Keterlibatan pro-aktif mahasiswa dalam bermasyarakat terlihat ketika mereka menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN). Baik dalam ranah pendidikan, sosio-religius, maupun organisasi kemasyarakatan. Meski hari ini sedikit mengalami pergeseran menjadi “belajar bareng masyarakat” atau “belajar dari masyarakat” dengan konsep yang selalu mengalami penyesuaian. Pergeseran adalah keniscayaan karena informasi pengetahuan dan keilmuan semakin terbuka perkembangan pesat teknologi.
Para ulama sangat mendorong keterlibatan orang yang berilmu dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang sering menyindir bahwa apa gunanya ilmu pengetahuan tanpa adanya praktik yang nyata? Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari juga menyayangkan ratusan buku di rak tanpa adanya praktik riil dan perubahan nyata dari insan yang berilmu. Upaya keterlibatan individu dalam perubahan menuju lebih baik ketika bermasyarakat adalah proses pematangan keilmuan.
Sayangnya, keterlibatan mahasiswa dalam bermasyarakat hanya ketika mendapatkan tugas kuliah. Kesadaran dalam keseharian belum banyak yang menginsafi. Tidak sedikit dari mahasiswa yang nge-kos atau ngontrak yang hanya berinteraksi-transaksional, dalam jual-beli saja sedangkan keterlibatan dalam sosial-masyarakat, sosio-religius dan pendidikan mereka abai. Dolan ke kos teman ketika masyarakat kos domisili sedang mengadakan kerja bakti, mencari tongkrongan di daerah tetangga ketika sedang ada tetangga kosan meninggal, bahkan keterlibatan dalam acara 17 Agustusan, tidak banyak yang terlibat. Yang lebih miris, ketika kurir paket bertanya alamat tetangga sedangkan mahasiswa tidak tahu dengan alasan “nge-kos”, bukan penduduk asli. Berbeda ketika sedang menjalankan tugas KKN.
Tentu, fenomena mahasiswa kosan sebagaimana gambaran di atas tidak berlaku di setiap daerah; dan tidak berlaku pada diri setiap individu mahasiswa. Setiap kaidah pasti ada pengecualian, setiap fenomena mestinya ada pengeculian, kullu qāidatin mustatsnayāt.
Idealnya, kampus adalah tempat menuntut ilmu dan bermasyarakat adalah lahan eksperimen. Ketika mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan persoalan bermasyarakat, maka menuntut jawaban keilmuan dari sumbernya. Simbiosis mutualisme semacam itu menguntungkan bagi dua belah pihak, baik kampus, pribadi mahasiswa, maupun masyarakat. Pribadi mahasiswa pun mengalami percepatan keilmuan karena menggali problematika dari masyarakat di satu sisi –bahkan menjadi SKS tersendiri dalam proses belajarnya–, juga memperoleh dari sumber keilmuan kampus.
Hanya saja, bagi mahasiswa tipe kedua yang berupaya meraih idealisme tersebut, tidak sedikit yang terlena sibuk dalam bermasyarakat sehingga molor dalam proses pendidikan. Memperpanjang waktu proses belajar dalam jenjang strata satu. Naasnya lagi, bagi mereka yang di-dropt out (DO) karena keluar batas waktu pendidikan.
Keterlenaan itu, bisa diduga sebuah fatamorgana bahwa dirinya sangat dibutuhkan dalam masyarakat untuk menopang pendidikan anak-anak kecil (TPQ atau kursus), mengurus organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, kemahasiswaan, atau semacamnya. Ada yang terlewat bahwa di antara dua kewajiban, mestinya ada skala prioritas; bahwa proses menyelesaikan studi adalah kewajiban yang harus dituntaskan guna melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi daripada praktik lapangan yang jangka waktunya lebih longgar (wus’ah).
Contoh kasus dalam fikih biasanya kewajiban mengutamakan menolong orang kecelakaan dibanding mengejar waktu jamaah shalat Jumat, yang keduanya memiliki status wajib. Yang demikian memang butuh kejelian lebih mendalam ketimbang memilih antara sunah dan wajib. Tentu, mengutamakan kewajiban lebih diutamakan sebagaimana pernyataan Imam an-Nawawi, Man syaghalathu an-nāfilah ‘an al-farḍi, fahuwa maghrūr, barangsiapa yang terpedaya oleh kesunahan ketimbang menunaikan kewajiban, maka sebetulnya ia telah terkelabui.
Baca Juga: Investasi yang Paling Menjanjikan