tebuireng.co – Literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) salah satu insan pesantren yang memiliki kemampuan literasi cukup bagus.
Dalam perkembangannya, definisi literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Jika dulu definisi literasi adalah kemampuan membaca dan menulis.
Saat ini, istilah Literasi sudah mulai digunakan dalam arti yang lebih luas. Dan sudah merambah pada praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Definisi baru dari literasi menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai literasi dan pembelajaran nya. Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti Literasi media, literasi komputer, literasi sains, literasi sekolah, dan lain sebagainya.
Hakikat ber-literasi secara kritis dalam masyarakat demokratis diringkas dalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Kesemuanya merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis.
Tebuireng sejak era KH M Hasyim Asyari memiliki kemampuan literasi yang kuat. Kiai Hasyim dikenal banyak menulis catatan khusus terkait isu yang berkembang di masyarakat.
Sepeninggal Kiai Hasyim, estafet literasi Tebuireng diteruskan oelh Kiai Wahid Hasyim. Mantan menteri agama ini dikenal sebagai kutu buku dan banyak menulis berbagai isu pendidikan, agama dan bangsa.
Generasi selanjutnya, Tebuireng memiliki sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Gus Ishomuddin Hadziq dan KH Salahuddin Wahid yang memiliki karya tulis cukup banyak.
Gus Ishom, merupakan sosok yang mengumpulkan karya Kiai Hasyim dengan berkelana dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Sedangkan Gus Dur, kemampuan literasinya di atas rata-rata. Kelebihan Gus Dur mengelola informasi menjadi tulisan dan pembicaraan sulit ditandingi.
Begitupun dengan Gus Sholah, sejak memimpin Tebuireng 2006 membawa angin segar dunia literasi Tebuireng dengan mengaktifkan penerbitan buku, website, majalah dan perpustakaan secara profesional.
Wujud kecintaan Gus Sholah pada literasi diperlihatkan dengan bergairahnya dunia literasi sejak ia memimpin Pesantren Tebuireng. Munculnya penerbit buku pustaka Tebuireng sebuah bukti nyata.
Gus Shoalh memiliki keinginan yang kuat untuk membuat buku riwayat perjuangan dan keteladanan para masyayikh Tebuireng serta tokoh-tokoh NU.
Dengan harapan karya tersebut dapat dibaca dan diketahui oleh khalayak umum terutama santri-santri. Hingga kini, kecintaannya pada literasi menjadi sedekah abadi dan sudah tersebar di seluruh posok negeri.
Masih banyak hal-hal yang Gus Sholah buat untuk kemajuan pesantren, agama, dan negara dari sisi literasi.
Siapa yang tidak mengenal KH Salahuddin Wahid. Sosok pengasuh Pesantren Tebuireng yang gemar membaca dan menulis, menjadikan dua hal tersebut sebagai rutinitas dalam kegiatannya sehari-hari.
Lahir di Jombang, 11 September 1942 dan meninggal pada 2 Februari 2020, Gus Sholah merupakan tokoh hak asasi manusia (HAM), aktivis, ulama, politisi, dan banyak lagi gelar yang dinisbatkan kepadanya.
Wujud kecintaan Gus Sholah pada literasi diwujudkan dengan keaktifannya dalam menulis di berbagai media. Tidak sedikit karya tulis Gus Sholah tersebar luas baik di jagat media sosial dan media cetak.
Salah satunya buku yang berjudul “Berguru pada Realitas”. Buku yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Malang Press pada tahun 2011 ini berisikan tulisan sederhana, tapi kaya akan data dan fakta. Bisa kita baca ketika ngopi di pagi hari atau menjelang senja di sore hari.
Tema-tema tulisan yang dibahas pada buku ini cukup menarik, berkaitan dari isu isu sosial, politik, agama, negara hingga kehidupan pribadinya Gus Sholah.
Ditulis dengan gaya yang khas, tidak membosankan, justru membuat pembaca penasaran untuk membaca hingga usai. Buku yang cukup tebal ini, harus ada dalam pikiran anak anak muda, bukan hanya menjadi pajangan rak buku, atau hiasan lemari saja.
Membaca pemikiran Gus Sholah terkait kecintaannya pada literasi secara tuntas merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
Hematnya, Gus Sholah tidak bisa digambarkan oleh pena atau kata, karena terlalu sempit dan kurang untuk sosok seperti Gus Sholah.
Teringat pandangan Cak Nun tentang Gus Sholah:
“Gus Sholah itu hebat bukan karena hal-hal takhayul seperti kekayaan, kekuasaan, atau takhayul-takhayul lainnya. Akan tetapi, beliau hebat karena sesuai dengan kriteria Allah, bahwa ia itu ikhlas, bahwa ia itu kerja keras, bahwa ia itu tafaqquh fid din“.
Sosok adik Gus Dur ini juga memiliki kebiasaan yang selalu menjadi suri teladan bagi banyak orang, seperti memungut sampah dan membuangnya ke tempat sampah, hingga tepat waktu dalam menghadiri acara.
Masih banyak hal lain yang dimiliki Gus Sholah, tapi tak kasat mata, tak terdengar oleh telinga, tapi semua bisa merasakan setelah ia tiada. Kita tetap bisa menikmati karya-karya dan kontribusi dari Gus Sholah lewat kecintaannya pada literasi.
Teruntuk alm. Gus Sholah, kami menyadari bahwa mimpi-mimpimu masih banyak yang belum terwujud hingga kini, kami selalu mencoba mewujudkan mimpi itu. Bagi saya, spirit perjuangan dan gagasan Gus Sholah harus tetap diceritakan dari warkop ke warkop dan dari pena ke pena.
(Wahyu/Hilmi Abedillah)