tebuireng.co – Logo adalah simbol, begitu kata salah satu pakar pembuatan logo Gus Ipang Wahid atau Irfan Asy’ari Sudirman Wahid. Ia sudah bergelut dengan seluk beluk logo sejak era 1980-an. Sebuah era yang cukup panjang, tentu melewati berbagai asam manis kehidupan.
Merespon masyarakat Indonesia yang sedang ramai bahas logo halal dari Kementerian Agama (Kemenag) RI, Gus Ipang memberikan sedikit gambaran jika logo itu penting dalam sebuah brand. Karena logo adalah sebuah simbol.
“Membuat logo, ini salah satu hobi saya sebagai desainer grafis. Saya aktif bikin logo sejak akhir 1980-an. Bicara Logo pasti akan bicara simbol identitas suatu brand sekaligus juga membedakannya dengan brand lainnya. Halal logi, bikin let’s go atau malah melongo?” katanya memulai cerita.
Wakil pengasuh Pesantren Tebuireng ini merumuskan beberapa hal penting yang harus ada dalam sebuah logo. Alasan sederhananya, logo yang baik akan menentukan persepsi publik terhadap pemilik brand tersebut.
Alumni jurusan Music and Video Business di The Art Institute, Amerika Serikat ini menjelaskan ketika ia membuat ide setidaknya ada empat hal penting yang harus ada. Empat hal tersebut adalah tujuan, filosofi, fungsi dan estetika.
Dengan empat hal tersebut, logo akan terasa hidup dan mewakili pesan yang ingin disampaikan ke publik. Namun, ia menggariskan jika setiap instansi dan individu memiliki cara pandang dan prioritas sendiri dalam memandang sebuah logo.
Terkait logo (baru) label halal versi @kemenag_ri yang lagi seru dibahas, khususnya yang mengedepankan estetika (filosofi dan bentuk) daripada fungsi (readability/keterbacaan) itu kembali kepada tujuan awal.
“Semua sah sah saja buat saya. Bisa jadi Kemenag memang mengedepankan masalah filosofi (ke-Nusantaraan) dan estetika (modernitas dan diferensiasi) dibanding fungsi (readability),” imbuh pria yang suka pakai sarung dan sneakeran ini.
Pendapat Gus Ipang ini ia dasarkan pada usaha Kemenag RI untuk memperkuat fungsi keterbacaannya dengan menambahkan tulisan “Halal” di bawah logo. Karena aksara arab kurang jelas terbaca dari logo tersebut.
“At the end, namanya juga logo. Mau dibuat hanya huruf “H” pun tidak masalah asal di bawahnya ada penjelasan H itu kependekan dari halal. Yang jadi masalah adalah saat penilaian itu datangnya dari like and dislike. Kalau ini, saya lebih baik gelar tikar dan nyuruput kopi panas. Karena pasti diskusinya tidak bakal sebentar,” ujarnya santai.
Sementara itu, Kepala Pusat Registrasi Sertifikasi Halal pada BPJPH Kemenag Mastuki menjelaskan maksud logo tersebut. Mastuki kemudian menerangkan tiga hal terkait bentuk logo baru halal yang disorot.
Pertama bentuk seperti wayang dan batik, menurutnya wayang dan batik sudah menjadi warisan Indonesia yang diakui dunia. Termasuk sudah diakui Unesco sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya non-bendawi (intangible heritage of humanity).
Batik maupun wayang, keduanya adalah simbol budaya Indonesia yang bersumber dari tradisi, persilangan budaya, dan hasil peradaban yang berkembang di wilayah nusantara.
Kedua, label halal baru Indonesia ini sudah dilakukan riset yang lama dan melibatkan sejumlah ahli. Kemenag dalam hal ini BPJPH telah mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan logo baru halal.
Ketiga, logo ini bukan Jawa sentris, gunungan wayang tidak hanya digunakan di Jawa. Tradisi itu gunungan lekat dengan budaya lain di luar Jawa. Mastuki memberi contoh Wayang Bali dan Wayang Sasak.
“Pemilihan label halal yang menggunakan media gunungan wayang dan batik lurik itu tidak benar kalau dikatakan Jawa sentris,” tandasnya.