tebuireng.co- Secara historis memang pesantren identik dengan kemandirian. Di masa lalu, pesantren tumbuh berkembang bukan atas bantuan siapa-siapa, tapi atas usaha sendiri, pesantren bersama masyarakat. Di manapun pesantren di Indonesia zaman lalu, tumbuh kembangnya dari masyarakat bawah. Seorang kiai dulu selain bertindak sebagai pengasuh, ia juga pasti memiliki watak kemandirian. Kiai dulu adalah juga pengusaha, petani, dan semacamnya.
Kemandirian salah satu ajaran pesantren yang sangat kuat pada masa lalu. Santri diajarkan bagaimana dalam kehidupannya betul-betul bisa mandiri, mulai dari makan, minum, dan semuanya, tidak bisa menggantungkan kepada orang lain. Ketika menjadi santri misalnya, dia anak pejabat, dia anak kiai, maka harus menjadi santri yang sama status sama di dalam pesantren.
Nilai-nilai kemandirian inilah yang menjadikan santri mampu dan kuat hidup di dalam lingkungan bermasyarakat, tidak heran bila dari kalangan santri banyak jadi pengusaha-pengusaha yang sukses, mulai dari skala kecil sampai menengah ke atas. Dulu saja, kita lihat kota santri selalu identik dengan dimana para santri terkesan sebagai para pengusaha atau para wirausahawan.
Baca juga: Gus Ipang: Santripreneur Berbisnis Pasti Fantastis
Dengan munculnya Pasar Bebas ASEAN (MEA), maka kita melihat banyak potensi yang perlu dikembangkan oleh pesantren, kurikulum pesantren belum dikembangkan sepenuhnya sesuai dengan masa depan yang dihadapi Indonesia saat ini. Perlu diutamakan, perlu dimaksimalkan tentang kemandirian, perlu pula dikonsep bagaimana pola kemandirian dalam konteks sekarang, di mana konsep tersebut bertujuan untuk pengembangan kemandirian terutama dalam menghadapi MEA.
Secara alami masyarakat pesantren memang terlihat mampu menuju MEA, tapi harus betul-betul terukur. Bahwa pesantren A, (dan) pesantren B ketika dianggap memiliki kemampuan “ukurannya apa?”. Inilah yang perlu dirumuskan secara lebih detail lagi.
Dulu para alumni pondok pesantren di manapun pasti tidak ada yang menganggur, mulai dari jadi kiai lokal, guru ngaji, dan semacamnya, apapun dia bisa hidup. Tapi untuk kondisi sekarang ini harus diyakinkan, bahwa selain memiliki kemampuan keagamaanyang mapan, orang-orang pesantren juga harus memiliki kemampuan wirausaha yang baik. Masyarakat, santri, alumni pondok di manapun jangan sampai terpinggirkan, itu yang harus betul-betul dikawal.
Alumni pondok pesantren saat ini banyak yang sudah mampu menciptakan lapangan kerja sendiri sebagaimana kebanyakan alumni-alumni terdahulu, sehingga tidak ada perlu takut dengan stigma atau ungkapan yang mengatakan lapangan kerja lebih kecil dari tenaga kerjanya, sebab pola pandang yang demikian mungkin nuansanya kapitalistik.
Sekarang pertanyaannya lapangan kerja seperti apa yang dimaksud? padahal lapangan kerja kita banyak sebenarnya. Potensi kita kuat. Nah tinggal bagaimana mengembangkannya. Di sini pesantren seharusnya bisa maju dengan pendidikan yang mampu mengembangkan potensi yang ada ini.
Sebenarnya pondok pesantren itu sendiri merupakan simbol dari wirausaha, tinggal bagaimana nilai-nilai ini, bukan hanya terpaut kepada simbolnya, bukan hanya kepada nama saja, tapi betul-betul substansinya memang wirausaha, bahwa memang pesantren mengembangkan kewirausahaan, di sini harus ada pola-pola kewirausahaan kreatif, kewirausahaan inovatif di pesantren.
Misalnya bagaimana lulusan pesantren sudah tidak menoleh lagi kepada pekerjaan-pekerjaan seperti pegawai negeri dan semacamnya tapi justru bagaimana pesantren memperkuat diri dengan mengelola dan membentuk wirausaha santri. Itu yang perlu, maka mungkin pendidikannya lebih didekatkan kepada lingkungan.
Misalnya di daerah pertanian, maka pesantren cobalah kurikulumnya mendekatkan santri kepada usaha pertanian. Di daerah pantai misalnya, maka cobalah mendekatkan santri kepada bagaimana nelayan yang handal. Itu yang perlu dikembangkan.
Di dalam Islampun tidak ada dikotomi antara keterampilan agama dan keterampilan non agama. Memang ada pengajian ilmu dasar-dasar agama, seperti fiqih, hadis dan semacamnya tapi seharusnya ilmu apapun, harus menjadikan manusia betul-betul menjadi khalifatullah fil ardl.
Maka jangan sampai lagi-lagi proses, bahwa masyarakat santri harus mandiri, bagaimana bisa mandiri kalau dia hanya sholat saja, bagaimana bisa mandiri kalau dia hanya ngaji saja, belum lagi kasus, apakah niatnya melakukan semua itu betul-betul untuk mencari keridhoan Allah. Ini yang penting.
Sekarang ada macam-macam model pesantren, ada yang pesantren salaf, ada pesantren modern, dan ada pesantren yang mengkombinasikan pesantren modern dan salaf. Perbedaan model seperti ini tidak terlalu menjadi kendala. Kalau dikelola dengan baik, semua pesantren dengan tipe apapun memiliki peluang yang sama. Yang salaf misalnya, dengan kemandirian itu bisa menjadi peluang yang bagus, yaitu dengan melakukan kontekstualisasi nilai-nilai salaf ke dalam masa saat ini.
Kalau modern, ini perlu ada sedikit penahan, sebagai antisipasi nilai-nilai pesantren yang menjadi benang merah sejak awal berdirinya hilang. Kemudian yang campuran (antara salaf dan modern), yang tipe ini perlu betul-betul menjaga kurikulumnya agar melahirkan karakteristik yang kuat dalam diri alumninya, diantara karakteristik itu bisa dalam bidang kreatifitas dan inovasi.
Kalau itu berhasil, maka peluang itu sama dimiliki. Tapi kalau tidak berhasil merumuskan, semuanya punya potensi yang gagal. Yang modern bisa terlalu ke depan sehingga kehilangan nilai-nilai kesantriannya, yang salaf mungkin terkungkung pada masa lalu, sehingga kemandiriannya tidak bisa dioptimalkan, begitu pula dengan yang campuran akan buram kalau tanpa mendesain kurikulumnya dengan akurat.
Karena dengan cara mandiri, pesantren dapat menjalankan tujuan utamanya sebagai wadah pendidikan agama yang kuat di tengah-tengah masyarakat, “Pesantren harus menjadi dirinya sendiri. Pesantren tidak boleh tergantung pada yang lain.” kemandirian membuat pesantren akan berusaha keras memunculkan nilai-nilai kreatifitas dan inovasi, hingga mampu menjalani kehidupan di segala era. (Mufti/MT)
Oleh: Prof. Dr. Abd. A’la, mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.