tebuireng.co – Malik bin Nabi, seorang filsuf dan penulis dari Aljazair memprediksi bahwa Indonesia akan memimpin kekuatan Islam di Dunia.
Dengan modal penduduk Islam terbesar di Dunia dan keberagaman masyarakatnya, Indonesia jadi contoh bagaimana Islam bisa hadir di antara agama lainnya tanpa harus menyakiti.
Saat ini, penguasa dunia ada Amerika dan Rusia yang menjadi super power lewat militer dan ekonominya.
Ada juga Uni Eropa yang memegang kendali ekonomi dunia, ada China dan India yang tengah berupaya melampaui kekuatan-kekuatan besar di dunia.
Sementara dunia Islam yang berpotensi untuk memimpin dunia, tapi masih belum menyadari letak kekuatannya.
Sementara Indonesia yang diharapkan memimpin Islam di kancah internasional masih sibuk bangkit dari berbagai masalah internal seperti korupsi, Pendidikan dan kerukunan umat beragama.
Tak putusnya kita maratapi nasib malang yang menimpa Indonesia yang alamnya kaya dan pemimpinnya juga kaya, tetapi rakyatnya miskin.
Ironis sekali memang fakta yang harus kita saksikan itu. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas bangsa Indonesia, banyak tokohnya yang mengenang zaman keemasan Islam sekian abad lalu dan ingin kembali ke era itu.
Sebagian lagi ingin meniru bangsa di dunia Barat. Sebagian lagi yang lain mengacu kepada pemikiran tokoh-tokoh Islam mutakhir dari berbagai Negara.
Malik bin Nabi wafat sekitar tahun 1970-an. Salah satu tokoh yang layak kita kaji gagasannya sebagai pijakan menata Indonesia yang lebih baik.
Malik bin Nabi pernah meramalkan bahwa dunia Islam akan beralih dan tunduk pada tarikan gravitasi Jakarta atau Indonesia, sebagaimana lalu pernah tunduk pada tarikan gravitasi Kairo dan Damaskus.
Ini artinya, dunia akan banyak bergantung kepada Indonesia. Secara kasat mata, ramalan ini tidak salah. Indonesia selain jumlah penduduk Islam terbesar, ia juga memiliki instansi pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren yang jumlah cukup banyak.
Selain itu, dalam bidang ekonomi, Indonesia punya potensi dalam bisnis makanan halal, transaksi syariah, dan kultur Islam yang sudah mengakar serta berciri khas.
Di balik potensi itu semua, entah bagaimana tanggapan Malik bin Nabi seandainya masih hidup dan melihat kenyataan Indonesia yang bertentangan dengan perkiraanya.
Malik bin Nabi menunjuk kita beberapa jalan menuju kebangkitan. Pertama, kita harus memahami unsur-unsur pembentuk peradaban, yaitu manusia, tanah dan waktu.
Manusia adalah unsur utama karena ia adalah pelaku sejarah dan pencipta peradaban. Tanah ialah sumber daya alam yang dengannya manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Waktu dalam pandangan Malik bin Nabi adalah nilainya dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas dan pencapaian peradaban.
Kedua, walaupun kita sudah memiliki ketiga unsur tadi dan sudah mengelolanya dengan baik, itu tidak menjamin terbentuknya suatu peradaban.
Harus ada katalisator yang akan mematangkannya sebagaimana oksigen dan hydrogen tidak akan membentuk air kalau tidak ada katalisator yang menghubungkannya. Katalisator dalam peradaban adalah agama (Islam).
Ketiga, kita harus memiliki metode berpikir dan bekerja tersendiri yang sesuai dengan metode Islam.
Peradaban Barat dasarnya adalah peradaban Romawi. Peradaban Islam dasarnya ialah tauhid yang bersumber dari wahyu Illahi.
Keempat, Malik mengajak Muslimin untuk memiliki etos kerja yang tinggi. Untuk memenuhi gagasan Malik bin Nabi itu, kita harus mendidik unsur utamanya yaitu manusia.
Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mampu menjadi unsur utama. Tidak akan mampu menjadi khalifatullah fil ard.
KH Salahuddin Wahid (Pengasuh Pesantren Tebuireng 2006-2020)