tebuireng.co – Progressifitas eksistensi sastra Islam di Indonesia cukup baik, sebab inovasinya tidak hanya bertolak dari kesadaran mengapresiasi sastra saja, akan tetapi semua itu dilatarbelakangi oleh kesadaran spiritual yang secara vertikal bertolak dari adanya kesadaran mencari jalan untuk mengindahi rohani-Nya. Namun dibalik progressifitas itu justru muncul masalah baru yang sekaligus menghapus konstatasi sebelumnya bahwa sastra Islam telah bangkit. Masalah itu adalah: Sejauh mana rasa apresiatif masyarakat kita terhadap sastra Islam? Atau paling tidak sejauh mana kesadaran mereka dalam ikut memiliki sastra Islam? Sehingga ada semacam konstatasi baru bahwa sastra Islam belum mampu menerobos struktur sosial dengan baik. Ataukah masyarakat kita sendiri yang bersikap masa bodoh terhadap sastra Islam?
Sastra Islam Indonesia mengalami alur sejarahnya sendiri. Dan sejauh ini sastra Islam cukup berpengaruh di tengah-tengah masyarakat, paling tidak di kalangan sastrawan itu sendiri. Adanya kesadaran sastrawan-sastrawan kita bahwa wawasan sastra mereka adalah Islam adalah bukti konkrit yang menggembirakan. Akan tetapi bila kita mengingat kembali masalah tersebut di atas kita menyadari alangkah sialnya nasib sastra Islam, khususnya di negeri tercinta ini.
Dari adanya minat konsumtif para pelajar terhadap kesusastraan yang konon nyaris tak ada kita akan memperoleh sedikit gambaran tentang sikap masyarakat terhadap kesusastraan (Islam). Setidaknya Muhammad Ali, sastrawan muslim yang kini berdomisili di Surabaya, berkesimpulan bahwa sedikit sekali murid-murid, pelajar-pelajar, mahasiswa-mahasiswi yang suka membaca karya-karya sastra. Mereka baru mau menyentuh karya-karya sastra kalau ada perlombaan, usai itu ambla, tenggelam di permukaan. Mengapa demikian? Penyair Lapar ini menyetir: Kalau bapak-bapak guru tidak pernah berhubungan dengan karya-karya sastra, kecuali dalam konteks profesinya sebagai guru, bagaimana pula para siswanya?
Itu baru gambaran kecil dari sikap konsumtif masyarakat yang lebih luas, hal mana kalau kita kaji lebih jauh lagi tentu bakal lebih rumit. Paling tidak, sikap konsumtif masyarakt terhadap sastra Islam secara struktural dapat dibagi menjadi empat tingkatan:
Pertama, aktif, kreatif, dinamis, produktif, dan kritis. Yang termasuk golongan tingkat pertama ini adalah para sastrawan dan kritikus sastra. Yang dimaksud dengan sastrawan tentu saja sastrawan yang terus berkarya sesuai bidang yang ditekuninya secara kreatif, dan dinamis ia ikut memikirkan pula nasib kesusastraan itu sendiri. Jadi ia bukan sekedar insan kreator, tetapi lebih dari itu juga sebagai aktivis kesusastraan. Aktif dalam pengertian : produktif dalam berkarya dan kreatif dalam menyumbangkan pikiran-pikiran tentang kesusastraan serta dinamis dalam upaya menumbuh suburkan kesusastraan itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, termasuk upaya permasyarakatannya.
Sedangkan kritikus sastra secara kreatif: aktif dan dinamis selalu mempelajari dan menelaah karir kesusastraan yang telah dihasilkan oleh para sastrawan. Dan secara kreatif pula ia ikut menyumbangkan pikiran-pikiran, baik secara eksplisit maupun implisit, untuk memperoleh karya-karya bermutu dari tangan para sastrawan. Ini tentu saja merupakan pekerja yang membutuhkan kepekaan dan keberanian serta sikap kritis dalam mengungkapkan segi-segi negatif plus positif yang pada gilirannya tak urung akan menjadi bumerang bagi sang kritikus, atau sebaliknya. Maka, pekerjaan ini juga membutuhkan sikap “hait-hati” agar tidak merugikan orang lain termasuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya, profesionalisme kritik sastra Islam sangat dibutuhkan, sehingga kritik sastra Islam benar-benar mengena sasaran. Jadi pekerjaan ini tidak boleh amatir-amatiran, dan tentu saja kritikus sastra amatir tidak bisa dikategorikan begitu saja ke dalam tingkatan pertama ini.
Baca Juga: Mengarang Sastra Profetik ala Kuntowijoyo
Kedua, aktif, kreatif, dinamis, dan produktif. Stuktur masyarakat dalam tingkatan kedua ini, disamping aktif dan kreatif, juga bersifat produktif. Dia aktif mengikuti perkembangan kesusastraan, dalam arti mengikuti karya-karya sastra secara kontinyu sebagai bahan untuk mengembangkan karirnya sendiri, tetapi ia juga terus mengembangkan karirnya sebagai sastrawan secara produktif. Jadi, dia bukan sekedar obyek dari karya-karya sastra, tapi lebih dari itu juga sebagai subyek dari kesusastraan itu. Singkatnya struktur masyarakat dalam tingkatan ini lebih bersifat pribadi. Dari tangan mereka terus mengalir karya-karya sastra bermutu secara produktif, yang dengan ini berarti ia ikut berusaha mengembangkan karir kesusastraan tanpa terlalu banyak menyumbangkan pendapat dan ide-ide konstruktif untuk mengembangkan kesusastraan. Tetapi secara implisit mereka punya andil besar usaha mengembangkan khazanah sastra Islam.
Kalau struktur masyarakat dalam tingkatan pertama bersifat produktif-produktif dalam berkarya dan atau produktif dalam menyumbangkan pikiran dan ide-ide konstruktif tentang kesusastraan dan kritis terhadap karya-karya sastra, maka struktur masyarakat dalam tingkatan kedua ini lebih dititik beratkan pada produktifitas dalam menghasilkan karya-karya sastra bermutu.
Ketiga, aktif dan kreatif. Nasib kesusastraan dalam tingkatan struktur masyarakat ini bersifat lebih pribadi daripada tingkatan kedua, sebab masyarakat yang tergolong dalam tingkatan ketiga ini masih aktif mengikuti perkembangan kesusastraan kalau tak akan dikatakan menaruh rasa apresiatif terhadap kesusastraan itu. Jadi dalam tingkatan struktur masyarakat ini di sastra Islam masih bernasib mujur.
Namun demikian kedudukan mereka dalam struktur aktivis kesusastraan tak lebih sekedar sebagai konsumen semata. Dalam kegiatan sehari-hari mengikuti perkembangan kesusastraan, bagi mereka, hanyalah merupakan pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu misalnya. Bagi mereka mengikuti perkembangan kesusastraan tak lebih hanya merpakan bagian kecil saja dari aktifitas-aktifitas sehari-hari lainnya.
Ini tentu saja merupakan tantangan bagi kesusastraan kita, dan sejauh hal ini tetap mengakar sulit rasanya menghilangkan asumsi lama bahwa kesusastraan itu elit, lux. Padahal kita tentu saja tidak menginginkan adanya asumsi semacam itu, akan tetapi sebaliknya yang kita inginkan agar kesusastraan dapat menerobos lapisan masyarakat tanpa kecuali, sehingga kesusastraan tidak hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu, tetapi oleh masyarakat seluruhnya.
Keempat, passif. Kesusastraan dalam tingkatan masyarakat terakhir ini bernasib malang dan mengalami mimpi buruk yang berkepanjangan. Betapa tidak, mereka yang tergolong dalam tingkatan ini senantiasa bersikap masa bodo dan tidak tahu menahu tentang kesusastraan, dan lebih dari itu, secara kuantitas mereka jutru menempati tempat paling atas. Jadi dari segi kuantitas mereka berada dalam tingkatan pertama, tetapi secara fungsional-kualitatif mereka menempati ranking paling rendah.
Sementara itu mayoritas masyarakat belum menyadari pentingnya mengembangkan artistik yang mereka miliki. Artinya walaupun pada dasarnya mereka memiliki rasa apresiatif terhadap bentuk-bentuk kesenian, namun ternyata mereka belum mampu mengembangkan rasa apresiatif itu dengan baik, itulah sebabnya mereka berhenti hanya sampai di batas-batas seni visual yang tidak mengandung nilai-nilai spiritual-estetis, seni yang tidak bonafide. Maka tentu saja mereka belum sampai ke taraf mengapresiasi kesusastraan, hal mana kesusastraan lebih banyak menekankan pada nilai-nilai spiritual-estetis.
Sastra Pesantren Sebuah Alternatif?
Melihat adanya kenyataan struktur sosial tersebut agaknya dibutuhkan adanya pendekatan secara efektif kepada masyarakat. Dalam kaitan ini tentu saja kita menuntut peranan pesantren, sebab pesantren di samping sebagai pendidik tak kurang merupaka pusat kegiatan masyarakat (social activities center). Maka pesantren harus mampu melalui berbagai aktivitas yang memungkinkan, misalnya pengajian, ceramah agama, kegiatan kesenian, dll. (yang terakhir ini perlu digaris bawahi)
Oleh karena pesantren pada umumnya terletak di daerah terpencil, jauh dari perkotaan, maka pesantren tak urung akan menjadi “pusat tolehan” masyarakat. Itulah sebabnya pesantren merupakan sarana yang sangat efektif untuk menyalurkan berbagai kecenderungan masyarakat sosial sesuai dengan kadar kemampuan yang ada. Bahkan sangat mungkin bagi pesantren untuk menumbuhkan kecenderungan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Atau paling itdak pesantren harus mampu menyalurkan kecenderungan santri-santrinya, bahkan harus mampu menumbuhkan kecenderungan-kecenderungan positif bagi mereka. Salah satu kecenderungan yang harus disalurkan atau ditumbuhkan adalah adanya kecenderungan pada santri kepada seni sastra.
Menyalurkan aktivitas seni sastra lewat pesantren merupakan suatu alternatif untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakt lewat seni sastra, sebab sastra pesantren sudah barang pasti mengandung spektrum-spektrum tauhidiyah yang mengarahkan garis vertikal. Lebih dari itu pesantren pasti menyadari bahwa “tauhid” tidak boleh tidak menjadi titik tolak, latar belakang, dan landasan esensiil.
Baca Juga: Islam, Seni, dan Kehidupan Beragama
Maka bagaimanapun tidak, jika kita sepakat bahwa seni sastra merupakan penggerak spiritual yang efektif, dalam artian spiritual tauhidiyah yang mengacu ke arah “nilai-nilai tauhid” kita harus mempergunakannya seefektif mungkin. Tentu saja dalam hal ini peranan pesantren dengan kesusastraannya menjadi tuntutan pula. Maka dari itu kini diperlukan adanya peningkatan pernaan sastra pesanten di tengah-tengah masyarakat yang serba plural. Diharapkan secara struktural. Jadi tidak terbatas pada lapisan “masyarakat bawah” atau sebaliknya. Melihat adanya peranan sastra pesantren selama ini, agaknya “masyarakat bawah”-lah yang lebih intim dengan sastra pesantren dengan medium bahasa daerah masing-masing. Kecuali akhir-akhir ini ada usaha yang patut kita acungkan jempol dalam usaha sosialisasi sastra pesantren, terutama yang dilakukan oleh sastrawan Djamil Suherman (almarhum) dengan Ummi Kalsum dan Pejuang-pejuang Kali Pepenya (diterbitkan oleh Pustaka Bandung). Usaha mendiang Djamil Suherman ini patut menjadi anutan sastrawan-sastrawan pesantren lainnya. Artinya usaha yang sangat positif ini harus diteruskan, tentu saja oleh calon-calon sastrawan kalangan pesantren.
Dalam meningkatkan peranan sastra pesantren ini tentu saja pesantren harus mencari alternatif-alternatif yang bisa diterima oleh kolektifitas sosial. Artinya sastra pesantren harus lebih komunikatif dengan masyarakat luas. Misalnya sastra pesantren tidak boleh hanya bertumpu pada sastra daerah, sebab sastra daerah sudah barang pasti komunikatif hanya dengan masyarakat yang sangat terbatas. Kalau ini yang dipilih yang dipilih pesantren sebagai salah satu alternatif bukan berarti pesantren harus meninggalkan sastra daerah, tidak, akan tetapi ini sebagai usaha memperluas wawasan sastra pesantren yang sebelumnya hanya bertumpu pada sastra daerah berarti mengepakkan sayap peranan sastra pesantren itu sendiri. Hal mana peranan sastra pesantren tidak saja dibuthkan oleh masyarakat yang sangat terbatas, tapi justru oleh masyarakat luas tanpa kelas-kelas tertentu. Sastra pesantren sudah saatnya kta tempatkan sesuai dengan kedudukan dan peranannya, sebelum terlambat.
Sementara ini sastra pesantren (agaknya) belum menjadi salah satu topik pembicaraan dalam khazanah sastra Indonesia mutakhir (modern), padahal kehidupan pesantren tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dari kehidupan (bangsa) Indonesia. Tapi mengapa sastra pesantren justru terpencil dari khazanah sastra Indonesia? Ini sebenarnya merupakan problema tersendiri bagi pesantren dan kalangan sastrawan Indonesia. Padahal kita sama-sama menyadari bahwa partisipasi pesantren dalam karir sastra Indonesia pasti dubutuhkan. Maka untuk memberikan partisipasi kepada khazanah sastra Indonesia, pesantren lebih kreatif dan produktif dalam mengembangkan sayap-sayapnya.
Bagaimana mengapreisasi seni sastra dan santri? Tidak terlampau sulit. Kalau saja kita mau, hal itu bisa disalurkan melalui media-media yang mungkin disediakan oleh pesantren, misalnya majalah dinding, buletin, dan semacamnya. Akan lebih baik kalau suatu saat pesantren mengadakan apresiasi pada hari-hari besar Islam. Berilah kesempatan secukupnya kepada para santrui untuk mengadakan semacam acara apresiasi itu, sekaligus sebagai peringatan hari-hari besar Islam. Dengan demikian para santri tentu akan merasa mendapat “appreciation” dari pesantren oleh karena dengan adanya kegiatan seni sastra itu justru bukan hanya mereka merasa mendapat kesempatan untuk mengapresiasi seni sastra, tapi lebih dari itu mereka juga akan merasa “beruntung” karena dengan adanya acara itu berarti juga ikut memberi andil dalam memperingati hari-hari besar Islam, lewat seni sastra. Hal ini tentu saja tidak lepas dari realisasi momentum tersebut di atas.
Namun perlu kiranya dicatat bahwa dengan adanya semangat baru dunia pesantren dalam menggalakan seni sastra bukan berarti pesantren harus meninggalkan misi utamanya sebagai lembaga pendidikan, tempat ‘menggodok’ kader-kader ulama. Menumbuhkan semangat baru itu justru berarti memperluas cakrawala tradisi keilmuan pesantren, yang dalam aspek seni sastra sebelumnya tradisi keilmuan pesantren itu bertumpu pada sastra daerah. Di Madura misalnya, sastra pesantren menjadi bagian penting dari sastra Madura, bahkan berbicara soal sastra Madura tidak bisa dilepaskan dengan sastra pesantren itu. Jadi, sastra pesantren sebenarnya merupakan tradisi kelimuan pesantren tersendiri. Hanya saja hal yang satu ini agaknya terabaikan bahkan oleh kalangan pesantren sendiri.
Mengenai media penyaluran seni sastra pesantren, sekali lagi saya katakan tidak terlampau sulit. Sekarang ada ‘Majalah Pesan’ yang siap menampung apresiasi seni sastra pesantren walaupun terbitnya kadang tak menentu. Ada ‘Majalah Kesan’ (diterbitkan oleh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo) yang mentediakan rubrik sastra walaupun majalah ini terbit untuk kalangan sendiri. Di TMI ( Tarbiyatul Mu’allimien Al Islamiyah) Pondok Pesantren Al Amien Prenduan, Sumenep, Madura adalah ‘Majalah Pesantren’ agaknya sulit dimasuki oleh karena majalah ini menurunkan topik-topik tertentu. Maka, sepanjang pengetahuan saya, hanyalah ‘ Majalah Tebuireng’-lah satu-satunya media yang patut dilayani dengan baik, karena di samping majalah ini memiliki bobot kualitatif yang memadai juga bersifat terbuka untuk umum, sehingga setiap karya-karya sastra pesantren yang dimuat majalah ini akan dapat meluas dengan cepat, mampu menjamah masyarakat lebih luas, tidak hanya kalangan pesantren.
Namun demikian, pesantren tidak boleh mencukupkan media masa yang sangat terbatas itu, tapi justru pesantren harus mampu menerobos media-media lain di luar pesantren, sehingga wawasan sastra pesantren tidak terbatas hanya dalam lingkungan pesantren saja, tapi lebih luas dari itu. Mudah-mudahan eksistensi sastra pesantren dapat mengorbit dengan lebih pasti dalam khazanah sastra Indonesia Modern. Mudah-mudahan.
Oleh: Jamal D. Rahman. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng No. VII. November 1986 M.