maka pada tahun 1953, Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal melaporkan kepada Presiden Soekarno. Bung Karno menyambut baik rencana itu, bahkan akan membantu sepenuhnya pembangunan Masjid Istiqlal. Kemudian Yayasan Masjid Istiqlal disahkan dihadapan notaris Elisa Pondaag pada tanggal 7 Desember 1954.
Bung Karno turut aktif dalam proyek pembangunan Masjid Istiqlal. Beliau ditunjuk sebagai Dewan Juri dalam Sayembara maket Masjid Istiqlal yang diumumkan melalui surat kabar dan media lainnya pada tanggal 22 Februari 1955. Melalui pengumuman tersebut, para arsitek, baik perorangan maupun kelembagaan diundang untuk terut serta dalam sayembara.
Terjadi perbedaan pendapat mengenai rencana lokasi pembangunan Masjid Istiqlal antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Presiden Soekarno. Bung Hatta berpendapat lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Masjid Istiqlal adalah di Jl. Moh. Husni Thamrin lantaran lokasi tersebut belum ada bangunan di atasnya dan berada di lingkungan masyarakat Muslim. Selain itu, menurut Bung Hatta jika pembangunan dilakukan di lokasi ini akan lebih hemat karena tidak akan mengeluarkan biaya untuk penggusuran bangunan-bangunan yang ada di atas dan di sekitar lokasi.
Sementara itu, Bung Karno berpendapat lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina, yang di dalamnya terdapat reruntuhan benteng Belanda dan dikelilingi bangunan-bangunan pemerintah dan pusat-pusat perdagangan serta dekat dengan Istana Merdeka.
Hal ini menurut Bung Karno sesuai dengan simbol kekuasaan keraton di Pulau Jawa dan daerah-daerah di Indonesia bahwa masjid harus selalu berdekatan dengan keraton atau dekat dengan alun-alun. Selain itu, beliau juga menginginkan masjid negara Indonesia ini berdampingan dengan Gereja Katedral Jakarta untuk melambangkan semangat persaudaraan, persatuan dan toleransi beragama sesuai Pancasila.
Setelah dilakukan musyawarah, akhirnya ditetapkan lokasi pembangunan Masjid Istiqlal di Taman Wilhelmina, sedangkan untuk memberi tempat bagi masjid ini, pemerintah membongkar bekas benteng Belanda, Prins Frederick yang dibangun pada tahun 1837.
Durasi waktu sayembara maket Masjid Istiqlal berlangsung selama 3 bulan lebih, mulai tanggal 22 Februari 1955 sampai 30 Mei 1955. Sambutan masyarakat sangat menggembirakan, ada sebanyak 30 peserta yang mengikuti sayembara. Dari jumlah tersebut, terdapat 27 peserta yang menyerahkan sketsa dan maketnya, dan hanya 22 peserta yang memenuhi persyaratan lomba.
Dewan Juri Sayembara rancang bangunan Masjid Istiqlal terdiri dari para arsitek dan ulama terkenal yang memiliki andil dalam merumuskan bangsa dan pancasila. Susunan dewan Juri adalah Presiden Soekarno sebagai ketua, dengan anggotanya Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo, Ir. Djoeanda Kartawidjaja, Ir. Suwardi, Ir. R. Ukar Bratakusumah, Rd. Soeratmoko, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) H. Aboebakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin.
Setelah dewan juri menilai dan mengevaluasi hasil sketsa dan maket dari 22 peserta tersebut, akhirnya ditetapkanlah 5 (lima) nominator:
Pemenang Pertama: Fredrerich Silaban dengan desain bersandi Ketuhanan
Pemenang Kedua: R. Utoyo dengan desain bersandi Istighfar
Pemenang Ketiga: Hans Gronewegen dengan desain bersandi Salam
Pemeneng Keempat: 5 orang mahasiswa ITB dengan desain bersandi Ilham
Pemenang Kelima: adalah 3 orang mahasiswa ITB dengan desain bersandi Khatulistiwa dan NV. Associatie dengan sandi Lima Arab.
Selanjutnya pembangunan Masjid Nasional ini yang dirancanakan sejak tahun 1950 sampai pada tahun 1965 tidak banyak mengalami kemajuan. Proyek ini tersendat, karena situasi politik yang kurang kondusif. Pada masa itu berlaku demokrasi parlementer, partai-partai politik saling bertikai untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Kondisi itu semakin parah dan memuncak pada tahun 1965 saat meletus peristiwa G30S/PKI, sehingga pembangunan masjid berhenti sama sekali. Baru setelah situasi politik mereda pada tahun 1966, Menteri Agama KH. Muhammad Dahlan mempelopori kembali pembangunan Masjid Istiqlal. Kepengurusan dipegang oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai Koordinator Panitia Nasional Pembangunan Masjid Istiqlal.
Masjid Istiqlal selesai dibangun setelah tujuh belas tahun kemudian sejak pemancangan tiang pertama yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961 yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sampai pada peresmian penggunaannya oleh Presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978, ditandai dengan prasasti yang dipasang di area tangga pintu As-Salam. Biaya Pembangunan diperoleh terutama dari APBN sebesar Rp. 7.000.000.000,- (tujuh miliar rupiah) dan US$. 12.000.000 (dua belas juta dollar AS). []